L K Ara


(Puisi Esai untuk Empat Pulau yang Tak Mau Pindah dari Aceh)


Laut dan Luka yang Tertulis di Peta

Di ujung barat nusantara,

di mana azan menggetarkan embun pagi paling dulu,

empat pulau kecil terbaring bagai anak-anak

yang tertidur di pangkuan Ibu Pertiwi.

Namanya: Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, Mangkir Ketek—

bukan sekadar gugusan tanah,

melainkan potongan tubuh Aceh

yang disiram air mata dan dibalut janji perjuangan.

Pulau-pulau itu milik Singkil sejak sebelum republik dibentuk,

sejak nelayan menenun doa dalam jaring,

dan syair Didong dibisikkan kepada bulan.

Tapi peta bisa keliru.

Tanda tangan di atas meja bisa lebih tajam

dari angin yang mencuri arah.


Siapa yang Menarik Garis Tanpa Tanya?

April dua lima.

Jakarta menulis ulang sejarah

tanpa berkonsultasi pada laut

yang menyimpan jejak langkah leluhur.

Aceh tak menggugat karena nafsu,

tetapi karena kenangan itu suci—

tanah ini tak hanya diwariskan,

tapi dijaga dengan jiwa.

“Milik siapa pulau ini?”

Tanya seorang bocah di Singkil.

“Milik yang bangun subuh dan azan di pasirnya,”

jawab ibunya sambil menatap jauh.


Rapat yang Menentukan Napas Pulau

17 Juni 2025.

Presiden Prabowo membuka rapat di Istana.

Mendagri Tito, Gubernur Sumut Bobby,

dan Gubernur Aceh Mualem duduk satu meja.

Di antara berkas dan suara yang ditahan,

suara gelombang tiba-tiba terdengar:

“Pulau ini tidak bisa pindah.

Kami sudah ditanamkan sejarah

di tiap batang kelapa dan mushalla.”


Akhirnya keputusan jatuh

seperti hujan di musim kering:


“Empat pulau itu sah milik Aceh.”


Dan laut pun bertepuk,

angin menyampaikan kabar

kepada para nelayan di pantai Singkil.


Surat Itu Telah Dibaca, Tapi…

Pulau tak menulis.

Tapi ia tahu siapa yang memandikan jenazah

di tanahnya.

Siapa yang mengaji ketika petang.

Siapa yang mengangkat bendera saat 17 Agustus

meski ombak menggulung tiang bambu.

Kini, keputusan telah diumumkan.

Tapi jangan hanya berhenti pada konferensi pers.

Jadikan setiap pulau itu sekolah sejarah,

jembatan doa,

dan tiang harga diri.


Karena gelombang sudah mengirim suratnya.

Dan presiden—telah membacanya. (*)



📌 Catatan Kaki:

1. Empat pulau yang disengketakan (Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, Mangkir Ketek) telah sejak lama termasuk wilayah Aceh Singkil, baik secara sejarah maupun sosial-budaya.

2. Keputusan Kemendagri April 2025 sempat menyatakan pulau-pulau itu milik Sumut, namun koreksi datang pada 17 Juni 2025 lewat keputusan Presiden Prabowo Subianto: keempat pulau tersebut sah milik Provinsi Aceh.

3. Perjuangan ini diwarnai dengan data, sejarah, diplomasi dan keteguhan warga Aceh menjaga warisan leluhur.




 
Top