Rosadi Jamani
- Ketua Satupena Kalbar
SEBELUM membaca ini, siapkan tisu dulu ya. Karena, mengandung bawang. Ini true story, rekomendasi dari follower saya. Tapi, kopi tanpa gula tetap di atas meja.
Ceritanya begini, wak! Jumat pagi yang sepi, 27 Juni 2025, masih fresh kejadiannya. Sebuah mobil berhenti perlahan di halaman Griya Lansia Husnul Khatimah, Malang. Dua perempuan keluar dengan tergesa. Di antara mereka, seorang wanita renta melangkah pelan, jilbab ungunya berkibar tertiup angin. Namanya Mbah Nasikah. Usianya 74 tahun. Tangannya gemetar memegang tas kecil, entah berisi baju, obat, atau kenangan yang sudah dikemas seperti barang rongsokan.
“Biar kami saja yang tanda tangan, Bu,” kata salah satu dari dua putrinya, inisial SR dan F.
Lalu pena bergerak. Tinta ditekan pelan di atas selembar kertas perjanjian. Isinya tak seperti surat cinta anak kepada ibu. Bukan surat permintaan maaf. Bukan pengakuan kasih sayang. Tapi… permohonan agar tak dikabari jika Mbah Nasikah meninggal dunia. Kalimat dingin itu tercetak jelas. Hitam di atas putih. Hitam, seperti hati mereka.
Arief Camra, ketua yayasan, berdiri terpaku. Ia terbiasa menerima lansia yang sebatang kara. Tapi hari itu, ia menyaksikan seorang ibu diserahkan oleh darah dagingnya sendiri, bukan karena miskin, bukan karena gila, bukan karena tua, tapi karena dianggap merepotkan.
Mbah Nasikah duduk di samping Arief. Senyumnya tipis, matanya kosong. Ia tak menangis. Bukan karena kuat, tapi karena air matanya sudah habis sejak lama. Sejak suaminya pergi entah ke mana. Sejak ia harus membesarkan tiga anak sendirian. Sejak ia menggadaikan hidupnya untuk membayar sekolah, makan, dan masa depan anak-anak yang kini menolaknya seperti kantong kresek bekas belanja.
Anak laki-lakinya telah meninggal. Yang tersisa dua putri. Tapi mungkin mereka tak tahu apa artinya “ibu”. Bagi mereka, ibu hanyalah pengasuh masa lalu. Setelah tumbuh dewasa, ibu bukan lagi prioritas, hanya pengingat usia. Maka dititipkanlah beliau ke panti, disertai larangan, jangan beri kabar jika beliau mati.
Mati.
Satu kata yang selama ini ditakuti. Tapi bagi Mbah Nasikah, mungkin itu sudah jadi harapan. Karena hidupnya kini hanya serangkaian pagi yang sunyi, malam yang hampa, dan ruang kosong tanpa suara panggilan, “Bu, makan, yuk.”
Siapa yang tak geram?
Siapa yang tak ingin mencengkeram pundak SR dan F, dan bertanya, “Di mana hati kalian?”
Apa susahnya mengusap punggung ibu? Apa beratnya menyuapi ia semangkuk bubur? Apa memalukan jika rumahmu dipenuhi aroma minyak kayu putih dan suara batuknya membangunkanmu dari tidur mewahmu?
Ibu ini tidak meminta dunia. Ia hanya ingin mati dengan didampingi cinta. Tapi kalian bahkan tidak ingin tahu jika jantungnya berhenti.
Wahai manusia yang pernah menyusu pada dada renta itu, kelak di hadapan Allah, kalian akan ditanya, “Di mana kalian saat ibu kalian menunggu?” Langit akan menjadi saksi bisu atas tangis yang tak terdengar di panti jompo itu.
Sedang Mbah Nasikah?
Ia akan wafat dalam diam. Tapi namanya akan hidup dalam airmata orang-orang yang tak pernah mengenalnya, namun bersimpuh dalam sedih yang dalam, dan amarah yang membakar dada.
Wahai anak-anak yang lahir dari peluh dan air susu, ingatlah, doa ibu adalah tali langit. Kutukannya bisa membuat hidupmu pincang walau kau bergelimang harta. Merawat orang tua bukan beban, itu investasi. Dalam kuburmu nanti, Mbah Nasikah akan menjadi saksi. Apakah engkau layak disebut anak? Atau hanya penumpang rahim yang tak tahu balas budi?
Kelak, jika kau tua, dan anakmu berkata, “Ayah, Ibu, aku tak bisa rawat kalian, aku sibuk,” jangan marah. Itu hanya karma. Karma yang ditulis dengan tangan kecil yang dulu kau tinggalkan.
Wahai anak, ingatlah, dulu ibumu tidak menitipkanmu kepada siapa pun ketika kau lemah dan tak berdaya. Ia mendekapmu siang malam, menahan lapar demi kenyangmu, menahan kantuk demi tidurmu, menahan sakit demi sehatmu. Maka mengapa ketika ia lemah dan renta, kau titipkan ia pada orang lain?
Rasulullah bersabda, “Celaka! Celaka! Celaka!” Para sahabat bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang mendapati salah satu atau kedua orang tuanya dalam keadaan tua, lalu dia tidak masuk surga (karena tidak berbakti kepada mereka).”
(HR. Muslim)
Menitipkan ibu ke panti jompo bukan otomatis dosa, ada kondisi yang mungkin memaksa, tapi jadikan itu pilihan terakhir, bukan yang pertama. Selama masih ada ruang di rumahmu, masih ada waktu di harimu, dan masih ada tenaga dalam tubuhmu, jangan serahkan tanggung jawabmu kepada orang lain.
Rawatlah ibumu dengan penuh kasih. Karena dalam setiap helaan nafasnya yang renta, terkandung doa-doa yang bisa membukakan pintu surga bagimu.
Jika situasi memaksa harus menitipkan, pastikan tempat itu aman, penuh kasih, dan engkau tetap hadir dalam hidupnya. Jangan hanya menyerahkan tubuhnya—lalu melupakan jiwanya. Datangilah, peluklah, temani dia. Karena bagi seorang ibu, kehadiran anak adalah obat dari segala sepi.
Semoga Allah memeluk beliau lebih hangat dari anak-anaknya sendiri.
Selamat malam minggu, mohon maaf bila ada yang mewek atau meleleh. (*)
#camanewak