Rosadi Jamani | Penulis
- Ketua Satupena Kalbar
KEMARIN, tiang listrik dicor dengan buah kelapa. Heboh se-nusantara. “Nyupanek tolen (bikin malu),” kata orang Sambas. Terbaru, rumah Tuhan berupa gereja pun dikorupsi. Semesta marah, si koruptor dikandangin. Sebagai warga Kalbar, malu, wak. Ya mau gimana lagi, itulah fakta. Mari kita lindas, eh salah, kupas soal korupsi yang bikin malu Kalbar sambil seruput Koptagul.
Ada korupsi, ada dosa. Tapi ketika yang dikorupsi adalah rumah Tuhan, itu bukan lagi dosa, itu disertasi tingkat akhir kejahatan spiritual. Pada Rabu, 12 November 2025, dunia maya berguncang. Tim Penyidik Tindak Pidana Khusus Kejati Kalbar menggeledah rumah seorang manusia yang tampaknya terlalu kreatif untuk jadi malaikat tapi terlalu nekat untuk jadi setan, inisialnya HN, warga Parit Tokaya, Pontianak Selatan.
Cerita ini dimulai dari niat mulia, sebuah hibah dari Pemkab Sintang untuk membangun Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) “Petra.” Tahun 2017, gereja dikasih jatah lima milyar rupiah. Tahun 2019, ditambah lagi tiga milyar. Delapan milyar totalnya. Harusnya uang itu jadi dinding doa, jendela surga, dan atap keselamatan. Tapi rupanya, yang dibangun bukan rumah Tuhan, melainkan imperium keserakahan dengan aroma dupa palsu.
Menurut Kejati Kalbar, pada tahun 2019, HN menandatangani laporan pertanggungjawaban seolah-olah pembangunan gereja masih berlangsung. Padahal bangunannya sudah rampung setahun sebelumnya. Artinya, ini pembangunan spiritual yang tidak terlihat oleh mata manusia, karena memang tidak dikerjakan. Sungguh mujizat abad modern, proyek selesai dulu, tapi uangnya cair belakangan.
Tim penyidik kemudian menyatroni rumah tersangka di Jalan Purnama II Komplek Purnama Elok. Di sana mereka menemukan dua kendaraan suci, yakni Volkswagen merah yang di dalamnya tersimpan laptop, dokumen kendaraan, dan dua jam tangan (mungkin jam pengingat waktu bertobat).
Mini Cooper hitam lengkap dengan dokumen kendaraan dan buku tabungan BCA, karena rupanya malaikat penjaga rekening juga ikut berperan dalam drama ini.
Semua barang itu dibungkus, diamankan, dan dibawa ke Kejati Kalbar untuk “pendalaman lebih lanjut.” Bahasa halus dari, ayo kita bongkar seberapa jauh dosa ini parkir di garasi duniawi.
Kepala Kejati Kalbar, Dr. Emilwan Ridwan, SH.MH, dengan nada hukum paling resmi menyatakan, semua dilakukan profesional, transparan, dan sesuai SOP. Tapi mari jujur sebentar, kalau benar semuanya transparan, kenapa baru sekarang ketahuan? Apakah selama ini malaikat-malaikat administrasi sibuk memverifikasi laporan pertanggungjawaban surga?
Korupsi di gereja bukan lagi sekadar kejahatan keuangan, itu eksperimen metafisik di mana manusia mencoba menipu Tuhan menggunakan kuitansi dan stempel resmi. Orang ini mungkin percaya Tuhan Maha Pengasih, tapi ia lupa Tuhan juga Maha Mencatat. Catatan Tuhan tak bisa dihapus pakai “tip-ex moral” atau laporan fiktif.
Yang paling ironis, dalam kasus ini, yang dikorupsi bukan gedung pemerintah, bukan proyek jembatan, bukan jalan berlubang, tapi rumah tempat manusia berdoa agar dijauhkan dari godaan setan. Sekarang kita bingung, mau berdoa di mana, kalau rumah Tuhan sudah masuk dalam daftar proyek gratifikasi surgawi?
Fenomena ini bukan lagi tindak pidana biasa. Ini seperti sinetron kolosal di mana setan sudah menyerahkan jabatan direktur moral kepada manusia. Dulu setan menggoda, sekarang manusia yang membujuk, “Santai aja, Tuhan paham kok.”
Kalau diteruskan, mungkin suatu hari nanti akan muncul tender pengadaan surga, “Dibutuhkan konsultan spiritual untuk membangun tangga menuju langit, DP 30%, laporan fiktif diterima asal rapi.”
Siapa tahu, di akhirat nanti, ada papan pengumuman bertuliskan, “Mohon maaf, pintu surga belum bisa dibuka karena ada kekurangan volume pekerjaan.”
Kita sudah lama tahu, korupsi di Indonesia itu sistemik, kronis, dan sering kali absurd. Tapi kali ini, absurditas itu sudah menembus altar. Ketika yang dicuri bukan lagi uang rakyat tapi uang yang dititipkan untuk semesta, maka koruptor bukan hanya mencuri materi, ia sedang mencuri makna ibadah. Ia tidak sedang makan uang negara, tapi sedang menelan iman orang banyak.
Seperti biasanya, setelah kasus ramai, akan ada kalimat sakti yang kita dengar di berita, “Tersangka bersikap kooperatif, mengaku khilaf, dan siap bertanggung jawab.”
Ya, kooperatif, setelah digeledah. Khilaf, setelah ketahuan.
Korupsi ini membuktikan satu hal, manusia bisa pura-pura jadi malaikat, tapi rekeningnya tak pernah bohong. Mobil merah dan Mini Cooper bukan simbol kemakmuran, tapi tugu peringatan untuk moral yang terbakar habis.
Di tanah yang katanya beriman, korupsi sudah jadi agama baru, dengan pasal sebagai kitab suci, laporan fiktif sebagai doa, dan tanda tangan pejabat sebagai amin.
Semesta pun hanya bisa menatap dari langit, sambil menggeleng pelan, “Anak-Ku, kau bangun gereja untuk-Ku, tapi ternyata yang kau sembah hanyalah dirimu sendiri.” (*)
#camanewak

