ReO Fiksiwan | Sastrawan
“Keputusan yang baik tidak memerlukan jawaban yang baik; melainkan memerlukan pertanyaan yang baik.” — Malcolm Gladwell (62), What the Dog Saw: And Other Adventures (2009).
DI NEGARA yang gemar menertawakan dirinya sendiri, politik hukum sering kali tampil sebagai panggung satire yang lebih menghibur daripada teater rakyat.
Penetapan delapan tersangka oleh Polda Metro Jaya atas kasus “penuduh” ijazah palsu Presiden Joko Widodo (2014–2024) adalah salah satu babak paling absurd dalam drama hukum kontemporer. Trio RRT—Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma—menjadi tokoh utama dalam lakon ini, menjalani pemeriksaan maraton selama sembilan jam pada 13 November 2025, lalu pulang tanpa penahanan.
Sebuah ironi yang membuat publik bertanya: siapa sebenarnya yang sedang diadili, kebenaran atau keberanian?
Tekanan publik yang disebut “silent majority” justru semakin bising dalam diam.
Namun, tekanan publik diam ini, bisa diacu sebagai „uji diam“ pada dukungan kuat dan besar dari metapolitik dan daya tarik legitimasi kekuasaan rezim Presiden Prabowo — dalam penggerogotan luar-dalam, ekstenal-internal — dengan daya rusak legasi kuasa rezim sebelumnya.
Komentar Mahfud MD dan Amien Rais di kanal YouTube dan Instagram mereka menambah lapisan semiotik dalam drama ini, seolah mengundang respon metapolitik dari kepemimpinan Presiden Prabowo.
Algoritme media sosial bekerja seperti doa malam di pekuburan: gaib, sunyi, tetapi penuh resonansi.
Publik diam, tetapi diam itu bukan kosong; ia adalah operasi senyap yang menggerakkan opini, membentuk narasi, dan menunggu momentum.
Siaran pers dr. Tifa di laman Facebooknya menegaskan bahwa inti perjuangan bukanlah ditahan atau dibebaskan, melainkan menegakkan kebenaran berbasis keilmuan. Ia menulis dengan nada religius sekaligus reflektif, bahwa proses panjang mencari kebenaran tidak berhenti pada kenyamanan pribadi.
Pernyataan ini, jika dibaca dengan kacamata John Rawls, adalah seruan untuk menegakkan prinsip keadilan sebagai fairness: bahwa hukum harus melayani kebenaran, bukan sekadar melayani kekuasaan.
Namun, dalam praktiknya, bias kognitif ala Daniel Kahneman dan bias konfirmasi yang diulas Rolf Dobelli tampak mendominasi: publik dan aparat sama-sama terjebak dalam narasi yang mereka ingin percayai, bukan pada fakta yang harus diuji.
Malcolm Gladwell, penulis dan jurnalis, dikenal karena gaya naratifnya yang menggabungkan psikologi, sosiologi, dan analisis budaya, dalam What the Dog Saw mengingatkan bahwa sering kali kita lebih sibuk melihat apa yang ingin kita lihat daripada memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Hakikat kebenaran faktual menurut Gladwell adalah bahwa fakta sering kali tidak berbicara sendiri; ia membutuhkan konteks, interpretasi, dan pertanyaan kritis.
Dalam konteks hukum, hal ini relevan: kebenaran hukum bukan sekadar kumpulan fakta, tetapi hasil dari proses interpretasi, argumentasi, dan pembuktian.
Gladwell menekankan bahwa keputusan yang baik lahir dari kemampuan mengajukan pertanyaan yang tepat, sehingga membuka ruang bagi fakta untuk berbicara dengan jernih.
Dengan demikian, What the Dog Saw memberi pelajaran bahwa dalam menghadapi politik hukum atau perdebatan publik, kita tidak boleh hanya terpaku pada jawaban yang sudah ada.
Kita harus berani mempertanyakan, menggali, dan menafsirkan ulang fakta agar kebenaran hukum tidak menjadi sekadar formalitas, melainkan benar-benar mencerminkan keadilan.
Kasus ijazah palsu ini menjadi cermin betapa politik hukum di Indonesia bisa berubah menjadi arena persepsi, bukan arena verifikasi.
Polisi bekerja dengan prosedur, publik bekerja dengan prasangka, elit bekerja dengan komentar, dan algoritme bekerja dengan diam yang berisik.
Semua bergerak dalam orbit masing-masing, tetapi jarang bertemu pada titik kebenaran.
Satire politik hukum ini akhirnya menyingkap daya rusak sistem hukum yang terlalu mudah dijadikan alat legitimasi.
Menangguhinya berarti menertawakan absurditasnya, sekaligus mengingatkan bahwa hukum seharusnya menjadi pranata keadilan, bukan panggung sandiwara.
Dalam diam “silent majority”, dalam doa malam yang gaib, dalam algoritme yang tak terlihat, publik sebenarnya sedang menunggu: apakah hukum akan kembali menjadi jalan menuju kebenaran, atau sekadar menjadi panggung komedi yang terus dipentaskan tanpa akhir. (*)
#coversongs: Lagu Nikita dirilis oleh Elton John pada 4 Oktober 1985 sebagai single utama dari album Ice on Fire.
Pesan lagu berkisah tentang cinta terlarang dan kerinduan yang terhalang oleh batas politik, menggambarkan seorang pria yang jatuh cinta pada penjaga perbatasan (Nikita) di balik Tirai Besi era Perang Dingin, namun tak bisa bersatu karena tembok ideologi dan politik.

