Moch Efendi, SH 
Calon Anggota DPR RI Partai Perindo
Nomor Urut 2
Daerah Pemilihan Jawa Timur XI
Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan & Sumenep 

KEMAJUAN suatu bangsa sangat ditentukan oleh sikap mental dan kedewasaan bangsa itu sendiri dalam memaknai nilai-nilai demokrasi, termasuk objektivitas dalam memilih wakilnya di legislatif. Semakin pemilik hak suara punya integritas dalam menentukan pilihan, maka akan semakin khidmat dan bermakna setiap ajang pemilihan anggota legislatif (Pileg) yang dihelat. 

Mewujudkan kedewasaan berdemokrasi dan berpolitik di negeri ini memang tak semudah membalik telapak tangan. Mencapai tatanan ideal seperti itu memang membutuhkan perjuangan panjang, berlika liku dan sarat dinamika. 

Hingga kini, yang namanya "dewa amplop" tetap menjadi momok meresahkan, identik dengan perampasan kewibawaan demokrasi. Namun jangan salah tafsir dulu! Dewa yang satu ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan dewa yang secara sprituil diyakini membawa berkah dan nilai-nilai positif oleh sekelompok saudara kita sebangsa setanah air. Sebaliknya, dewa ini justru sarat nilai-nilai negatif. Ia selalu akan menampakkan wujud pada masa-masa menjelang dihelatnya pesta demokrasi, termasuk Pileg, menghampiri lalu merenggut idealisme para pemilik hak suara. Tentunya dengan harapan besar bisa mereguk kemenangan berbayar lunas! Ya, "dewa amplop" adalah kiasan dari praktek "money politics" pada ajang-ajang kontestasi, termasuk Pileg.

Apakah sang dewa akan senantiasa hadir di tengah-tengah pemilik hak suara tadi? Tentu saja tidak! Wong hadirnya hanya sesaat, menjelang 'para pemuja'-nya mencoblos kontestan caleg yang dikehendaki, lalu bisa dipastikan selama 5 tahun sang pemenang duduk di atas singgasana-nya, "dewa amplop" ini tidak bakalan nongol-nongol lagi! Wong sudah dibayar lunas!

Sekedar edukasi, jika diasumsikan hitungan matematik-nya begini. Kalau seorang "pemuja" atau pemilik hak suara menerima 'fulus Rp 100.000,- misalnya, maka jika dibagi 365 hari (satu tahun) hasilnya menjadi Rp274,-. Nah, jika Rp274,- kita bagi lagi, dibagi 5 (lima tahun), maka hasilnya menjadi Rp55,-. Segitulah nilai suara 'pemuja dewa amplop" dalam sehari dan jangan berharap sang dewa bakal datang lagi menghampiri! 

Jadi, nilai "dewa amplop" ini sebenarnya sangatlah kecil bila dibanding besarnya harapan dan aspirasi rakyat yang seharusnya dijembatani lalu direalisasikan oleh wakil rakyat. 

Saya mengilustrasikan begini tentunya tidak terlepas dari masih maraknya oknum-oknum kontestan pesta demokrasi yang memanfaatkan kelebihannya dalam segi finansial. Sebuah cara-cara berdemokrasi, gaya-gaya berpolitik yang tidak beretika. Meraup perolehan suara lewat praktek money politics demi meraup suara, syukur-syukur bisa menjadi pemenang dalam ajang kompetisi yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan sportivitas, sehingga kompetensi diri betul-betul menjadi penentu.  


Adanya pembangunan asalnya dari aspirasi rakyat. Aspirasi itu ditampung, lalu direncanakan. Kalau rencana sudah beres, diatur sebagus mungkin, agar realisasinya juga bagus. Kalau pembangunannya bagus, hasilnya kembali lagi ke rakyat, yang merasakan ya rakyat di daerah itu. Untuk itu dibutuhkan sosok yang aspiratif, kaya dengan pengalaman sosial kemasyarakatan, sehingga apa-apa yang diharapkan dan dibutuhkan rakyat sudah menggumpal di benaknya, tinggal mengaplikasikan ketika amanah ada di pundaknya. 

Melalui tulisan ini saya mengingatkan kepada sanak saudara sebangsa setanah air sekampung halaman, dimana saja berada, jangan sampai tergiur iming-iming "dewa amplop". Berapa pun nominal 'selipan' di dalam amplop, entah itu bernilai rupiah, dollar atau poundsterling sekalipun, ingat bahwa hak suara dan aspirasi Anda nantinya jauh lebih berharga dan memberi manfaat bagi diri Anda dan orang banyak ketimbang menerima "dewa amplop" yang disodorkan ke tangan Anda! Ingat! Wakil rakyat membawa amanah rakyat dan amanah itu adalah aspirasi! 

Kalau ada oknum caleg yang menggunakan "dewa amplop" dalam kompetisi yang idealnya mengkedepankan sportivitas dan kedewasaan berdemokrasi, otomatis ada yang berkurang atau minus. Selain moralitas selaku individu, tentu saja kocek ikut menipis! Nah, bagaimana caranya mengembalikan yang kocek berkurang atau minus tadi? Yang kerap terjadi, oknum-oknum anggota legislatif cenderung nekat mengambil yang bukan haknya, tentunya ini berkaitan dengan uang negara yang bersumber dari rakyat!


Catatan Kaki: 



Moch Efendi, SH adalah seorang wartawan senior sekaligus owner / CEO group media Beritalima (koran dan media online). Mulai tahun 2015, ia resmi menyandang profesi advokat  dan aktif sebagai Sekretaris Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) Jawa Timur. 

Cak Efendi, demikian pria kelahiran Pamekasan Madura 31 Oktober 1966 ini akrab disapa, oleh banyak kalangan dikenal sebagai sosok enerjik dengan seabrek kegiatan. 

Saban hari, ada saja kegiatan atau acara yang ia ikuti atau hadiri. Baik selaku wartawan, owner media, pengurus sederet organisasi sosial dan profesi, maupun selaku pemuka masyarakat di Surabaya, kota tempat ia berdomisili bersama keluarga tercinta. 

Dalam berbagai moment penting, baik di tataran Pemerintah Provinsi Jawa Timur maupun Pemkot Surabaya, namanya selalu ada di list undangan resmi. Ini adalah bukti bahwa eksistensi, pergaulan dan kiprahnya selama ini telah mendapat pengakuan dan ia layak diperhitungkan untuk menjadi wakil masyarakat Jawa Timur di DPR RI. 

Ecevit Demirel/Penulis




 
Top