Cerpen Rizal Tanjung
Perdebatan di Meja Filsuf
MALAM itu, angin menyelinap lewat jendela yang setengah terbuka, membawa aroma revolusi yang basi. Di tengah ruangan berlampu remang, meja bundar kembali dipenuhi oleh lima roh abadi yang dipaksa turun ke dunia fana untuk satu perdebatan terakhir.
Di sana duduk para algojo pikiran: Immanuel Kant yang masih percaya pada moralitas seperti pendeta yang keras kepala; Karl Marx dengan wajah sekelam manifesto yang tak pernah tuntas; Jean-Paul Sartre dengan senyuman sinis yang seakan tahu bahwa Tuhan sudah mati, tapi belum ada yang berani mengumumkannya; Nietzsche yang duduk paling malas, seperti dewa yang bosan dengan ciptaannya sendiri; dan Plato, si pemimpi tua yang masih menunggu utopia yang tak pernah datang.
Di tengah meja, sebotol anggur murah dan sekeranjang roti basi.
Di luar, demokrasi berkeliaran seperti pelacur tua yang sudah tak lagi menarik, tapi terus menjajakan dirinya dengan janji-janji yang tak pernah ditepati.
Nietzsche adalah yang pertama membuka mulut, suaranya rendah tapi tajam seperti pisau cukur.
“Demokrasi… Pelipur lara bagi massa yang lemah. Ilusi kebebasan yang dijual dengan harga diskon di etalase kapitalisme.”
Marx menyeringai sambil menuang anggur ke gelasnya.
“Kau akhirnya sadar, Nietzsche? Demokrasi tak pernah lebih dari boneka murah yang dikendalikan oleh tangan-tangan yang tak pernah terlihat.”
Kant menyela, suaranya kaku seperti buku tebal yang tak pernah selesai dibaca.
“Namun, demokrasi adalah kehendak rakyat… Bukankah itu puncak dari rasionalitas manusia? Setiap individu memiliki hak yang sama untuk bersuara.”
Sartre tertawa pendek, seolah Kant baru saja melontarkan lelucon murahan.
“Hak yang sama untuk bersuara? Tentu saja, Tuan Kant… Asalkan suaramu tak lebih keras dari gemerincing koin di kantong mereka yang membiayai pemilu.”
Nietzsche mengangkat gelasnya.
“Demokrasi modern tak lebih dari festival tipuan… Di mana kawanan domba memilih sendiri siapa yang akan menggiring mereka ke rumah jagal.”
Plato mengangkat alisnya, matanya memandang jauh seolah ia melihat reruntuhan Atlantis di balik asap tembakau.
“Demokrasi… Bentuk pemerintahan yang menempatkan para badut di singgasana, sementara para filsuf dibiarkan mati di penjara seperti Socrates.”
Marx menyesap anggurnya perlahan.
“Sungguh ironi, demokrasi dibiayai oleh mereka yang paling takut pada suara rakyat. Apa bedanya pemilu dengan lelang budak? Yang paling kaya akan selalu menang.”
Nietzsche tersenyum miring.
“Demokrasi adalah candu baru bagi rakyat, Marx. Kau terlalu naif jika mengira revolusi bisa datang dari bilik suara. Rakyat hanya memilih siapa yang akan menipu mereka selama lima tahun ke depan.”
Kant mengetuk meja, mencoba membela idealisme yang sudah lapuk.
“Tapi demokrasi memberi ruang bagi kebebasan… Bukankah lebih baik hidup dalam kebebasan yang penuh kekurangan daripada tirani yang sempurna?”
Sartre menyeringai, matanya berbinar seperti iblis yang baru keluar dari neraka.
“Kebebasan, Tuan Kant? Kebebasan macam apa yang kau maksud? Kebebasan untuk memilih antara pembohong yang satu dan pembohong yang lain? Demokrasi hari ini bukan tentang memilih pemimpin, tapi memilih siapa yang akan memperkosa kita dengan cara yang lebih sopan.”
Plato tersenyum pahit.
“Demokrasi hanya mungkin di tangan mereka yang memiliki kebijaksanaan. Tapi lihatlah hari ini… Tikus-tikus yang menguasai rumah, sementara para pemikir dipaksa mengemis di trotoar.”
Marx menatap ke luar jendela, di mana rakyat masih merayakan demokrasi dengan suara gaduh yang semakin mirip pesta mabuk.
“Demokrasi modern telah menciptakan Tuhan baru… Rakyat. Tapi seperti semua Tuhan yang pernah ada, ia hanya dipuja saat dibutuhkan, lalu dilupakan setelah pemilu selesai.”
Nietzsche menyeringai.
“Rakyat adalah dewa yang bodoh. Mereka diberi kertas suara dan merasa berkuasa, padahal nasib mereka sudah ditulis di meja makan para pemilik modal.”
Kant bersikeras, meski suaranya terdengar semakin rapuh.
“Namun, tanpa demokrasi… apa yang kita miliki? Diktator? Tiran?”
Sartre memotong cepat.
“Setidaknya tiran tak pernah berpura-pura mendengarkan.”
Plato menatap meja, seolah mencari jawaban di atas roti basi yang tak pernah disentuh.
“Masalahnya bukan pada demokrasi, tapi pada manusia yang menjalankannya. Jika kau memberi kuasa pada orang bodoh, maka kau akan mendapatkan kekacauan.”
Nietzsche tertawa, suaranya pahit.
“Dan bagaimana kau akan membedakan yang bodoh dan yang bijak, Plato? Demokrasi tidak pernah memilih yang terbaik… Ia hanya memilih yang paling pandai berbohong.”
Marx mendengus.
“Politisi hanyalah boneka ventriloquist, sementara tangan kapitalisme menggerakkan mulut mereka dari balik tirai.”
Malam semakin larut.
Botol anggur telah kosong.
Roti basi tetap tak tersentuh.
Di luar, demokrasi terus merayakan dirinya sendiri dengan pesta kembang api yang dibayar dari uang pajak.
Nietzsche akhirnya berdiri, menatap mereka satu per satu.
“Demokrasi adalah eksperimen yang gagal. Pada akhirnya, manusia akan selalu tunduk pada yang lebih kuat… Entah dengan senapan, atau dengan janji kosong.”
Sartre menyulut pipanya lagi.
“Dan manusia akan terus memilih rantai yang berkilau daripada kebebasan yang penuh luka.”
Plato memejamkan mata, seolah meratapi dunia yang tak pernah belajar dari sejarah.
Marx menyesap anggur terakhir, tahu bahwa revolusi yang ia mimpikan sudah lama dijual di pasar saham.
Kant menunduk, akhirnya menyadari bahwa idealismenya hanya dongeng yang tak laku di zaman ini.
Di meja itu, tak ada yang menang.
Tak ada yang benar.
Karena kebenaran, seperti demokrasi, hanyalah komoditas yang dijual kepada penawar tertinggi.
“Demokrasi,” gumam Nietzsche sebelum pergi, “adalah kebebasan untuk memilih siapa yang akan menipu kita… tanpa pernah tahu bahwa kita sendiri adalah pembohong yang paling setia.”
Malam pun menutup tirai.
Rakyat kembali tidur.
Politisi kembali menulis janji.
Dan demokrasi tetap berdiri di tepi jurang… menunggu siapa yang akan mendorongnya lebih dulu.(*)
2025.