Catatan Satire; Rizal Pandiya

- Sekretaris Satupena Lampung


INILAH negeri yang penuh drama. Mulai dari presidennya yang gemar melempar teka-teki politik, hingga menterinya yang tak kalah lihai memainkan sinetron administrasi. Episode teranyar dan paling gurih datang dari panggung “rebutan pulau.” ini bukan soal batas negara seperti Sipadan–Ligitan atau Natuna yang bikin RI pasang badan.

Ini lebih unik: rebutan antarprovinsi, antarsaudara sekandung dalam bingkai NKRI. Sesama anak bangsa, sesama tetangga, sesama pemilik stempel dinas dan akun Instagram resmi – semuanya kini sibuk menunjukkan siapa yang paling berhak atas empat pulau mungil nan polos, yang tiba-tiba jadi primadona setelah bertahun-tahun dilupakan peta wisata.

Empat pulau: Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek tiba-tiba jadi buah bibir. Pulau yang tadinya sunyi, lebih sering disebut nelayan dan pengamat cuaca, kini jadi rebutan para pejabat, lengkap dengan rombongan, drone, dan deklarasi.

Pihak Aceh, lewat perwakilannya di DPD RI, datang ke pulau sambil membawa deklarasi dan sejarah. Konon katanya, pulau-pulau itu sudah dicangkul oleh leluhur orang Aceh, pernah dijadikan tempat ngopi sambil menikmati sunset, bahkan dijadikan posko saat gerilya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Bukti emosional dan administratif sudah lengkap. Tinggal kurang satu: izin pindah domisili dari Mendagri.

Tapi tunggu dulu, dari pihak Sumut, jawaban tak kalah benar, “Sudah dari 2008 dibahas. Pakai data ilmiah. Ada BIG, ada TNI AL, bahkan ada yang membawa penggaris dan satelit. Kami punya SK terbaru tahun 2025. Empat pulau itu sah milik kami. Titik.”

Jadi kita punya dua versi kebenaran. Yang satu pakai MoU Helsinki dan rasa memiliki, dan yang lainnya pakai SK. Satu berbasis kenangan, dan yang satu berbasis koordinat.

Jika mengacu kepada “teori kebenaran” Dahlan Iskan, kebenaran saja ternyata tidak cukup, karena hari ini, ada yang namanya kebenaran baru. Jika kebenaran berbasis fakta, ada datanya, bisa diverifikasi, logis, dan diakui oleh ilmu pengetahuan, hukum, atau catatan resmi, maka kebenaran baru lebih berbahaya tapi lebih kuat daya sebar dan pengaruhnya.

Kebenaran baru ini, tidak harus benar secara fakta, tapi bisa dirasa benar oleh banyak orang, berasal dari asumsi atau narasi yang emosional, didorong dan diperkuat oleh media sosial. Jika cukup banyak orang percaya, maka “kebenaran baru” ini bisa menyaingi atau bahkan menenggelamkan kebenaran lama.

Ringkasnya, menurut Dahlan, sekarang kebenaran saja tidak menjamin sebuah kebenaran. Harus dilengkapi dengan asumsi. Asumsi itu tidak perlu berdasar, asal viral dan dipercaya orang. Di situlah lahir kebenaran baru.

Tapi di luar teori itu, ada lagi syarat sebuah kebenaran agar menjadi benar, yaitu mendapat legitimasi dari istana. Konon pelopor kebenaran ini seseorang yang tidak punya ijazah, tetapi menjadi panutan bagi spesies baru yang disebut buzzer.

Lalu kini pemerintah pusat berusaha netral di antara dua kebenaran ini. “Jangan dipolitisasi,” kata mereka. Kalimat ini biasanya muncul ketika suasana mulai panas dan wartawan sudah antre menghidupkan kamera. Tapi rakyat tahu, kalimat “jangan dipolitisasi” itu sendiri sudah politis.

Dan lucunya, semua sepakat satu hal: mereka semua warga Indonesia. Tapi di negeri ini, menjadi sesama warga negara bukan jaminan untuk tidak berebut lahan. Bahkan meski masih dalam satu KTP dan satu bendera, tetap saja, kalau bisa diklaim, kenapa tidak?

Yang lebih menarik, semua pihak menyebut bahwa mereka terbuka untuk penyelesaian ke jalur hukum. Ini semacam lempar tanggung jawab versi legal. Kalau gagal berdamai, ya sudah, kita saling gugat saja. Saling tunjuk di pengadilan, seperti sinetron tapi durasinya bisa tahunan.

Ketika suasana makin panas, datanglah solusi dari langit. Sang Mendagri angkat bicara, “Ya sudah, dikelola bersama saja antara Aceh dan Sumut,” ujarnya sambil cengengesan.

Sekilas terdengar damai. Seperti orang tua memisahkan anak-anaknya yang rebutan mainan. Tapi, ini bukan rebutan remote TV di ruang tamu. Ini soal wilayah, administrasi, dan kedaulatan. Kata “kelola bersama” terdengar indah untuk bait puisi, tapi bikin bingung di lapangan.

Coba tolong pikir. KTP dan data kependudukan siapa yang tanda tangan? Kalau ada yang ingin nikah, pak penghulunya dari mana? Lalu kalau bayi lahir di Pulau Lipan, dia orang Aceh atau Sumut? Jangan sampai nanti kejadian terulang lagi, di ijazah tertulis lahir di Surakarta, tapi di buku alumni tertulis lahir di Solo.

Camat dan kepala desa, biasanya yang berwenang ngurus wilayah itu yang duduk di sana. Kalau dua pihak ngaku berhak, apakah kita akan punya dua camat dalam satu pulau? Camat pagi dari Aceh, camat sore dari Sumut?

Pajak dan pelayanan publik pun begitu. Siapa yang pungut uang parkir dan pajak? Nanti kalau pemilik warung protes karena dipungut dua kali, jawabannya apa? “Ini demi keadilan dua arah?” begitu!

Investasi dan izin usaha, juga gak kalah membingungkan. Pelaku usaha nanti harus izin ke dua provinsi? Kalau satu mengizinkan, dan satu melarang, siapa yang menang? Sebuah solusi yang sangat anomali.

Menurut Jusuf Kalla, tidak ada di dunia ini satu pulau dikelola dua pihak. Bahkan di teori politik paling canggih pun belum ada kamus yang bisa menjelaskan cara membagi satu pulau ke dua pemda dengan damai. Kalau pun ada, biasanya berakhir dengan pisau atau dikosongkan.

Inilah hasil dari pejabat yang asal ngomong. Asal mengusulkan tanpa landasan teori, tanpa simulasi, dan tanpa malu. Seolah-olah masalah selesai hanya dengan mengucap “kelola bersama.” Padahal justru dengan ucapan itu, makin jelas kalau usulannya tak punya fondasi pemahaman dalam menyelesaikan konflik kewilayahan.

Jangan-jangan sebentar lagi akan ada usulan lucu lainnya, “Bagian barat pulau untuk Aceh, bagian timur untuk Sumut. Tengah-tengahnya dijadikan zona netral, tempat healing bersama.”

Tapi kalau saya usul, bagaimana kalau, siang dikelola Sumut, dan malam dikelola Aceh? Atau dibuat seperti piket di pos ronda: hari Senin sampai Rabu milik Sumut, Kamis sampai Sabtu giliran Aceh. Sedangkan hari Minggu, untuk tempat pesta kawinan atau lokasi bulan madu bersama. Tapi syaratnya, harus membawa surat keputusan dua versi. Atau ada usulan lain? (*)


Bandarlampung, 14 Juni 2025

#MakDacokPedom



 
Top