"BANG, sekarang dah nggak jualan lagi, ya?" Pelangganku bertanya ketika kami sedang berpapasan di jalan.

"Jualan kok, Mbak," jawabku sembari melangkah pelan menuju rumah dengan menenteng kantong kresek berisi sayur cesim.

"Kenapa setiap kali aku ke warung Bang Wawan selalu tutup?" Mbak Dewi kembali bertanya sembari berjalan sepertiku. Kami saling bersisian.

"Heeem ... besok datang aja ke warung lagi, ya, Mbak! Ini aku belanja sayur untuk jualan besok," Bibirku melengkung dan berpamitan pulang kepada Mbak Dewi.

Kami saling melambaikan tangan.

Keesokan paginya tepat pukul 09:00 aku sudah siap di warung tinggal menunggu pelanggan datang. Aku berjualan mie ayam di dekat rel.

Di gerobak coklat ini sudah tersusun rapi, panci besar, sayur cesim, tauge, mie dan lain-lain umumnya orang dagang mie ayam.

Satu jam kemudian warungku masih sepi, padahal biasanya jam segini udah terjual sekitar dua puluh mangkok. 

Tetiba ponselku berdering,

"Bang Wawan nggak jualan lagi? Kenapa sepi, gelap berkabut lagi. Dari tadi juga lama nyampai sini, bingung kok nggak nemu-nemu warungnya. Keblabasan sampai TPU tadi. Padahal udah jauh-jauh nyampai sini pengen banget makan mie ayam Abang Wawan," keluh Mas Sulis pelanggan setiaku.

Aku mendesah kasar,

Setelah Mas Sulis mematikan teleponnya, aku berjalan ke depan warung mengamati sekitar. Pandanganku langsung tertuju kepada sepeda motor matic berwarna merah.

"Itu Mas Sulis 'kan? Ah, mumpung masih di situ aku samperin aja, deh!" Aku melangkah mendekati lelaki brewokan itu.

"Assalamu'alaikum, Mas Sulis!"

"Wa'alaikummussalam ... Bang Wawan? Kebetulan ada di sini. Baru mau buka warung, ya?" Nampak wajah keheranan darinya. Diamatinya warungku di seberang sana, matanya mengerjap-ngerjap sambil sesekali mengerutkan dahinya.

"Aku udah buka dari sekitar satu jam yang lalu, Mas. Itu warungku buka, liat aja, Mas! Ayo ke sana!" ajakku sembari memegang lengannya dan mengajaknya berjalan menuju warung. Motornya tetap terparkir di seberang warungku tepat di depan penjual kelapa muda.

"Eh, iya, ini buka. Kok bisa gini, ya? Padahal tadi aku liat sepi gelap berkabut. Nyasar lagi. Beberapa kali papasan sama orang yang ingin ke sini juga, tapi pada kecewa karena melihat warung Abang tutup katanya," Mas Sulis menjelaskan dengan tatapan penuh tanya.

Aku mengacak kasar rambutku, "Pantas saja warungku sepi terus, padahal sebelumnya ramai sekali dan jualanku selalu habis," celetukku. Aku berdiri di dekat gerobak sembari mengelap-ngelap tutup panci.

"Jangan-jangan ada yang nggak suka sama keramaian warung Bang Wawan, deh. Karena tetanggaku ada yang mengalaminya. Sama seperti apa yang Abang alami. Tapi, sekarang warungnya kembali ramai lagi setelah sering-sering dibacakan Al-fatihah, surat-surat pendek serta rajin membaca Al-Qur'an di dalam warungnya."

***

Beberapa hari kemudian,

Kini warungku kembali ramai lagi, pelangganku saling berjubel memesan mie ayam.

Istriku kini menemaniku berjualan, dia rajin membaca Al-Qur'an dan membaca surat-surat pendek.

Kedua anak perempuanku ketika libur kerja juga ikut membantuku.

Alhamdulillah sekarang mie ayamku laris manis seperti sedia kala. ***

Note: Jangan mengotori hati dengan rasa iri pada rezeki orang lain. Setiap manusia sudah ada takaran rezekinya masing-masig. Bahkan, seekor ulat yang hidup di dasar lautpun Allah tidak pernah melupakan rezekinya!

by: Maymey


 
Top