foto AI, bukan sosok sebenarnya
Rosadi Jamani

- Ketua Satupena Kalbar


MEDAN ini, Bung! Ungkapan yang sering kita dengar bila orang Sumatera Utara bicara. Saya pernah seminggu di kota tersebut. Merasakan nikmatnya seruput kopi Mandailing. Tapi, saya tidak bicara kopi, melainkan korupsi. Kebetulan sudah agak lama tidak mengenalkan lagi para koruptor hebat di negeri ini. Kali ini kita akan mengenal seorang koruptor kelas elit yang berasal dari jantungnya tanah Sumut. Simak lae sambil seruput kopi tanpa gula.

Mari kita beri standing ovation dulu. Berdirilah bentar, wak! Beri hormat. Karena inilah dia, sang maestro birokrasi Sumatera Utara, lelaki yang diyakini sebagian netizen sebagai perpaduan antara kecerdasan teknokrat, kharisma selebgram dan kelicinan pejabat era Reformasi. Dr. Topan Obaja Putra Ginting, S.STP, M.SP, nama yang panjangnya setara daftar dakwaan. Lho tak tengok tu gelarnya, lae? Horas…!

Lahir di Medan, 7 April 1983, Topan tumbuh menjadi sosok yang diimpikan semua mertua. 

Lulusan STPDN 2007, ia menapaki karier ASN seperti menaiki eskalator yang tak pernah rusak. 

Dari Kasubbag Protokol Pemkot Medan, naik jadi Kabid Diskominfo, melesat menjadi Camat, lanjut Plt Sekda Kota Medan, Kadis PU, Plt Kadispora, Kadisdik, Kadis PUPR Sumut dan Plt Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Energi dan Sumber Daya Mineral. 

Setiap kali jabatan kosong, seolah makhluk bersayap turun membawa SK baru khusus untuknya.

Lihatlah Instagram-nya. Sebuah altar digital penuh wajah-wajah agung. 

Ada foto dengan Presiden Prabowo, tegak gagah penuh harapan. 

Ada potret bersama mantan Presiden Jokowi, dengan senyum yang seolah berkata, “Anak muda ini, masa depan bangsa.” 

Ada juga jepretan dengan Jenderal TNI, Gubernur Bobby Nasution, bahkan selfie di lokasi proyek. 

Ia tampil seperti tokoh anime yang sudah menamatkan semua level ASN dan kini siap menjadi legenda.

Tapi legenda itu retak. Tepatnya, remuk redam di tangan KPK, 26 Juni 2025. 

Sebuah OTT yang menghebohkan. Topan ditangkap dalam dugaan suap proyek infrastruktur jalan senilai Rp231,8 miliar. Proyek pembangunan Jalan Sipiongot–batas Labusel (Rp96 miliar) dan Hutaimbaru, Sipiongot (Rp61,8 miliar) mendadak berubah dari jalan kemajuan menjadi jalan kenistaan. Dari sinyal keberhasilan jadi sinyal darurat moral. Dari proyek pembangunan berubah jadi proyek pemenjaraan.

Jangan lupakan mahakarya paling absurd dalam riwayatnya, proyek lampu pocong. Bukan puisi, bukan metafora. Ini lampu jalan beneran yang wujudnya seperti pocong, jumlahnya 1.700 unit, nilainya Rp25,7 miliar. Seperti nasib kebanyakan janji pejabat, banyak yang mati sebelum waktunya. Lampunya tak nyala, tapi anggarannya menyala-nyala. DPRD pun mengutuk. Warga mengelus dada. Hantu pun ikut bingung.

Topan juga terlibat dalam proyek kabel tanam dan drainase perkotaan, proyek-proyek yang dalam rapat disebut “infrastruktur penopang masa depan”, tapi dalam kenyataan lebih cocok disebut “lubang masa depan”. Tak jelas progresnya, tak jelas dampaknya, tapi yang jelas… uangnya jalan terus.

Kini semua gelar, jabatan, dan koneksi hanya tinggal deretan nama di berkas perkara. Yang dulu dielu-elukan karena kariernya cepat, kini dicaci karena kerakusannya lebih cepat lagi. Ia adalah simbol ASN superkilat yang bukan hanya pintar meniti karier, tapi juga mahir mencari celah proyek. Ia tak sekadar koruptor. Ia artis anggaran. Tukang poles laporan. Aktor utama dalam sinetron “Jalan-Jalan ke Penjara”.

Lalu, kita? Rakyat, dibuat muntah oleh kisah berulang ini. Kisah di mana foto bersama presiden jadi tameng moral, proyek bernilai miliaran jadi bancakan, dan pejabat yang katanya membangun negeri justru menghancurkannya dari dalam, sambil tersenyum, dan sesekali update story.

Topan, namamu akan dikenang. Bukan sebagai pembaharu Sumut. Tapi sebagai badai kecil yang menyapu bersih harapan di jalanan yang bahkan belum selesai diaspal.(*)


#camanewak





 
Top