Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)
Tabik Pun!
DI MEJA makan masyarakat Lampung, sambal bukan sekadar pelengkap. Ia adalah pusat rasa, penegas identitas, dan medium ekspresi kebudayaan.
Salah satu sambal paling khas dan sarat makna dalam keseharian warga Lampung adalah sambal tempoyak, perpaduan tajam antara fermentasi durian dan sensasi pedas cabai.
Makanan ini tidak hanya menggugah lidah, tetapi juga menggugah kesadaran: bahwa rasa, seperti halnya hidup, adalah soal penerimaan, proses, dan keberanian.
Sambal Tempoyak, Dari Buah Busuk Menjadi Inti Rasa
Tempoyak adalah daging durian yang difermentasi beberapa hari hingga muncul rasa asam tajam yang khas. Dalam perspektif luar, makanan ini mungkin dianggap aneh, menggunakan buah yang sengaja “dibusukkan”, tetapi justru di situlah letak nilai filosofisnya.
Tempoyak mengajarkan bahwa tidak semua yang busuk itu dibuang, bahwa sesuatu yang dianggap tak layak bisa diolah menjadi sumber kenikmatan, bahkan menjadi pusat dari keseluruhan pengalaman makan.
Dalam sambal tempoyak, masyarakat Lampung memadukan cabai, bawang, dan kadang ikan kecil seperti teri atau ikan seluang. Proses memasaknya pun beragam, ada yang ditumis, direbus, atau sekadar dicampur mentah. Namun satu hal pasti: aroma dan rasanya kuat, menuntut keberanian dari siapa pun yang menyantapnya.
Filosofi Rasa: Asam, Pedas, dan Daya Tahan
Sambal tempoyak mengajarkan ketahanan rasa. Ia tidak kompromi: asamnya menusuk, pedasnya menggigit, dan aromanya tajam. Ini mencerminkan karakter masyarakat Lampung yang tegas, berprinsip, dan berani menampilkan diri apa adanya. Dalam satu sendok sambal ini, terdapat pelajaran penting tentang keberanian menghadapi yang tidak nyaman, dan menjadikannya kekuatan.
Rasa asam dari tempoyak juga menyimbolkan proses hidup. Bahwa tidak semua hal dimulai dengan manis. Bahwa dalam perjalanan waktu, rasa bisa berubah—dan perubahan itu adalah bagian dari proses menuju kedewasaan. Sama seperti tempoyak yang berasal dari durian manis, lalu mengalami fermentasi, demikian pula hidup manusia: berubah, kadang asam, tapi bermakna.
Ritual Keseharian yang Sakral
Sambal tempoyak tidak hanya hadir di hari-hari istimewa. Justru kekuatannya terletak pada keseharian. Ia adalah pengikat makan bersama, pelengkap nasi panas dan ikan bakar, pembuka cerita di meja keluarga. Dalam banyak rumah, sambal tempoyak menjadi alasan untuk duduk bersama, berbagi piring, dan saling mencicipi.
Makanan ini sering dibuat dalam jumlah banyak, disimpan dalam toples atau kendi tanah liat, dan bisa bertahan hingga berminggu-minggu. Ini mencerminkan nilai perencanaan, penghematan, dan kesinambungan dalam budaya makan masyarakat Lampung.
Dalam beberapa keluarga, ada kebiasaan mewariskan resep sambal tempoyak secara turun-temurun. Bahkan, variasi rasa sambal ini bisa menjadi penanda kampung, marga, atau garis keturunan tertentu.
Tempoyak milik nenek di Pesisir Barat bisa berbeda dengan yang dibuat keluarga di Way Kanan—dan itu tidak jadi masalah. Justru perbedaan itu dirayakan, menjadi bentuk identitas yang majemuk namun tetap satu.
Perlawanan Sunyi terhadap Homogenisasi Rasa
Di tengah gempuran makanan cepat saji dan kuliner modern yang serba instan dan manis, sambal tempoyak berdiri sebagai bentuk perlawanan senyap.
Ia tidak tunduk pada standar rasa industri, tidak takut ditolak lidah baru. Justru dengan tampil “ekstrem” dan otentik, sambal ini mengajarkan untuk berdiri teguh pada akar budaya.
Tempoyak bukan untuk semua orang, dan itu tidak apa-apa. Karena justru dalam keterbatasan itu, ia menjadi spesial. Seperti nilai lokal yang tidak perlu disukai semua orang untuk punya harga diri.
Simbol Relasi dengan Alam
Sambal tempoyak juga mencerminkan relasi masyarakat Lampung dengan alam. Durian tidak selalu hadir sepanjang tahun, sehingga tempoyak menjadi cara cerdas untuk mengawetkan hasil panen, menghindari pemborosan, dan menciptakan rasa baru dari bahan lama. Ini adalah bentuk ekologi kuliner, yang mengakar dalam cara hidup berkelanjutan.
Penggunaan ikan lokal seperti teri, seluang, atau ikan sungai lainnya juga menjadi bukti keterhubungan erat antara masyarakat dengan ekosistem sekitar. Bahan-bahan diambil dari lingkungan terdekat, tanpa harus mengimpor atau membeli produk dari jauh.
Sambal Sebagai Narasi Budaya
Sambal tempoyak bukan sekadar lauk. Ia adalah kisah tentang bagaimana masyarakat Lampung memaknai waktu, perubahan, kebersamaan, dan identitas.
Dalam dunia yang makin menyeragamkan rasa, sambal ini berdiri sebagai penanda keberanian untuk berbeda, dan sebagai pengingat bahwa yang tidak biasa pun bisa menjadi pusat dari sesuatu yang luar biasa.
Sepiring sambal tempoyak adalah sepiring filosofi hidup: keras, jujur, dan penuh rasa.
Menjaga sambal tempoyak berarti menjaga cara berpikir, cara hidup, dan warisan budaya yang tak ternilai. Dan selama ada yang masih menyendok sambal ini ke piring nasinya, selama itu pula kita masih punya harapan akan masa depan yang lebih membumi, lebih bermakna, dan lebih manusiawi. (*)