Oleh: Ririe Aiko


KETIKA seorang menteri secara terang-terangan menyarankan warga negara yang menganggur untuk mencari kerja ke luar negeri, maka saat itu pula sebuah pengakuan pahit telah diumumkan: negeri ini gagal menyediakan ruang hidup yang layak bagi anak-anak bangsanya sendiri.

Pernyataan ini bukan sekadar ajakan biasa, melainkan simbol dari krisis sistemik yang telah lama menggerogoti tubuh Indonesia. Negeri yang konon kaya akan sumber daya alam dan memiliki bonus demografi, justru menjadi tanah yang gersang bagi anak-anak mudanya dalam mencari penghidupan. Kenyataan ini bukan fiksi—ia nyata, terasa, dan menyakitkan.

Fenomena para lulusan sarjana yang banting setir menjadi sopir ojek online, juru parkir, bahkan asisten rumah tangga di negeri sendiri, bukan lagi cerita pinggiran. Ini telah menjadi gambaran umum tentang betapa timpangnya dunia pendidikan dan realitas lapangan kerja. Di jalanan kota besar, mudah ditemui lulusan teknik yang bekerja sebagai kasir swalayan, atau sarjana ekonomi yang menjajakan makanan kecil demi bertahan hidup. Mereka bukan malas atau tidak berkemampuan—mereka adalah korban dari sistem yang tidak mampu menjamin masa depan mereka.

Kita tidak bisa menutup mata bahwa kebutuhan akan pekerjaan layak semakin mendesak. Lapangan kerja formal menyempit, sementara jumlah pencari kerja terus melonjak setiap tahunnya. Ironisnya, negeri ini tetap gencar membangun sekolah dan universitas, mencetak ribuan lulusan tiap tahun, namun lupa membuka pintu yang cukup untuk menampung mereka.

Lebih miris lagi, pekerjaan yang tersedia kerap tidak relevan dengan bidang ilmu yang dipelajari. Tak sedikit anak muda yang merasa sia-sia menghabiskan waktu bertahun-tahun di bangku kuliah hanya untuk mendapati bahwa gelar mereka tidak cukup untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Akibatnya, banyak yang memilih hijrah—bukan karena tak cinta tanah air, tetapi karena negeri ini tidak sanggup memberi mereka harapan.

Apa yang tersisa bagi bangsa ini ketika generasi terbaiknya merasa harus ‘kabur’ ke negeri orang untuk meraih sejahtera? Apa arti kemerdekaan jika anak bangsanya justru merasa lebih dihargai di negeri asing? Negara semestinya hadir untuk menciptakan ekosistem kerja yang mendukung, bukan mendorong anak-anak mudanya untuk menjadi pekerja migran karena tak ada pilihan lain.

Pernyataan seorang menteri yang menyarankan warganya bekerja ke luar negeri adalah cermin ketidakberdayaan negara dalam memenuhi hak dasar rakyatnya: hidup layak dan pekerjaan yang sesuai. Di titik ini, wajar jika kita merasa miris, marah, bahkan pesimis terhadap masa depan.

Namun, pesimisme tidak boleh menjadi akhir. Ini harus menjadi titik balik untuk mengevaluasi ulang arah pembangunan dan prioritas kebijakan. Negeri ini bukan tidak mampu mensejahterakan rakyatnya, sebaliknya negeri ini justru kaya raya, hanya saja terlalu banyak diisi oleh para pejabat yang gemar korupsi.

Jika tidak segera berubah, Indonesia akan benar-benar menjadi negeri pencetak pengangguran—tanah kelahiran yang tidak lagi bisa menjadi rumah bagi anak-anaknya. (*)



Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama
 
Top