Politik Mundur Saraswati

<p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><b></b></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><b><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcZN3FysUdpi4WaFaxyPX-n6nuu4DdTEQ6i5X1FunAAf8CC66sE1ShQR8W5KiEBMNMLGdDFa_MnXDjATKdmgtiYID3tmEhyphenhyphenL4gnI8MQ_LeVzHMx8rtAUWU0LkGoZ0fAN0Jtjm121KBUHDOi7qNFZQ6EIkCtWyGcreev5zCpHARF8HqSNJOMI4u3r0xZw/s768/Saraswati%20mundur.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="768" data-original-width="768" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcZN3FysUdpi4WaFaxyPX-n6nuu4DdTEQ6i5X1FunAAf8CC66sE1ShQR8W5KiEBMNMLGdDFa_MnXDjATKdmgtiYID3tmEhyphenhyphenL4gnI8MQ_LeVzHMx8rtAUWU0LkGoZ0fAN0Jtjm121KBUHDOi7qNFZQ6EIkCtWyGcreev5zCpHARF8HqSNJOMI4u3r0xZw/s320/Saraswati%20mundur.jpg" width="320" /></a></b></span></div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><b>Oleh ReO Fiksiwan</b></span><p></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><br /></span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"></span></p><blockquote><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">“Berdaulat adalah dia yang memutuskan dalam keadaan luar biasa.” — Carl Schmitt (1888-1985), Political Theology: Four Chapters on the Concept of Sovereignty (Edisi Inggris, 1985).</span></blockquote><p></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><br /></span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">MUNDURNYA Rahayu Saraswati Dhirakanya Djojohadikusumo (39) dari kursi DPR RI sebagai anggota DPR RI dan Wakil Ketua Komisi VII pada 10 September 2025, bukan sekadar peristiwa politik biasa.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Keputusan mundur ini ia ambil setelah potongan ucapannya dalam sebuah podcast menjadi viral dan dianggap menyinggung masyarakat, terutama terkait isu ketenagakerjaan dan peran pemerintah.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Ia menyatakan bahwa ucapannya telah menyakiti hati banyak pihak dan memilih untuk mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab moral.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Ia adalah momen reflektif yang membuka ruang bagi pembacaan ulang tentang relasi antara kekuasaan, etika dan konstruksi identitas politik di Indonesia.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Sebagai putri Hasyim Djojohadikusumo dan keponakan Presiden Prabowo Subianto, posisi Saraswati tidak hanya strategis secara struktural, tetapi juga simbolik.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Ia mewakili generasi baru dari dinasti politik yang telah lama berakar dalam lanskap kekuasaan nasional.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Namun, justru dari titik simbolik itulah ia memilih untuk mundur, dengan alasan yang tak lazim: tekanan dari netizen.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Dalam kerangka pemikiran Carl Schmitt, politik adalah soal keputusan dalam kondisi pengecualian.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Politik bukanlah arena konsensus, melainkan medan konflik yang menuntut penegasan siapa kawan dan siapa lawan.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixQBrPrlIZAWac9GZ_Q-7fjevIMcsC-GqHue2qMEkz4JUxvIVpgf5eX-GP_AuYlknC9-AScezDjEGYDMGGSf-Ipxdphkt_iKPJjyYMuesssICu5PpdqRWPp6MkEcRCtDA0h7x9SjcMYlRkwx_LuVLNd06Fcvbd9D8UlVv2aLeuJLDktHx-gc7qwu1HZw/s2733/Untung%20gede%20jadi%20biro%20perwakilan%20sumatrazone.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1755" data-original-width="2733" height="205" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixQBrPrlIZAWac9GZ_Q-7fjevIMcsC-GqHue2qMEkz4JUxvIVpgf5eX-GP_AuYlknC9-AScezDjEGYDMGGSf-Ipxdphkt_iKPJjyYMuesssICu5PpdqRWPp6MkEcRCtDA0h7x9SjcMYlRkwx_LuVLNd06Fcvbd9D8UlVv2aLeuJLDktHx-gc7qwu1HZw/s320/Untung%20gede%20jadi%20biro%20perwakilan%20sumatrazone.jpg" width="320" /></a></span></div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Mundurnya Saraswati dapat dibaca sebagai bentuk pengecualian terhadap logika kekuasaan yang biasanya bertahan dan melawan. Ia tidak memilih untuk mempertahankan posisi, melainkan menarik diri dari arena, seolah menolak untuk menjadi bagian dari antagonisme yang dibentuk oleh opini publik digital.</span><p></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Dalam dunia Schmittian, tindakan mundur ini bukan kelemahan, melainkan keputusan politik yang radikal: menolak untuk bermain dalam logika musuh dan kawan yang dibentuk oleh algoritma dan sentimen viral.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Namun, jika kita geser lensa ke arah Ben Anderson dan antropologi politik Indonesia, terutama dalam Language and Power: Exploring Political Culture in Indonesia (1990; Terjemahan, 2000), maka kemunduran Saraswati menjadi lebih kompleks.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Anderson menunjukkan bahwa kekuasaan di Indonesia tidak hanya dijalankan melalui institusi, tetapi juga melalui simbol, bahasa, dan narasi.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Dalam konteks ini, tekanan netizen bukan sekadar suara publik, tetapi bentuk baru dari kekuasaan simbolik yang mampu mendefinisikan legitimasi.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Saraswati, sebagai figur perempuan muda dari keluarga elite, menjadi objek narasi yang tak sepenuhnya ia kontrol.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Bahasa digital yang membentuk persepsi publik terhadapnya adalah kekuatan yang tak kasat mata, namun sangat menentukan.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Dalam dunia Andersonian, mundur bukan hanya tindakan politik, tetapi juga bentuk pengakuan atas kekuatan bahasa dan narasi yang telah membentuk ruang politik baru.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Kemunduran Saraswati juga membuka pertanyaan tentang etika politik dalam era digital.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Apakah seorang politisi harus tunduk pada tekanan opini publik, atau justru bertahan demi prinsip dan mandat konstitusional?</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Di sinilah paradoks muncul: etika politik klasik menuntut keteguhan, tetapi etika politik kontemporer menuntut kepekaan terhadap suara publik yang cair dan tak terstruktur.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Saraswati memilih jalan yang tidak populer dalam logika kekuasaan, tetapi mungkin justru etis dalam logika representasi publik.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Dalam lanskap politik Indonesia yang semakin dipengaruhi oleh performativitas media sosial, tindakan mundur menjadi bentuk baru dari komunikasi politik.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Ia bukan lagi sekadar pengunduran diri administratif, tetapi pernyataan eksistensial: bahwa politik bukan hanya soal bertahan, tetapi juga soal tahu kapan harus pergi.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Saraswati telah menunjukkan bahwa dalam dunia yang makin dikendalikan oleh bahasa, citra, dan persepsi, kekuasaan tidak lagi mutlak, dan mundur bisa menjadi bentuk tertinggi dari kontrol diri dan kesadaran politik.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Di tengah arus politik yang sering kali mengabaikan refleksi, keputusan Saraswati menjadi ruang kontemplatif yang langka.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Ia mengingatkan kita bahwa politik bukan hanya soal menang dan kalah, tetapi juga soal integritas, narasi, dan keberanian untuk keluar dari panggung ketika suara yang terdengar bukan lagi milik kita.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Dalam dunia yang dibentuk oleh kekuasaan simbolik dan tekanan digital, politik mundur bukanlah akhir, melainkan awal dari cara baru memahami kekuasaan. (*)</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><i><b>coverlagu: Lagu “Surat Buat Wakil Rakyat” yang sering disebut sebagai “Wakil Rakyat” adalah karya legendaris Iwan Fals (64) yang dirilis pada tahun 1987.</b></i></span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><i><b><br /></b></i></span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><i></i></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><i><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhwUACdJh9EFTa34lWsHKDp-27BsKIlmoRZM9yuxrHnlXzQV71D54HhblyrZhhhMPdjMcHlN_UzdrKdDMPuS9TeAKb73KQxNrA7TqhgcaQ5Up1_55sYx7FI6MGF8oVZIxsVMu2PJ3PuZ5aEQk1m8hwbQ2ORfgfRCMdiUbqdxNR5D9p-HAWV4Y8VKMQV1g/s720/ROBINSON%20KONSULTAN%20PERTANAHAN%20TERPERCAYA%20REPUBLIK%20INDONESIA.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="448" data-original-width="720" height="398" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhwUACdJh9EFTa34lWsHKDp-27BsKIlmoRZM9yuxrHnlXzQV71D54HhblyrZhhhMPdjMcHlN_UzdrKdDMPuS9TeAKb73KQxNrA7TqhgcaQ5Up1_55sYx7FI6MGF8oVZIxsVMu2PJ3PuZ5aEQk1m8hwbQ2ORfgfRCMdiUbqdxNR5D9p-HAWV4Y8VKMQV1g/w640-h398/ROBINSON%20KONSULTAN%20PERTANAHAN%20TERPERCAYA%20REPUBLIK%20INDONESIA.JPG" width="640" /></a></i></span></div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><i><b><br /></b></i><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiI6hUlBknQVl9u-uqNViQEXfgYfJ00VnUfaHVHgs1oLZ-ud8DP2YNefJrseZcwxI1GBfAkqQKbKNsgF2MCYbGI11Dye1Emp83yFDGb-sMtYoQi0x9wyqw-TwG2S2OWJbG3lMBgjdamSiEEm8Ua7Q56Mlq3kxUQh7Zo73xfzuVtPnU9AA33WS8VUOJqdg/s743/Order%20Iklan%20Sumatrazone.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="743" data-original-width="720" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiI6hUlBknQVl9u-uqNViQEXfgYfJ00VnUfaHVHgs1oLZ-ud8DP2YNefJrseZcwxI1GBfAkqQKbKNsgF2MCYbGI11Dye1Emp83yFDGb-sMtYoQi0x9wyqw-TwG2S2OWJbG3lMBgjdamSiEEm8Ua7Q56Mlq3kxUQh7Zo73xfzuVtPnU9AA33WS8VUOJqdg/w620-h640/Order%20Iklan%20Sumatrazone.jpg" width="620" /></a></div><br /></span><p></p>

Politik Mundur Saraswati

Oleh ReO Fiksiwan “Berdaulat adalah dia yang memutuskan dalam keadaan luar biasa.” — Carl Schmitt (1888-1985), Political Theology: Four Chap...

Baca selengkapnya »

Awali Reses I Bersama IKW RI, Zalmadi Tegaskan Peran Mulia Pers sebagai Pilar Demokrasi

<p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"></span></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEib8ACQSy21_NaFB642PKhASNZmKJTQss0xAqXt4UZWVIC57KcyLee7kduy97nNbps4FYa6-_uYi8lhik4dbkTnEwbN9VOtYQ_cnq2metsIxSer5DfBtWhJu6u0PpHalNrBQtAlblYqSjZhFA_fJ3wVg___kLavocfYKs7EBqtBT9hUXOPQjZCZIQnhiA/s1356/Syafrizal%20Buya%20beri%20hantaran%20kata%20di%20reses%20zalmadi.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="912" data-original-width="1356" height="430" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEib8ACQSy21_NaFB642PKhASNZmKJTQss0xAqXt4UZWVIC57KcyLee7kduy97nNbps4FYa6-_uYi8lhik4dbkTnEwbN9VOtYQ_cnq2metsIxSer5DfBtWhJu6u0PpHalNrBQtAlblYqSjZhFA_fJ3wVg___kLavocfYKs7EBqtBT9hUXOPQjZCZIQnhiA/w640-h430/Syafrizal%20Buya%20beri%20hantaran%20kata%20di%20reses%20zalmadi.jpg" width="640" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-family: arial; font-size: x-small;">Salah seorang punggawa IKW RI Syafrizal Buya memberikan hantaran kata.</span></td></tr></tbody></table><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"></span></div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><div><br /></div><div>PADANG -- Suasana di Rumah Gadang Rimbo Tarok Balai Baru, Kuranji - Padang pada Selasa (9/9/2025) siang terasa hangat penuh nuansa kekeluargaan. Momen ini mengawali Reses I masa sidang 2025–2026 yang digelar anggota DPRD Kota Padang, Zalmadi, S.Hum, bersama puluhan awak media yang tergabung dalam Ikatan Kekeluargaan Wartawan Republik Indonesia (IKW RI). </div></span><p></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Hadirnya puluhan wartawan membuat pertemuan yang awalnya bersifat dialog konstituen menjadi ajang refleksi profesi pers dengan topik sentral: tanggung jawab jurnalistik dan ketaatan pada Undang-Undang Pokok Pers. </span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Di hadapan rekan-rekan seprofesi yang pernah menjadi bagian dari perjalanan kariernya sebelum terjun ke politik, Zalmadi mengingatkan bahwa tugas wartawan jauh melampaui sekadar peliputan berita. </span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">“Wartawan memiliki peran mulia. Pers bukan sekadar profesi, melainkan pilar demokrasi yang harus tegak lurus pada kebenaran dan keadilan. Undang-undang ini menjadi pedoman utama agar kita tidak melenceng dari marwah pers yang sesungguhnya,” tegasnya disambut anggukan para hadirin.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiis88d5976anqe2Y26MVnZ9x4hndCFChbb8T6PqGnLQWF8maPnrAnFpXzZ83e_AUyUkrFqA5Egt-jFq7rMlLG1zOVkzR-KsoOZFP5wFFV56RlvABwmv-VeSftCTV0jX19WUb2M8FKSbXFroyMDKGXZw9-IoDti9w-9RKCXPxwL6zsfCVMqKaEikWQwiQ/s308/Zalmadi.jpg" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="292" data-original-width="308" height="292" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiis88d5976anqe2Y26MVnZ9x4hndCFChbb8T6PqGnLQWF8maPnrAnFpXzZ83e_AUyUkrFqA5Egt-jFq7rMlLG1zOVkzR-KsoOZFP5wFFV56RlvABwmv-VeSftCTV0jX19WUb2M8FKSbXFroyMDKGXZw9-IoDti9w-9RKCXPxwL6zsfCVMqKaEikWQwiQ/s1600/Zalmadi.jpg" width="308" /></a></span></div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Zalmadi menekankan pentingnya merujuk pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menempatkan pers nasional sebagai instrumen pemenuhan hak masyarakat untuk mengetahui serta pengembangan opini publik — termasuk fungsi pengawasan, kritik, dan koreksi terhadap kepentingan publik. </span><div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Menurutnya, pemahaman dan penerapan prinsip-prinsip dalam undang-undang tersebut adalah benteng agar praktik jurnalistik tidak menjadi alat destruktif tetapi konstruktif bagi kehidupan publik. </span></div><div><p></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Sebagai mantan jurnalis, Zalmadi berbicara dari pengalaman. Ia mengaku bangga dapat kembali berkumpul dengan kawannya sesama awak media, dan menggambarkan bagaimana etika jurnalistik serta prinsip peliputan bertanggung jawab menjadi pondasi yang menuntun langkahnya sebagai wakil rakyat. </span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Kehadiran <a href="http://www.sumatrazone.co.id/2025/03/zalmadi-pastikan-pembangunan-drainase.html">Zalmadi</a>, Ketua Karang Taruna Kota Padang yang juga merupakan Dewan Pembina IKW RI menjadikan pertemuan ini lebih dari sekadar reses politik—melainkan jembatan antara legislatif, pers, dan organisasi kemasyarakatan. </span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Dalam sesi tanya jawab, diskusi mengalir ke isu-isu aktual: verifikasi fakta di era informasi cepat, bahaya disinformasi, batasan kebebasan pers, hingga peran media lokal dalam membangun narasi pembangunan kota. </span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQVTXCyZjS6vclkoO-I9ihalD_1Hr8ZqTBK9mUwU01X_LkXLIyi_vGC_TFbPuqH8wzsbL1Cw6LZzfcIVaI0ZSTQO4-6QDm_hbiFheoe_K77-g0DmEGez2UOxfY1gvivECwOlLxrYeEg1y2rU7kmDay0iU_5nANedxMjX_S7Ff97whyphenhyphen6Qh4EvD3X5mZ3w/s4096/Reses%20Zalmadi%20di%20Rumah%20Gadang%20Rimbo%20Tarok.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="2304" data-original-width="4096" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQVTXCyZjS6vclkoO-I9ihalD_1Hr8ZqTBK9mUwU01X_LkXLIyi_vGC_TFbPuqH8wzsbL1Cw6LZzfcIVaI0ZSTQO4-6QDm_hbiFheoe_K77-g0DmEGez2UOxfY1gvivECwOlLxrYeEg1y2rU7kmDay0iU_5nANedxMjX_S7Ff97whyphenhyphen6Qh4EvD3X5mZ3w/w640-h360/Reses%20Zalmadi%20di%20Rumah%20Gadang%20Rimbo%20Tarok.jpg" width="640" /></a></span></div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><br />Beberapa wartawan menyorot kebutuhan pelatihan berkelanjutan agar kemampuan investigasi dan etika pemberitaan tetap kuat di tengah tekanan kecepatan rilis berita. </span></div><div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><br /></span></div><div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Zalmadi menyambut masukan tersebut, berjanji mendorong program <a href="http://www.sumatrazone.co.id/2025/08/perumda-am-kota-padang-jaga-sinergi.html">kolaboratif</a> antara DPRD, organisasi pers lokal dan komunitas guna meningkatkan kapasitas jurnalistik.</span><p></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Momentum reses itu juga dimanfaatkan untuk ajang silaturahmi lintas elemen: hadir pula Hendri Tanjung, S.Hut, Ketua Pelaksana HUT Karang Taruna ke-65, yang memaparkan rangkaian peringatan organisasi kepemudaan tersebut. </span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Rangkaian kegiatan dijadwalkan berlangsung 21–23 September 2025 dengan puncak acara pada 26 September 2025—menyajikan turnamen mini soccer, program “Karang Taruna Go To School”, santunan untuk keluarga kurang mampu, lomba mars Karang Taruna, perlombaan seni suara seperti nasyid dan kasidah, serta atraksi kebudayaan tradisional seperti pencak silat dan randai. </span></p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhN9aLcJ_aDlJDRI43MGP29FVFfgKR53rHLcIGib78f419Zry08pXhfxzs9M6ftbpl1GxpYe2OLDttPJc6gCuG4chBEnn63RsvhiheNwgatyvBEW5HCNH_ItoNrTZOjwrRQ2S4tmRbtfBuExBP0Dj4Cl7OXPrxgaGPBZlOvjMiONklS1ZytEtcFxuM-sQ/s400/IKW%20RI%20di%20Rumah%20Gadang%20Rimbo%20Tarok.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="285" data-original-width="400" height="228" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhN9aLcJ_aDlJDRI43MGP29FVFfgKR53rHLcIGib78f419Zry08pXhfxzs9M6ftbpl1GxpYe2OLDttPJc6gCuG4chBEnn63RsvhiheNwgatyvBEW5HCNH_ItoNrTZOjwrRQ2S4tmRbtfBuExBP0Dj4Cl7OXPrxgaGPBZlOvjMiONklS1ZytEtcFxuM-sQ/s320/IKW%20RI%20di%20Rumah%20Gadang%20Rimbo%20Tarok.jpg" width="320" /></a></div>Kehadiran program yang variatif ini menunjukkan upaya Karang Taruna menggabungkan pemberdayaan sosial, edukasi, dan pelestarian budaya. (Catatan: Karang Taruna didirikan pada 26 September 1960 sehingga perayaan ke-65 berbarengan dengan tanggal kelahiran organisasi.) </span><p></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Penguatan Akuntabilitas Publik. Ketika pers berfungsi sebagai pengawas yang bertanggung jawab, transparansi pemerintahan dan kualitas kebijakan publik cenderung meningkat.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Perlunya Profesionalisme di Era Digital. Kecepatan tanpa verifikasi berisiko merusak kredibilitas, sehingga pelatihan dan kode etik harus terus digalakkan.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Kolaborasi antar-elemen masyarakat. Forum semacam reses yang membuka ruang dialog antara wakil rakyat, wartawan, dan organisasi kepemudaan memperkuat jaringan sosial yang mendukung pembangunan lokal.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Reses I ini menutup dengan catatan optimis: dialog yang hangat dan kritis membuka peluang bagi inisiatif bersama dari program pelatihan jurnalistik hingga keterlibatan Karang Taruna dalam program literasi media di sekolah-sekolah. Bagi pembaca yang ingin mengikuti rangkaian HUT Karang Taruna atau berharap berdialog langsung dengan wakil rakyat, kalender kegiatan telah dipaparkan dan menjadi pintu masuk untuk partisipasi publik.</span></p><p><b><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">#mon/ede</span></b></p><p><b><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><br /></span></b></p><p><b></b></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><b><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiR181Sd9aJve1OhdlrRbKQPvJGJ1e4igGvVhJ3EgT2NWYtWiLP7ZTPez5zUvHaR921C9JuUHVAv98N4SuGcO-9RlmJWqW_VO26FXfUAOdiRDHkKyVQGUQ6XAHUAOoxDY7-h-GA-2EAWN9_AThhjdDYR4v9HlfxY5E8QkPQXujqyvP6lAPMmSw-quDeSA/s716/Dari%20Sumatera%20Menembus%20Nusantara.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="324" data-original-width="716" height="290" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiR181Sd9aJve1OhdlrRbKQPvJGJ1e4igGvVhJ3EgT2NWYtWiLP7ZTPez5zUvHaR921C9JuUHVAv98N4SuGcO-9RlmJWqW_VO26FXfUAOdiRDHkKyVQGUQ6XAHUAOoxDY7-h-GA-2EAWN9_AThhjdDYR4v9HlfxY5E8QkPQXujqyvP6lAPMmSw-quDeSA/w640-h290/Dari%20Sumatera%20Menembus%20Nusantara.jpg" width="640" /></a></b></div><b><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><br /></span></b><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUHpX7NR0E6naFRGejHe1c-I2pSAzgsB-wT5PS7FJkFbKpwbzKIM0LqtRSReexnfxHKE5Xd6sAPiolyaqaJYvfaX6xJre5LIilnoGa3jfVGBvEtCmVlSbnLLge3dFXfySIXr1HZw6Irjge-QT1NlxwTpjnnQfNKDf9M3JuJSHnnTNRfK-hemt8dyb5GQ/s720/ROBINSON%20KONSULTAN%20PERTANAHAN%20TERPERCAYA%20REPUBLIK%20INDONESIA.JPG" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="448" data-original-width="720" height="398" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUHpX7NR0E6naFRGejHe1c-I2pSAzgsB-wT5PS7FJkFbKpwbzKIM0LqtRSReexnfxHKE5Xd6sAPiolyaqaJYvfaX6xJre5LIilnoGa3jfVGBvEtCmVlSbnLLge3dFXfySIXr1HZw6Irjge-QT1NlxwTpjnnQfNKDf9M3JuJSHnnTNRfK-hemt8dyb5GQ/w640-h398/ROBINSON%20KONSULTAN%20PERTANAHAN%20TERPERCAYA%20REPUBLIK%20INDONESIA.JPG" width="640" /></a></div><br /><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHWsDUgU2CS5CzXGUdQFXKMApKNAJlsl5OLeXJYZM3NtvMGlmll2dIz8hrjYQu-vjFESEBSb6H369Wgy2E_s2oXD88UvlmtfkNq4kSMOi1AxrLn2606SiPhdClY3yg38YfLuXAAq0y4Oq6gHCeVB3kTTbEdZS_k5XyLyhZAm46eBWCoDHOyP6h7qn4pQ/s2705/AYO%20JADI%20BIRO%20PERWAKILAN%20SUMATRAZONE.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="2242" data-original-width="2705" height="530" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHWsDUgU2CS5CzXGUdQFXKMApKNAJlsl5OLeXJYZM3NtvMGlmll2dIz8hrjYQu-vjFESEBSb6H369Wgy2E_s2oXD88UvlmtfkNq4kSMOi1AxrLn2606SiPhdClY3yg38YfLuXAAq0y4Oq6gHCeVB3kTTbEdZS_k5XyLyhZAm46eBWCoDHOyP6h7qn4pQ/w640-h530/AYO%20JADI%20BIRO%20PERWAKILAN%20SUMATRAZONE.jpg" width="640" /></a></div><br /></div>

Awali Reses I Bersama IKW RI, Zalmadi Tegaskan Peran Mulia Pers sebagai Pilar Demokrasi

Salah seorang punggawa IKW RI Syafrizal Buya memberikan hantaran kata. PADANG -- Suasana di Rumah Gadang Rimbo Tarok Balai Baru, Kuranji - P...

Baca selengkapnya »

Gaji Pejabat dan Kepalsuan Tersembunyi

<p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><i></i></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><i><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBJBkptmo5OTQURvisO0DUWjYOeNc8AIbT1mHqKFC0CauxkPiwiKU7qnpEOmncjKOzS1dDxFt-QmadEG5Z6BNJH49nCwaEPPuGFIWOsNDFNhVxbPeU5N2m7888LYOl4nTuYqFipu5_OLzyxMuJ5jxxN639LUwqeeP5qUytuWmac44l0fCe9LGaGPFkmw/s684/Suroto.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="660" data-original-width="684" height="309" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBJBkptmo5OTQURvisO0DUWjYOeNc8AIbT1mHqKFC0CauxkPiwiKU7qnpEOmncjKOzS1dDxFt-QmadEG5Z6BNJH49nCwaEPPuGFIWOsNDFNhVxbPeU5N2m7888LYOl4nTuYqFipu5_OLzyxMuJ5jxxN639LUwqeeP5qUytuWmac44l0fCe9LGaGPFkmw/s320/Suroto.jpg" width="320" /></a></i></span></div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><i>Oleh: </i><b>Suroto</b></span><p></p><p><span style="font-family: helvetica;">- Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Direktur Cooperative Research Center (CRC) Institut Teknologi Keling Kumang, CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR Federation)</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><br /></span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">AKHIR-AKHIR ini publik kembali gaduh soal gaji dan fasilitas anggota DPR RI. Media sosial riuh, warung kopi ramai membicarakannya. Bagi rakyat kecil yang tengah bergelut dengan harga beras mahal, tarif listrik naik dan biaya hidup kian menekan, gaji wakil rakyat terlihat begitu besar. </span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Menurut data resmi Sekretariat Jenderal, total gaji pokok, tunjangan, serta berbagai fasilitas seorang anggota DPR mencapai lebih dari Rp 64 juta per bulan, belum termasuk fasilitas rumah dinas, mobil dinas, perjalanan dinas, hingga dana aspirasi yang jika dihitung total nilainya bisa mendekati Rp250 juta per bulan.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Namun sesungguhnya, di balik riuh pembahasan angka-angka itu, tersembunyi kepalsuan yang jarang dibicarakan secara jujur. Kepalsuan itu adalah bahwa gaji dan fasilitas resmi hanyalah “permukaan”, sementara “dasarnya” adalah biaya politik yang amat besar dan logika pengembalian modal yang tak pernah terucapkan.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Sebuah studi LIPI menyebut bahwa untuk menjadi calon anggota legislatif DPR, seseorang rata-rata harus mengeluarkan biaya miliaran rupiah. Biaya ini meliputi mahar politik kepada partai, ongkos kampanye, hingga praktik yang lebih kasar seperti “serangan fajar”.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Menurut riset Transparency International Indonesia (2023), ongkos politik untuk meraih satu kursi DPR RI di tingkat pusat bisa menelan Rp5–10 miliar, bahkan ada yang lebih. Bandingkan dengan total gaji dan tunjangan resmi yang diterima selama lima tahun menjabat, yang jika dikalkulasi hanya sekitar Rp3,6 miliar. Artinya, secara logika ekonomi sederhana, menjadi anggota DPR RI itu adalah bisnis merugi alias besar pasak daripada tiang.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Tentu ketika orang berbondong-bondong, bahkan mati-matian, untuk mengejar jabatan ini menyimpan pertanyaan besar. Apakah benar semata-mata demi pengabdian? Rasanya terlalu naif jika kita percaya begitu saja.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiaHwP0mB5IoCXtoiXf-zsFuXh1xsUe7yNah200yuqU8ur-HL8rUJm5tDsVY1MqWuPS0plCblCaxBa66WiBwII_ll_A8bCEOGkQkoPOPPyfuAk7twjGat2Cb4Ech1-Fl12snXH_37_iCTiRJpahfgp1FQfsePenz78P8943bixvnNC4Hzq79yOxluQk3g/s2733/Untung%20gede%20jadi%20biro%20perwakilan%20sumatrazone.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1755" data-original-width="2733" height="205" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiaHwP0mB5IoCXtoiXf-zsFuXh1xsUe7yNah200yuqU8ur-HL8rUJm5tDsVY1MqWuPS0plCblCaxBa66WiBwII_ll_A8bCEOGkQkoPOPPyfuAk7twjGat2Cb4Ech1-Fl12snXH_37_iCTiRJpahfgp1FQfsePenz78P8943bixvnNC4Hzq79yOxluQk3g/s320/Untung%20gede%20jadi%20biro%20perwakilan%20sumatrazone.jpg" width="320" /></a></span></div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Logika ekonomi berkata, tidak ada pengusaha yang mau menanam modal miliaran rupiah tanpa hitungan pengembalian. Maka kepalsuan itu bersembunyi di sini: gaji dan tunjangan hanyalah pengalih perhatian, sementara sumber pengembalian modal sesungguhnya ada pada kuasa yang melekat di balik jabatan.</span><p></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Kuasa itu ada dalam hak legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Dengan kuasa membuat dan menyetujui regulasi, membuka atau menutup kran anggaran, hingga mengawasi jalannya program, anggota DPR memiliki posisi strategis untuk bertransaksi. Tidak sedikit regulasi lahir bukan dari kebutuhan rakyat, melainkan dari pesanan pihak-pihak berkepentingan yang siap membayar. Dalam bahasa populer, praktik ini disebut “jual beli pasal”.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Selain itu, fungsi penganggaran juga membuka ruang bagi transaksi gelap. Anggaran bisa diselipkan, dimark-up, atau diarahkan ke program tertentu sesuai kepentingan pihak yang memberikan imbalan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berulang kali mengungkap kasus semacam ini, dari proyek pembangunan infrastruktur hingga pengadaan barang dan jasa. Semua berujung pada satu hal: upaya anggota DPR menutup biaya politik dan mengembalikan modal, lengkap dengan margin keuntungan.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Skenario serupa terjadi di eksekutif. Presiden, gubernur, bupati, hingga wali kota yang juga mengeluarkan biaya besar untuk menang pemilu, pada gilirannya akan memanfaatkan kewenangan mereka terhadap anggaran dan program untuk menutup modal politik. Mereka bekerja sama dengan legislatif dan para pengusaha besar. Maka terbentuklah segitiga patron-klien antara politisi, pejabat eksekutif, dan oligarki bisnis. Dari sini lahir kongkalikong, kartelisasi proyek, dan manipulasi kebijakan yang lebih menguntungkan para sponsor ketimbang rakyat.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Akibatnya nyata, kualitas kebijakan publik merosot. Banyak program pemerintah yang sekadar menjadi bancakan. Anggaran bansos dipakai sebagai alat politik, proyek infrastruktur dipotong anggarannya sehingga hasilnya asal jadi, hingga kebijakan impor pangan yang merugikan petani lokal tapi menguntungkan importir besar.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Dalam skala mikro, rakyat menghadapi kualitas layanan publik yang rendah. Dalam skala makro, ekonomi rakyat tersungkur karena kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan oligarki.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Dalam kondisi seperti ini, rakyat didorong menjadi pragmatis. Mereka rela menerima politik uang saat pemilu karena sudah mafhum bahwa pejabat hanya peduli pada kepentingan diri sendiri setelah terpilih. Lingkaran setan terbentuk: rakyat pragmatis, politisi transaksional, dan pkutokrat kian kokoh mengendalikan arah negara.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Solusi atas persoalan ini jelas bukan sekadar memangkas gaji pejabat. Mengurangi gaji hanya akan memperparah insentif bagi mereka untuk mencari jalan lain menutup ongkos politik. Solusi harus diarahkan pada pembenahan sistem politik dan ekonomi yang mendasarinya.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Pertama, biaya politik harus diturunkan secara drastis. Salah satunya dengan membangun sistem pendanaan partai politik yang sehat, transparan, dan berbasis iuran publik, bukan dari mahar calon legislatif atau modal oligarki. Negara bisa memberi bantuan keuangan yang proporsional dengan suara yang diraih, seperti praktik di banyak negara demokrasi maju. Dengan begitu, partai tidak lagi bergantung pada uang segelintir orang kaya.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Kedua, sistem pemilu perlu direformasi. Sistem proporsional terbuka yang memicu ongkos besar harus dikaji ulang. Desain pemilu yang lebih sederhana dan murah akan memotong biaya kampanye serta mengurangi kebutuhan politik uang.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Ketiga, mekanisme participatory budgeting harus diperluas. Anggaran negara bukan hanya milik elit politik, tetapi milik rakyat. Maka proses penyusunannya sebaiknya dilakukan bersama masyarakat di tingkat akar rumput. Anggaran untuk kampung kumuh, misalnya, dibicarakan bersama warga kampung, bukan hanya di gedung parlemen. Dengan begitu, ruang bagi manipulasi dan transaksi gelap bisa dipersempit.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Keempat, pengawasan publik harus diperkuat. Peran KPK, BPK, dan lembaga pengawas lain sangat penting, tetapi tidak cukup. Rakyat harus didorong untuk mengontrol jalannya kebijakan melalui akses data yang terbuka dan mudah dipantau. Transparansi adalah musuh utama kepalsuan.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Pada akhirnya, masalah gaji pejabat bukanlah soal besar atau kecilnya angka. Masalah yang lebih mendasar adalah kepalsuan yang tersembunyi di balik sistem politik kita yang mahal dan transaksional. Selama biaya politik tinggi, gaji pejabat sekadar pengalih perhatian dari transaksi yang jauh lebih besar dan merugikan rakyat.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Menjadi pejabat publik seharusnya adalah jalan pengabdian, bukan bisnis untuk mengembalikan modal. Kita membutuhkan keberanian moral dari para pemimpin untuk menolak kepalsuan itu. Jika tidak, sejarah bangsa sudah berulang kali mengajarkan, kekuasaan yang dibangun di atas kebohongan akan runtuh oleh gelombang kekecewaan rakyat. Ketika gelombang itu datang, gaji, fasilitas, bahkan kursi kekuasaan tak lagi sanggup melindungi mereka. (*)</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><br /></span></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_vevU0nj-T8nxVgSM-zczhRuzdsA2gAJbQVtLmyBaI7HF9Dw7tfH7vFRoshZh1qQn343sQ9rVucH3PDbqYkmyvJ6abkTih4oAybH4Z4dMCLHzKWruCttvJzJOEd3R4CuP5cg-GsGL53A-PnbCjbimB2Ywx9z2Qz50vCg2zn-zbHjaUEyB-0SZYHUQ0g/s720/ROBINSON%20KONSULTAN%20PERTANAHAN%20TERPERCAYA%20REPUBLIK%20INDONESIA.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="448" data-original-width="720" height="398" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_vevU0nj-T8nxVgSM-zczhRuzdsA2gAJbQVtLmyBaI7HF9Dw7tfH7vFRoshZh1qQn343sQ9rVucH3PDbqYkmyvJ6abkTih4oAybH4Z4dMCLHzKWruCttvJzJOEd3R4CuP5cg-GsGL53A-PnbCjbimB2Ywx9z2Qz50vCg2zn-zbHjaUEyB-0SZYHUQ0g/w640-h398/ROBINSON%20KONSULTAN%20PERTANAHAN%20TERPERCAYA%20REPUBLIK%20INDONESIA.JPG" width="640" /></a></div><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgg1qBOpr8tRVoim-bmFgYdWzHbClGsVI4S8p-l0rJHNGtG5sc1XQUbxH0r5G8zo0c1fJYC9RpzCn8IQUoYwv5VVy1Cpy8OKGIy5qqz41N3hpggsYJQfB1ygzWmUcCO0ObpOXUMCWjv4TaHKQbLtKA919LE3P9w59p5_aK8cFW_JRAHG0pB20Ko3K2VVw/s679/Polteknas%20the%20great%20campus.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="679" data-original-width="673" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgg1qBOpr8tRVoim-bmFgYdWzHbClGsVI4S8p-l0rJHNGtG5sc1XQUbxH0r5G8zo0c1fJYC9RpzCn8IQUoYwv5VVy1Cpy8OKGIy5qqz41N3hpggsYJQfB1ygzWmUcCO0ObpOXUMCWjv4TaHKQbLtKA919LE3P9w59p5_aK8cFW_JRAHG0pB20Ko3K2VVw/w634-h640/Polteknas%20the%20great%20campus.jpg" width="634" /></a></div><br />

Gaji Pejabat dan Kepalsuan Tersembunyi

Oleh: Suroto - Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Direktur Cooperative Research Center (CRC) Institut Teknologi Keling Ku...

Baca selengkapnya »

Kita Bukan Boneka, Bro!

<p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"></span></p><blockquote><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgg4ZOxwnUvcMWb2jYzBNf4EN1O7xXjmyx5BZNpcpqHphcNygu3RhjrOCd24i6IR7EqOxCKsDUzNQDasxMJiHQWemoGE1bImUtBRa33qToZ_wdHE8Hr-_JBJnOZsDEh9lFqj3W0vabQhfXFiHidccGZGmsn7IWpRLQOqvDkPqMyHHjGEwzZUI8HkLGdfw/s768/Kita%20Bukan%20Boneka,%20Bro!.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="768" data-original-width="768" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgg4ZOxwnUvcMWb2jYzBNf4EN1O7xXjmyx5BZNpcpqHphcNygu3RhjrOCd24i6IR7EqOxCKsDUzNQDasxMJiHQWemoGE1bImUtBRa33qToZ_wdHE8Hr-_JBJnOZsDEh9lFqj3W0vabQhfXFiHidccGZGmsn7IWpRLQOqvDkPqMyHHjGEwzZUI8HkLGdfw/s320/Kita%20Bukan%20Boneka,%20Bro!.jpg" width="320" /></a></span></div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">CATATAN RAKYAT #2</span></blockquote><p></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><b>Oleh Mila Muzakkar</b></span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><br /></span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">SETELAH chaos, muncullah pengumuman: sejumlah anggota DPR dinonaktifkan. Tiga di antaranya artis yang dulu sempat hits—Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya. Sisanya? Crazy rich Tanjung Priok, Sahroni, plus Adies Kadir.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Beginilah cara kerja kebanyakan partai politik di negeri ini. Dibiarin dulu ribut, diviralin dulu, digeruduk dulu, bahkan sampai nyawa melayang dulu. Baru setelah api membesar, mereka sok datang memadamkan kebakaran.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Padahal kita tahu, kalau si jago merah udah melahap, masih mending kalau ada yang bisa diselamatkan.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Lalu setelah dinonaktifkan… apa?</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Masalah selesai gitu?</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Paling-paling emosi rakyat reda sebentar. Sementara aja.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Sayangnya, mereka selalu nganggep rakyat bodoh. Nggak paham aturan. Lupa kalau ada Google dan AI yang bisa ngasih jawaban.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Kita tahu kok, “nonaktif” bukan berarti dipecat. Mereka tetap anggota DPR, tetap terima sebagian gaji, dan kalau dalam tiga bulan evaluasi dianggap “layak”, ya balik lagi duduk di kursi empuk Senayan.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Di waktu yang sama, partai-partai besar—Demokrat, PKB, Gerindra, PDIP—ujug-ujug ngumumin setuju evaluasi usulan kenaikan tunjangan anggota DPR.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Mereka tiba-tiba vokal ngomongin soal aspirasi rakyat, transparansi, keadilan, etika, empati, sampai kecemburuan sosial. Bahkan ada aturan dadakan: anggota DPR dilarang plesiran ke luar negeri.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Pertanyaannya: loh, kok baru sekarang?Hal-hal dasar kayak gini kan memang seharusnya jadi standar dari dulu.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Setelah mereka bilang menolak kenaikan tunjangan… lalu apa?</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Masalah selesai gitu?</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Kita juga tahu, ini cuma bumbu penyedap. Ranting-ranting kecil yang gampang gugur ditiup angin. Akar masalahnya belum tersentuh.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Ini lagu lama: trik klasik buat memadamkan kebakaran, menenangkan suasana, dan ngambil hati rakyat. Tapi sorry, kita udah dewasa. Kita bisa mikir jernih, pake nalar sekaligus pake hati.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Bukan itu masalahnya, Bro-Sist!</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Masalahnya ada di mindset dan nurani kalian.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Sejak awal, waktu berencana jadi anggota DPR—entah niat sendiri atau dilamar partai—emang terpikir jadi jembatan ide dan harapan rakyat?</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Emang kalian berangkat dari keresahan ngeliat kondisi rakyat, lalu terpanggil bikin perubahan?</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Sadar nggak, bahwa mewakili rakyat artinya siap hidup sederhana kayak rakyat kebanyakan, yang hidup miskin bukan karena malas, tapi karena ditindas sistem dan kuasa?</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Emang nggak merasa aneh hidup glamor sementara rakyat yang gaji kalian aja kesusahan cari makan tiap hari?</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Siap nggak mundur kalau merasa nggak mampu?</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Nah, di situ masalah besarnya.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Yang terjadi malah kebalikannya. Mungkin nggak semua, tapi kebanyakan anggota DPR dari awal udah salah niat. Mereka ke Senayan buat harta dan kuasa. Minim rasa malu, bebal pula.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Jadi sudahlah. Berhentilah ngakalin rakyat. Kita bukan boneka, bro!</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Syukur, teknologi sekarang bikin rakyat makin melek. Kita bisa belajar, bisa cari data, bisa ngulik aturan.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Dan justru dari situasi kayak gini, rakyat makin termotivasi untuk belajar, lebih peduli sesama rakyat, dan nggak gampang lagi dibodohin atau dimainkan penguasa. (*)</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><br /></span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: x-large;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUrvNDjJME-x1pWluDWiB0rS53gminZZfc0YCsIDLdnOARWzTqvRYi-czNywE-RrRJEQn94CVwMiAHDC4da9hOAIquOzoC1UgPHQ3TxUw1vS5qINhQoQFQc89YVWkJCSEjTJHXPAajDkejZYmrAEm0eSj5qOz67TtQdCA3mMUWotiMMbuYPWZNeclY0g/s720/ROBINSON%20KONSULTAN%20PERTANAHAN%20TERPERCAYA%20REPUBLIK%20INDONESIA.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="448" data-original-width="720" height="398" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUrvNDjJME-x1pWluDWiB0rS53gminZZfc0YCsIDLdnOARWzTqvRYi-czNywE-RrRJEQn94CVwMiAHDC4da9hOAIquOzoC1UgPHQ3TxUw1vS5qINhQoQFQc89YVWkJCSEjTJHXPAajDkejZYmrAEm0eSj5qOz67TtQdCA3mMUWotiMMbuYPWZNeclY0g/w640-h398/ROBINSON%20KONSULTAN%20PERTANAHAN%20TERPERCAYA%20REPUBLIK%20INDONESIA.JPG" width="640" /></a></div> <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhuzSbYQ-bw-vGqlQSZxNtznRz_rnenoxWevmKjG9Sg_4Hy5pTP9_bjZsvV7cF-noVeqir9ufd88qK3AQgTC_DslNnaQiYa5c5u7enB7Jk6N8CNEKFCobhyscGD1Ro686NyczBoNfoaiw2mNsXrInhKkjuD3T6rhWUQZtoltI1c-KjBF_QsN1qRwQ8FvQ/s679/Polteknas%20the%20great%20campus.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="679" data-original-width="673" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhuzSbYQ-bw-vGqlQSZxNtznRz_rnenoxWevmKjG9Sg_4Hy5pTP9_bjZsvV7cF-noVeqir9ufd88qK3AQgTC_DslNnaQiYa5c5u7enB7Jk6N8CNEKFCobhyscGD1Ro686NyczBoNfoaiw2mNsXrInhKkjuD3T6rhWUQZtoltI1c-KjBF_QsN1qRwQ8FvQ/w634-h640/Polteknas%20the%20great%20campus.jpg" width="634" /></a></div><br /><p></p>

Kita Bukan Boneka, Bro!

CATATAN RAKYAT #2 Oleh Mila Muzakkar SETELAH chaos, muncullah pengumuman: sejumlah anggota DPR dinonaktifkan. Tiga di antaranya artis yang d...

Baca selengkapnya »

Kami Tidak Tolol dan Tidak Buta Hukum!

<p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><i></i></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><i><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh13lC4VcTr8DpnHy6GtUMpEX7dHBSpeZe0MDS9rE7as1zKWrd0ntswI0WxFVxQM0G5w9qVAPHQexUXcTg0XR_D89Mxen8ho74HYat6anun8yLjtu1vgHT60YVL_MnAZ3lVPo-U4ETrjaTnsuRvOHVFEtMDizIUD2h2yLtOIZxa2erG6hS5Ym8PhHqt7g/s1120/Kami%20Tidak%20Tolol%20dan%20Tidak%20Buta%20Hukum.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1120" data-original-width="636" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh13lC4VcTr8DpnHy6GtUMpEX7dHBSpeZe0MDS9rE7as1zKWrd0ntswI0WxFVxQM0G5w9qVAPHQexUXcTg0XR_D89Mxen8ho74HYat6anun8yLjtu1vgHT60YVL_MnAZ3lVPo-U4ETrjaTnsuRvOHVFEtMDizIUD2h2yLtOIZxa2erG6hS5Ym8PhHqt7g/w228-h400/Kami%20Tidak%20Tolol%20dan%20Tidak%20Buta%20Hukum.jpg" width="228" /></a></i></span></div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><i>Oleh: </i><b>Fransisca Tri Susanti</b></span><p></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><br /></span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"></span></p><blockquote><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">“Konstitusi hanya mengenal Penggantian Antar Waktu (PAW) dan Pemberhentian Tetap, Bukan Nonaktif"</span></p><p></p></blockquote><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><br /></span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">SEJUMLAH anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi di “nonaktifkan” oleh partainya. Di antaranya Ahmad Sahroni, Adies Kadir, Uya Kuya, Eko Patrio, hingga Nafa Urbach. Fenomena ini segera memunculkan pertanyaan mendasar: dari mana dasar hukum kebijakan tersebut diambil? Apakah penonaktifan itu memiliki legitimasi normatif, ataukah hanya produk politik praktis yang dibungkus dengan retorika organisasi partai?</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Isu ini tidak sederhana. Sebab, ia menyangkut legitimasi lembaga legislatif yang merupakan pilar demokrasi, kedudukan wakil rakyat sebagai representasi mandat konstitusional, serta konsistensi kita dalam menegakkan prinsip negara hukum (rule of law).</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum. Konsekuensinya, kedudukan seorang anggota DPR adalah hasil mandat rakyat, bukan hadiah partai politik. Ia dilantik melalui sumpah jabatan, lalu menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran. Apakah partai atau pimpinan DPR berwenang menonaktifkan seseorang yang sudah resmi menjadi anggota DPR? Jawabannya, konstitusi tidak memberi ruang untuk itu.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Lebih jauh, Pasal 22B UUD 1945 menyebutkan bahwa anggota DPR dapat diberhentikan antarwaktu. Mekanisme ini dikenal dengan istilah penggantian antarwaktu (PAW). Namun, UUD tidak mengenal terminologi nonaktif sementara. Artinya, jika ada praktik penonaktifan, ia bukanlah produk konstitusi.</span></p><p><b><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">UU MD3: Norma yang Tegas</span></b></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Mengutip dari pernyataan Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah (Castro) mengatakan “Istilah non-aktif tidak dikenal dalam UU MD3 maupun tata tertib yang mereka buat sendiri”. Yang ada pemberhentian dan pemberhentian sementara. Lagipula non-aktif tidak punya konsekuensi hukum apa-apa.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Dalam hal ini Castro juga menegaskan mereka tetap anggota DPR, dan tetap makan gaji. Kalau memang partai serius mengoreksi dirinya, pecat sebagai anggota partai yang otomatis akan diganti antar waktu.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Jadi itu hanya akal-akalan partai politik untuk meredam kritik publik.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Aturan yang lebih rinci terdapat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Di dalamnya, pasal-pasal tentang berhentinya anggota DPR diatur secara jelas. Misalnya, seorang anggota DPR berhenti antarwaktu apabila; meninggal dunia,mengundurkan diri; diberhentikan partai politik karena melanggar AD/ART; diberhentikan karena terbukti melakukan tindak pidana berat atau pelanggaran etika.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Selain itu, ada pemberhentian sementara apabila seorang anggota DPR ditetapkan sebagai terdakwa tindak pidana tertentu. Namun, istilah “nonaktif” dalam pengertian administratif dengan tetap mempertahankan status keanggotaan tidak ditemukan.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3DqFvhQD2rn_2iYT-9VQkFuAcKz6ez1fcOKCKriU-c22B_vLIHLnXrq0bqWFVvp9W3YbGIeAx48wvER2DNb5F1QBJcVNtmQnMpjqH8NYC0W78PdlNuFbfwc0wWF1Mtchb795igwgcaTT-LgMrTyvKAVl4LdC0UP2vjFmd8nlSD1PHe9fAUNsBaLA1Yg/s2733/SUMATRAZONE%20CARI%20BIRO%20PERWAKILAN%20TERBAIK.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="1986" data-original-width="2733" height="233" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3DqFvhQD2rn_2iYT-9VQkFuAcKz6ez1fcOKCKriU-c22B_vLIHLnXrq0bqWFVvp9W3YbGIeAx48wvER2DNb5F1QBJcVNtmQnMpjqH8NYC0W78PdlNuFbfwc0wWF1Mtchb795igwgcaTT-LgMrTyvKAVl4LdC0UP2vjFmd8nlSD1PHe9fAUNsBaLA1Yg/s320/SUMATRAZONE%20CARI%20BIRO%20PERWAKILAN%20TERBAIK.jpg" width="320" /></a></span></div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Dengan demikian, secara hukum positif, tidak ada dasar yang mengatur penonaktifan anggota DPR seperti yang ramai diberitakan. Jika praktik ini diteruskan, berarti ada penafsiran baru yang cenderung dipaksakan.</span><p></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Politik Mengalahkan Hukum?</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Sejak lama partai politik di Indonesia menempatkan kadernya di DPR sebagai “kepanjangan tangan organisasi”. Seringkali, loyalitas kepada partai lebih diutamakan ketimbang loyalitas pada rakyat yang memilih. Tidak jarang pula, perbedaan sikap anggota DPR terhadap garis partai berujung pada ancaman PAW.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Kini, istilah “nonaktif” muncul sebagai instrumen baru. Ia bisa dipahami sebagai cara partai untuk menekan kader tanpa harus langsung memproses PAW yang berbelit. Namun, implikasinya berbahaya: anggota DPR menjadi subordinat penuh dari partai, dan kedaulatannya sebagai wakil rakyat tergerus.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Jika mekanisme ini dilegalkan secara politik tanpa dasar hukum yang jelas, maka DPR hanya akan menjadi “perpanjangan tangan elit partai”. Demokrasi berubah menjadi oligarki terselubung, di mana rakyat kehilangan makna representasi sejati.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Ada tiga risiko besar yang bisa muncul bila praktik penonaktifan dibiarkan. Pertama, keruntuhan asas kepastian hukum. Negara hukum mengandaikan segala tindakan pejabat publik maupun lembaga politik memiliki dasar hukum yang jelas. Tanpa itu, semua keputusan hanya bergantung pada tafsir dan kepentingan politik sesaat.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Kedua, kerusakan institusional DPR. Jika anggota bisa dinonaktifkan semaunya, maka DPR tidak lagi independen. Fungsi pengawasan terhadap pemerintah bisa lumpuh, sebab anggota DPR akan selalu dihantui risiko pencopotan jika bersuara kritis.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Ketiga, preseden buruk bagi demokrasi. Apa yang menimpa Ahmad Sahroni, Uya Kuya, Eko Patrio, dan Nafa Urbach hari ini, bisa menimpa siapa saja besok. Demokrasi menjadi rapuh karena rakyat tidak bisa lagi berharap wakilnya bersuara tanpa tekanan.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Di sinilah pentingnya Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai benteng terakhir konstitusionalitas. Bila ada partai atau pimpinan DPR yang melakukan penonaktifan tanpa dasar hukum, seharusnya anggota yang dirugikan dapat mengajukan sengketa kewenangan lembaga negara.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">MK bisa menegaskan kembali bahwa konstitusi hanya mengenal PAW dan pemberhentian tetap, bukan “nonaktif”. Dengan begitu, kepastian hukum dijaga, dan DPR tidak menjadi arena eksperimen politik yang mengorbankan asas negara hukum.</span></p><p><b><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Jalan Keluar dan Demokrasi Butuh Konsistensi</span></b></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Ada dua jalan yang bisa ditempuh. Pertama, jika negara ingin mengenal mekanisme nonaktif sementara, maka harus ada revisi UU MD3. Revisi itu harus memuat batasan yang jelas: kapan seorang anggota bisa dinonaktifkan, berapa lama, dan bagaimana mekanisme pengembaliannya. Tanpa itu, istilah nonaktif hanya akan jadi alat politik.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Kedua, jika tidak ada dasar hukum yang memadai, maka praktik ini harus dihentikan. DPR dan partai politik tidak boleh melanggar aturan main yang sudah ditetapkan. Mandat rakyat tidak bisa diputus dengan alasan disiplin organisasi semata.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Penonaktifan anggota DPR tanpa dasar hukum bukan hanya masalah administratif. Ia menyangkut legitimasi demokrasi kita. Jika rakyat memilih wakilnya melalui pemilu, maka hanya mekanisme hukum yang sah yang bisa mengakhiri masa jabatan wakil itu.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Demokrasi bukan sekadar angka kursi, tetapi penghormatan pada aturan yang disepakati. Bila hukum bisa ditafsirkan seenaknya demi kepentingan politik, maka apa yang runtuh bukan hanya DPR, melainkan juga kepercayaan rakyat kepada negara.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Kasus ini harus menjadi pengingat, jangan biarkan politik menginjak hukum. Karena ketika hukum tidak lagi dihormati, demokrasi hanya tinggal nama, dan negara hukum berubah menjadi negara kekuasaan. Kami tidak tolol dan tidak buta hukum! (*)</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><i>Jakarta, 1 September 2025 </i></span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><i><br /></i></span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXgBJe3uIBlcKFfgMlXAq2Ae83M9XeG6-2nZFe7pFhkkT11UOEsD6jDSpS8K_Ak8WFxWYlokdRsb8kuA_dLK39PpoWr2T1192fjQvyLqOrFQ0qomyJMloheRScwCqTh4BKf_V5573o-kEMYWjQyr7dokIK8NbIgJZUvOCFGdSpFN_cBZVQuvom1-_Hlg/s720/ROBINSON%20KONSULTAN%20PERTANAHAN%20TERPERCAYA%20REPUBLIK%20INDONESIA.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="448" data-original-width="720" height="398" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXgBJe3uIBlcKFfgMlXAq2Ae83M9XeG6-2nZFe7pFhkkT11UOEsD6jDSpS8K_Ak8WFxWYlokdRsb8kuA_dLK39PpoWr2T1192fjQvyLqOrFQ0qomyJMloheRScwCqTh4BKf_V5573o-kEMYWjQyr7dokIK8NbIgJZUvOCFGdSpFN_cBZVQuvom1-_Hlg/w640-h398/ROBINSON%20KONSULTAN%20PERTANAHAN%20TERPERCAYA%20REPUBLIK%20INDONESIA.JPG" width="640" /></a></span></div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><i><br /></i></span><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqx-9vh79k7Efjjs3R-Nd-I4Pz0tjcWkglumYGBfO9mEHdyRHsZyolxZxJT0tjV0RmdbMqECvfxaxZ9Z5J3ChxHz6eYxt-dxLw_fphFBfKxM7uJTdRtwrlh0BfQXEwdielw4mlDw7n5YnG1BQsisFi-RTdfexbkj9SByTXbtVOvNQtWp6Nb2ATVpWmHA/s679/Pendidikan%20Senjata%20Ampuh%20Ubah%20Dunia.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-size: large;"><img border="0" data-original-height="679" data-original-width="676" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqx-9vh79k7Efjjs3R-Nd-I4Pz0tjcWkglumYGBfO9mEHdyRHsZyolxZxJT0tjV0RmdbMqECvfxaxZ9Z5J3ChxHz6eYxt-dxLw_fphFBfKxM7uJTdRtwrlh0BfQXEwdielw4mlDw7n5YnG1BQsisFi-RTdfexbkj9SByTXbtVOvNQtWp6Nb2ATVpWmHA/w638-h640/Pendidikan%20Senjata%20Ampuh%20Ubah%20Dunia.jpg" width="638" /></span></a></div><span style="font-size: large;"><br /></span><p></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><i><br /></i></span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><i><br /></i></span></p>

Kami Tidak Tolol dan Tidak Buta Hukum!

Oleh: Fransisca Tri Susanti “Konstitusi hanya mengenal Penggantian Antar Waktu (PAW) dan Pemberhentian Tetap, Bukan Nonaktif" SEJUMLAH ...

Baca selengkapnya »

Nonaktif

<p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><i></i></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><i><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj_LBrjs_vKIll-E3JRPqXed2v50Jsefdd0kH6vzDNrkl5-wQv279zSKod-oD0wPd2yZEFQClZHlzlE4ESq5OxqTgsPOgjMdriFXLV4tvRK-a3_GFBsTXzM4BquNr3aKRz7yfD5V7ZokvEdmQ5Gs5pL0t67JbUDnipj1gfnxSBMClib8mctvx2Smatzfg/s768/Non%20aktif.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="523" data-original-width="768" height="218" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj_LBrjs_vKIll-E3JRPqXed2v50Jsefdd0kH6vzDNrkl5-wQv279zSKod-oD0wPd2yZEFQClZHlzlE4ESq5OxqTgsPOgjMdriFXLV4tvRK-a3_GFBsTXzM4BquNr3aKRz7yfD5V7ZokvEdmQ5Gs5pL0t67JbUDnipj1gfnxSBMClib8mctvx2Smatzfg/s320/Non%20aktif.jpg" width="320" /></a></i></span></div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><i>Catatan Satire;</i> <b>Rizal Pandiya</b></span><p></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">- Sekretaris Satupena Lampung</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><br /></span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">SAYA hampir keselek gorengan pas dengar kabar beberapa anggota DPR dari Nasdem dan PAN dikenai sanksi nonaktif. Kaget setengah nggak percaya. Masak iya sih?</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Kemarahan rakyat yang sudah sebegitu rupa hingga mengorbankan beberapa nyawa, Gedung DPRD di beberapa daerah dibakar, rumah anggota dewan yang dirusak lalu isinya dijarah, fasilitas umum pun ikut dibakar. Lalu untuk meredam kemarahan rakyat itu, ketua partai hanya menonaktifkan beberapa anggota dewan.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Tapi rakyat yang dengar kabar ini sudah keburu tepuk tangan, terharu, bahkan ada yang sampai nyicil doa syukuran. “Alhamdulillah, akhirnya anggota dewan yang songong itu dipecat!” begitu kira-kira jeritan hati mereka, sambil menyeka air mata.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Saya kira bakal ada drama serius, ternyata hanya seperti gladiresik yang berakhir antiklimaks dengan ending yang nyaris membuat rakyat tertipu. Tau nggak sih, kalau istilah nonaktif itu nggak ada di Undang-undang MD3? Diksi nonaktif di DPR itu ibarat diet sambil makan nasi Padang gulai tunjang, niatnya bagus, tapi malah nambah kolesterol.</span></p><p><b><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Hukuman atau Cuti Bersama?</span></b></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Ketua PAN Zulhas dan Ketua NasDem Surya Paloh dengan bangga laporan ke presiden bahwa kadernya dinonaktifkan. Tapi di atas kertas, di meja negara, di kitab Undang-undang MD3, status mereka tetap anggota DPR. Alih-alih kena hukuman, mereka malah tambah asik makan gaji buta, karena hak, gaji, fasilitas, semua masih nempel. Bedanya, mungkin di daftar absensi mereka ditandai lingkaran atau cap stempel “lagi dalam pembinaan”.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Saya jadi curiga, jangan-jangan nonaktif ini cuma istilah lain biar nggak terlalu jahat ke kuping rakyat. Kan nggak enak kalau bahasanya begini, “Kami tidak bisa memberi sanksi lain, jadi ya udah biarin aja mereka tetap digaji.” Lalu muncullah diksi sakti: nonaktif. Terdengarnya tegas dan terkesan ada aspek jera, padahal cuma semacam “cuti bersama sambil istirahat pakai kaos oblong doang!”</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Kalau ingin konsisten, ketua partai seharusnya memberi sanksi lain, misalnya nonaktif dari mengoleksi mobil mewah, atau nonaktif dari kebiasaan fleksing. Atau kalau mau keras dikit cabut kartu anggotanya, minimal kerasalah bedanya.</span></p><p><b><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Sanksi Pelipur Lara</span></b></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Supaya keliatan seperti orang pinter, saya buka Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 jo. UU Nomor 13 Tahun 2019. Nah, di Pasal 239 itu jelas, yang ada cuma PAW (Pergantian Antar Waktu). Kalau anggota DPR salah langkah, mekanismenya adalah: partai mengusulkan ke pimpinan DPR lalu diteruskan ke presiden dan dilanjutkan menandatangani Keppres, dan bye-bye kursi empuk.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Jadi, sebelum dikeluarkan Keppres, status mereka ya… masih anggota DPR sahih, lengkap dengan fasilitas mobil dinas, uang aspirasi, sampai kupon sarapan. Jadi kalau rakyat sudah senang duluan dengan kata “nonaktif”, mohon maaf, itu cuma efek placebo politik. Ibarat minum jamu gendong yang nggak nyembuhin apa-apa, tapi bikin sugesti kalau penyakitnya bakal hilang.</span></p><p><b><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"></span></b></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><b><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLTCXKUe4QsRTWd2AD7iLpxf5HznN3ePRyIADafa8MOaZE_CkJtyP20KiStskGqr_vZ6PoS5YNbVypTIbhSIaiL9rQw8Mj_lG2UMjokfSmJwadoi1zyqi4rXv1SI3epJsll21Zxo3ew2anXQISXAnNBq9PBzzh97sNI5UXUPKlnF8sVbnlZEKLubk7Cw/s2733/Untung%20gede%20jadi%20biro%20perwakilan%20sumatrazone.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="1755" data-original-width="2733" height="205" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLTCXKUe4QsRTWd2AD7iLpxf5HznN3ePRyIADafa8MOaZE_CkJtyP20KiStskGqr_vZ6PoS5YNbVypTIbhSIaiL9rQw8Mj_lG2UMjokfSmJwadoi1zyqi4rXv1SI3epJsll21Zxo3ew2anXQISXAnNBq9PBzzh97sNI5UXUPKlnF8sVbnlZEKLubk7Cw/s320/Untung%20gede%20jadi%20biro%20perwakilan%20sumatrazone.jpg" width="320" /></a></span></b></div><b><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Drama Sesaat dengan Rating Tinggi</span></b><p></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Sesuai dengan profesi awal mereka, kasus ini makin mirip sinetron. Aktornya ada Eko Patrio, Uya Kuya, Nafa Urbach, dan pengusaha Ahmad Sahroni. Skenarionya ditulis oleh ketua partai masing-masing, disiarkan lewat jumpa pers, lalu rakyat jadi penonton setia di pos ronda, di café-café, dan di ruang keluarga.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Sanksi nonaktif ini mirip promo iklan, “Jangan lewatkan! Episode terbaru Nonaktif di Senayan, dibintangi selebriti papan atas, tayang terbatas untuk meredam amarah publik selama satu minggu. Setelah itu? Ya balik lagi dong, ke kursi empuknya!”</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Menurut para pakar, lebih terhormat kalau mereka mengundurkan diri. Setuju banget. Tapi masalahnya, itu sama saja dengan kehilangan gaji bulanan, tunjangan, fasilitas, kunker ke luar negeri. Mana ada orang waras yang mau resign dari “kantor impian” kayak gitu? Soalnya belum pulang modal!</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Jadi wajar saja kalau mereka lebih baik “dinonaktifkan” asal tetap menerima gaji ketimbang mundur. Itu bukan soal etika tapi soal itung-itungan sederhana. Pokoknya, lebih baik pura-pura salah tapi tetap digaji, daripada benar-benar mundur lalu jadi pengangguran.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Kalau memang ingin menjaga marwah DPR, ketua partai seharusnya jangan membuat istilah sok tegas tapi zonk. “Nonaktif” itu ambigu, mendua, taksa, samar, mak jelas! Mirip status tetangga sebelah yang nyinyir liat orang beli kulkas empat pintu. Mending bilang jujur aja, “Kami kasih sanksi tegas, kader tetap digaji tapi jangan banyak gaya dulu.”</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Atau begini, “Untuk sementara, mereka diminta tidak selfie di ruang sidang.” Bisa juga dengan kata-kata seperti ini, “Mereka kami hukum dengan larangan update Instagram story dari mobil dinas.” Itu lebih jujur. Setidaknya rakyat bisa tertawa ngakak dan cepet sadar kalau partai cuma main drama.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Kalau dipikir-pikir, sebenarnya rakyat kita juga sudah lebih dulu dinonaktifkan. Nonaktif dari rasa keadilan, nonaktif dari menikmati pajak yang dibayarkan, nonaktif dari harga BBM yang murah. Bedanya, rakyat nggak dapat gaji, malah ditagih bayar pajak sampai 1000 persen.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Jadi kalau ada anggota DPR kena sanksi “nonaktif”, mari kita balas dengan status rakyat juga, “Nonaktif bayar pajak. Nonaktif ikut pemilu kalau cuma jadi tontonan.” Baru adil kan? (*)</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><br /></span></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1BL-6kjqHM3Dqf63CJlTOHPvlzjT6nTdDI6IgiocpY_WH8eu-qeommgGSwc9vgD07EFRbEP6050_aQ5kHSorVOw87yQE_tlc8hrzV7m9PTy_0SEmjJQj3fdtwR5zxFzhl6gw-cBk-vtlNA_CpESPI9mqgvIkjSeB02JphL9GHkNv-vc3hxcmlfqve4g/s720/ROBINSON%20KONSULTAN%20PERTANAHAN%20TERPERCAYA%20REPUBLIK%20INDONESIA.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><img border="0" data-original-height="448" data-original-width="720" height="398" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1BL-6kjqHM3Dqf63CJlTOHPvlzjT6nTdDI6IgiocpY_WH8eu-qeommgGSwc9vgD07EFRbEP6050_aQ5kHSorVOw87yQE_tlc8hrzV7m9PTy_0SEmjJQj3fdtwR5zxFzhl6gw-cBk-vtlNA_CpESPI9mqgvIkjSeB02JphL9GHkNv-vc3hxcmlfqve4g/w640-h398/ROBINSON%20KONSULTAN%20PERTANAHAN%20TERPERCAYA%20REPUBLIK%20INDONESIA.JPG" width="640" /></span></a></div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><br /></span><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><br /></span><p></p>

Nonaktif

Catatan Satire; Rizal Pandiya - Sekretaris Satupena Lampung SAYA hampir keselek gorengan pas dengar kabar beberapa anggota DPR dari Nasdem ...

Baca selengkapnya »

Mulutmu Harimaumu yang akan Menerkammu

<p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><b></b></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><b><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEge8E05Y96BWlsGashegmvVGxW1DgcIUPrkkKOmFV82JFPGhJ9tdL8-tD6xScTFCinMCY92IKGIEtL9KZtmDBIDezBVPaDm2klRGMwl0sW7VhA_cckB-cUmi79WHq8mb3t3VL8oV8xPR8mBeZvpzO3s5Zbr3xBR8jaZza-iwzYEj40ce_s1tXXe_OKOOQ/s768/Mulutmu%20Harimaumu%20yang%20akan%20Menerkammu.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="558" data-original-width="768" height="233" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEge8E05Y96BWlsGashegmvVGxW1DgcIUPrkkKOmFV82JFPGhJ9tdL8-tD6xScTFCinMCY92IKGIEtL9KZtmDBIDezBVPaDm2klRGMwl0sW7VhA_cckB-cUmi79WHq8mb3t3VL8oV8xPR8mBeZvpzO3s5Zbr3xBR8jaZza-iwzYEj40ce_s1tXXe_OKOOQ/s320/Mulutmu%20Harimaumu%20yang%20akan%20Menerkammu.jpg" width="320" /></a></b></span></div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><b>Eka Teresia</b></span><p></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Penulis/ Ketua Penyala Literasi Sumbar</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><br /></span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">MULUT adalah jendela hati, dan kata-kata yang keluar darinya bisa menjadi pedang yang tajam, merobek kepercayaan dan memicu amarah. Kasus AS menjadi cermin betapa kata-kata yang terlontar tanpa kendali bisa berujung pada bencana. Ia, seorang anggota dewan terhormat yang seharusnya menjadi teladan, justru memilih untuk mengumbar kata-kata yang melukai hati rakyat.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Sebagai wakil rakyat, tugasnya adalah menyuarakan aspirasi dan memperjuangkan kesejahteraan. Namun, alih-alih merangkul, Sahroni malah menebar benci. Ia mungkin menganggap remeh kekuatan kata-kata, tidak menyadari bahwa di balik setiap perkataan yang merendahkan, ada hati yang terluka dan kemarahan yang membara.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Rakyat yang selama ini diam dan bersabar, akhirnya bungkam serentak bersama menghakimi AS. Kesabaran yang telah menumpuk sekian lama, seperti bendungan yang akhirnya jebol, meluapkan amarah yang tidak terbendung.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Pepatah lama mengatakan, “Mulutmu harimaumu,” dan AS merasakan kebenaran ungkapan itu secara pahit. Harimau yang ia pelihara, yang tak lain adalah lidahnya sendiri, akhirnya menerkam balik.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Rumahnya dibakar, isinya dijarah. Itu adalah harga yang harus dibayar atas setiap kata-kata yang ia ucapkan. Ini bukan hanya tentang kehilangan harta benda, tetapi juga kehancuran martabat dan kepercayaan yang tidak bisa kembali.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Kasus Sahroni adalah pengingat bagi kita semua, terutama bagi mereka yang memiliki kekuasaan dan pengaruh, bahwa diksi dan etika berkomunikasi sangatlah penting. Kata-kata bisa membangun atau menghancurkan. Pilihlah kata-kata yang membangun jembatan, bukan tembok.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Pilihlah kata-kata yang menenangkan, bukan memprovokasi. Karena pada akhirnya, kehormatan dan keselamatan kita tidak hanya bergantung pada tindakan, tetapi juga pada setiap kata yang kita ucapkan. (*)</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><b><i>Padang, 31 Agustus 2025</i></b></span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><b><i><br /></i></b></span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><b></b></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><b><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsY8qeDK4K4FhEauNZwSqDH9dcqQX_0H37_-ThszkhFW7_rdJb_JHTrjX7ojNX_4dkRdGzWyHjFDZqJ5V-R4k3PRRZf2Y78c9aFQW1kW4JMaieVxg22fNvnLJVk1DL3PrnlJ6Ukbu4BlVcC8qzmS-WJdN2NKSR8Pk3l96k4ZkkHB5a8lc_Cd-apW8tpw/s720/ROBINSON%20KONSULTAN%20PERTANAHAN%20TERPERCAYA%20REPUBLIK%20INDONESIA.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="448" data-original-width="720" height="398" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsY8qeDK4K4FhEauNZwSqDH9dcqQX_0H37_-ThszkhFW7_rdJb_JHTrjX7ojNX_4dkRdGzWyHjFDZqJ5V-R4k3PRRZf2Y78c9aFQW1kW4JMaieVxg22fNvnLJVk1DL3PrnlJ6Ukbu4BlVcC8qzmS-WJdN2NKSR8Pk3l96k4ZkkHB5a8lc_Cd-apW8tpw/w640-h398/ROBINSON%20KONSULTAN%20PERTANAHAN%20TERPERCAYA%20REPUBLIK%20INDONESIA.JPG" width="640" /></a></b></span></div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><b><i><br /></i></b><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiB6VZjQhBvtI_dG0AUPWfumgPUqN_Q2_jiEEfzqg_DWZt90dlj2HoGZKqUxwPRZxF2BHDKYWCq1_Dfg_7ZbzzjQMtnirL2ndhDU4T5TZRkXfbpbGIELFDkwy24tQ3f5y9WQm_GfELk4MFV1r-PZMR5_HJrDoYoJxBZhTmG5dxaHZrz7Uqjy8UQmOIutg/s2733/SUMATRAZONE%20CARI%20BIRO%20PERWAKILAN%20TERBAIK.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1986" data-original-width="2733" height="466" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiB6VZjQhBvtI_dG0AUPWfumgPUqN_Q2_jiEEfzqg_DWZt90dlj2HoGZKqUxwPRZxF2BHDKYWCq1_Dfg_7ZbzzjQMtnirL2ndhDU4T5TZRkXfbpbGIELFDkwy24tQ3f5y9WQm_GfELk4MFV1r-PZMR5_HJrDoYoJxBZhTmG5dxaHZrz7Uqjy8UQmOIutg/w640-h466/SUMATRAZONE%20CARI%20BIRO%20PERWAKILAN%20TERBAIK.jpg" width="640" /></a></div><br /></span><p></p>

Mulutmu Harimaumu yang akan Menerkammu

Eka Teresia Penulis/ Ketua Penyala Literasi Sumbar MULUT adalah jendela hati, dan kata-kata yang keluar darinya bisa menjadi pedang yang taj...

Baca selengkapnya »

Trio Legislator SUE dan Runtuhnya Kepekaan

<p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><b></b></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><b><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOw8V6v3foTYzS7WXYl7Wx9N2GvjZxml4zb3RVGbKMtwLQfRhQysWWjCtaVGn1x7TFFubCgF2vRUEMQLehkhk4pu3wdbI8ESyuQbtJHJJaRohJClDP8ho2itmjDOfE7xMxZoKxiGyC94ANx04qJRjlH-3JHSHssn71CiEOl5vu2tCmNaAQYImUI25o_Q/s768/Trio%20Legislator%20SUE%20.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="768" data-original-width="768" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOw8V6v3foTYzS7WXYl7Wx9N2GvjZxml4zb3RVGbKMtwLQfRhQysWWjCtaVGn1x7TFFubCgF2vRUEMQLehkhk4pu3wdbI8ESyuQbtJHJJaRohJClDP8ho2itmjDOfE7xMxZoKxiGyC94ANx04qJRjlH-3JHSHssn71CiEOl5vu2tCmNaAQYImUI25o_Q/s320/Trio%20Legislator%20SUE%20.jpg" width="320" /></a></b></span></div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><b>Oleh ReO Fiksiwan</b></span><p></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><br /></span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><b></b></span></p><blockquote><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><b>“Satu-satunya kebebasan yang layak disebut kebebasan adalah kebebasan untuk mengejar kebaikan kita sendiri dengan cara kita sendiri, selama kita tidak mencoba merampas hak orang lain atau menghalangi upaya mereka untuk mendapatkannya.“ — John Stuart Mill (1806-1873), On Liberty (1859).</b></span></p><p></p></blockquote><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><br /></span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">DI TENGAH gelombang demonstrasi yang mengguncang pagar parlemen, tiga nama legislator mencuat bukan karena gagasan, melainkan karena gestur: Sahroni, Uya, dan Eko (SUE?*)</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Mereka bukan sekadar legislator, tapi juga simbol dari apa yang disebut Giorgio Agamben (83) sebagai homo sacer—manusia yang secara hukum hidup, tapi secara politik telah ditanggalkan dari martabatnya.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Mereka menari di atas penderitaan, mengolok keresahan, dan menyebut suara publik sebagai “tolol sedunia”.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Di negeri yang dibangun dari pajak rakyat, mereka menari di atas ganimah yang disamarkan sebagai tunjangan.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Ahmad Sahroni (48), sang sultan Tanjung Priok, lebih dikenal lewat kolektor jam tangan dan mobil mewah daripada legislator yang berpihak.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Ketika rumahnya digeruduk massa, bukan karena rakyat iri, tapi karena rakyat muak.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Uya Kuya (50), selebritas penghipnotis, menyebut gaji Rp3.000.000 per hari sebagai “tidak besar”, seolah rakyat yang hidup dengan Rp50.000 sehari adalah ilusi yang bisa dihapus dengan sugesti.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Eko Patrio (54), komedian layar kaca, memilih berjoget di tengah Sidang Tahunan MPR, menjadikan parlemen sebagai panggung hiburan, bukan ruang etika.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Mereka adalah manifestasi dari hamartia yang ditulis Martha Nussbaum (78) dalam Fragility of Goodness (1986)—cacat karakter yang muncul bukan dari kebodohan, tapi dari keberlimpahan.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Ketika kekayaan materi menjadi tameng dari rasa malu, maka kepekaan pun runtuh.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Etika publik ala Aristoteles, dalam Etika Nikomakea, mengatakan bahwa kebajikan (arete) bukan sekadar tindakan (praxis), tapi disposisi jiwa (hexis) yang terlatih.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Dalam On Liberty (YOI,1996), John Stuart Mill, Anggota Parlemen Inggris 1865-1868, mengungkap bahwa kebebasan individu, berbicara dan prinsip “harm“, harus diimbangi dengan tanggung jawab moral terhadap akibatnya serta dibarengi pentingnya akuntabilitas terhadap rakyat.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Tapi, trio SUE ini memilih sarkasme daripada refleksi, memilih panggung daripada pertanggungjawaban.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Foucault akan menyebut mereka sebagai agen biopolitik, di mana tubuh rakyat diatur, dikontrol, dan dijadikan objek pengawasan, sementara tubuh legislator bebas menari di ruang kekuasaan.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Gramsci pun akan menyebut mereka sebagai bagian dari hegemoni budaya, di mana dominasi tidak lagi hadir dalam bentuk represi, tapi dalam bentuk candaan yang menormalisasi ketimpangan.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Ketika joget menjadi respons atas penderitaan, maka kita sedang menyaksikan tragedi yang dikemas dalam komedi.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Trio ini bukan sekadar individu, mereka adalah cermin dari sistem yang telah kehilangan rasa.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Diacu dari The Sense of Beauty (1896), George Santayana, yang menulis bahwa keindahan sejati lahir dari kepekaan terhadap harmoni. Ia menyebut sebagai “objectified pleasure.“</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Tapi harmoni tak mungkin lahir dari legislator yang menari di atas luka.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Dalam Sense and Sensibility (Akal Budi dan Kepekaan, Gramedia, 2022), Jane Austen menunjukkan bahwa nalar dan perasaan harus berjalan beriringan.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Tapi di Senayan, yang berjalan hanya nalar kalkulatif, tanpa perasaan. Apalagi, kepekaan?</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Runtuhnya kepekaan, the frigile of sensibility, bukan sekadar soal moral belaka, tapi soal ontologi politik.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpa_gBmoGzTe4u_3ZXPnt1nDdQu_anNvHWNx8qgEw2no_JlOCETsSn4exw1UxOIZxINm2wOJfultCOcb2E5e38nShCmfy3zxOyF1AnlQXPfBDnxU0q6JPggHoOoJ6fIJSAe-OEZ4DsRYiO-zYQPhVh-Vfy2epqh52ogsPhYMTV0XWWtLN_p31jC9XSGA/s2733/Yuuk%20jadi%20biro%20perwakilan%20sumatrazone.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="1876" data-original-width="2733" height="220" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpa_gBmoGzTe4u_3ZXPnt1nDdQu_anNvHWNx8qgEw2no_JlOCETsSn4exw1UxOIZxINm2wOJfultCOcb2E5e38nShCmfy3zxOyF1AnlQXPfBDnxU0q6JPggHoOoJ6fIJSAe-OEZ4DsRYiO-zYQPhVh-Vfy2epqh52ogsPhYMTV0XWWtLN_p31jC9XSGA/s320/Yuuk%20jadi%20biro%20perwakilan%20sumatrazone.jpg" width="320" /></a></span></div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Ketika wakil rakyat — kata yang sudah aus dari substansinya — tak lagi merasa terwakili oleh rakyat, maka demokrasi berubah menjadi teater kekonyolan.</span><p></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Dan dalam teater itu, Sahroni, Uya, dan Eko, Sang SUE, adalah aktor utama yang lupa bahwa panggung mereka dibangun dari keringat dan suara rakyat.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Mereka lupa bahwa setiap Pemilu bukan sekadar angka-angka suara yang diraih, tapi amanah yang harus ditunai.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Tapi, ketika amanah itu ditari-tarikan, maka rakyat berhak marah.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Bukan karena mereka tolol, tapi karena mereka tahu, bahwa keadilan bukan soal gaji, tapi soal rasa, kepekaan atas keadilan!</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">*Akronim dialih ke bahasa Jawa “sue” (suwe) seperti kalimat:</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">“Suwe tenan aku ngenteni kowe.”</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Artinya: Lama sekali aku menunggumu. (*)</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">#coverlagu: Final Countdown by Europe(1986). Lagu ini mengusung tema perpisahan dan petualangan besar sebagai metafora tentang perubahan besar dalam hidup, atau bahkan tentang cinta yang penuh risiko dan ketidakpastian. ,(**)</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><br /></span></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQ_bL0s0A8CRrBj5vcfMPlpWx4KZN7Lmgf876PBNYZSBgZl45592PqH2Rw3YQb6EOsNZHdm777PiGTRah2R5_kRyPY6VWLPclcXrIOwhsc96-CfuQuxHwhvc3bbsdxinZTtaL1mNMx5EhJSR4YV9bsqWItNQuskMqjCPLJu8jH7cp5vGviCC2FEKHJTw/s720/ROBINSON%20KONSULTAN%20PERTANAHAN%20TERPERCAYA%20REPUBLIK%20INDONESIA.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-size: large;"><img border="0" data-original-height="448" data-original-width="720" height="398" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQ_bL0s0A8CRrBj5vcfMPlpWx4KZN7Lmgf876PBNYZSBgZl45592PqH2Rw3YQb6EOsNZHdm777PiGTRah2R5_kRyPY6VWLPclcXrIOwhsc96-CfuQuxHwhvc3bbsdxinZTtaL1mNMx5EhJSR4YV9bsqWItNQuskMqjCPLJu8jH7cp5vGviCC2FEKHJTw/w640-h398/ROBINSON%20KONSULTAN%20PERTANAHAN%20TERPERCAYA%20REPUBLIK%20INDONESIA.JPG" width="640" /></span></a></div><span style="font-size: large;"><br /></span><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><br /></span><p></p>

Trio Legislator SUE dan Runtuhnya Kepekaan

Oleh ReO Fiksiwan “Satu-satunya kebebasan yang layak disebut kebebasan adalah kebebasan untuk mengejar kebaikan kita sendiri dengan cara kit...

Baca selengkapnya »

Rumah Megah Ahmad Sahroni "Crazy Rich Priok" Dijarah Massa!

<p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLJMyMpDz_idc3FIAuZxrsTMFlVZDfOwicPRc7P2JzZl06wBozewZBRIjaGRTmrweySNjfhCXFxgemZM-SUul1-ln0BR40Vyz1znxUVmCvQXLaXxRgeTFRhK6b1Nc38LjdtyGp2IPf0VZQikFmhKBL73I_LMPjaUm5qxNg36BIknZKPM-qzFDr9vtilw/s4096/Rumah%20Crazy%20Rich%20Priok%20Dijarah%20Massa.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="2304" data-original-width="4096" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLJMyMpDz_idc3FIAuZxrsTMFlVZDfOwicPRc7P2JzZl06wBozewZBRIjaGRTmrweySNjfhCXFxgemZM-SUul1-ln0BR40Vyz1znxUVmCvQXLaXxRgeTFRhK6b1Nc38LjdtyGp2IPf0VZQikFmhKBL73I_LMPjaUm5qxNg36BIknZKPM-qzFDr9vtilw/w320-h180/Rumah%20Crazy%20Rich%20Priok%20Dijarah%20Massa.jpg" width="320" /></a></span></div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">JAKARTA -- Situasi mencekam melanda kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Sabtu (30/8/2025) malam. Rumah megah milik politisi Partai NasDem, Ahmad Sahroni yang juga dikenal sebagai “crazy rich” asal Priok, dikepung ratusan massa. Tidak hanya mengepung, massa juga nekat menjarah isi rumah yang bernilai fantastis.</span><p></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Pemandangan itu terekam dalam siaran langsung akun TikTok @m451mam, yang dalam hitungan jam sudah ditonton lebih dari 1,4 juta kali. Dalam video, suasana tampak kacau: pintu rumah jebol, barang-barang berharga diangkut, dan teriakan massa terdengar bersahutan.</span></p><p><b><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Barang Berharga Raib, Brankas Dibawa Pergi</span></b></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Sejumlah massa yang berada di lokasi mengaku hampir seluruh isi rumah sudah “dihabisi”. Mulai dari pakaian mewah, koleksi sepatu, hingga barang elektronik berpindah tangan.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">“Sudah pada dihabisi, brankas juga sudah dibawa,” ujar salah seorang pria dalam video tersebut.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">“Baju-bajunya, sepatu juga sudah dibawa sama massa,” tambahnya.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Rumah Sahroni, yang selama ini dikenal megah dengan desain modern dan dijaga ketat, kini tampak porak-poranda. Bagian dalam rumah berantakan, kaca pecah berserakan, sementara sebagian besar ruangan terlihat kosong setelah dijarah.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><b>Netizen Ingatkan Massa: Jangan Dibakar</b>!</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Meski amarah massa meluap, netizen yang menyaksikan siaran langsung itu justru ramai-ramai mengingatkan agar aksi tidak berujung pembakaran. Alasan utamanya, rumah Sahroni berdempetan dengan permukiman padat penduduk.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">“Kami enggak akan membakar rumah Sahroni, karena di sini banyak penduduknya dan berdekatan,” kata seorang pria dalam siaran tersebut.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">“Kalau dibakar, kasihan sama warga sekitar,” sambungnya.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhuoT3zbjCnAmP_ue7v_oNlWWaCPNFfagipbmcVQlxsz9HzNL9WqFtSWncZVZ81qKwj7qykGaawDc0A9MiB7z-cbEs3qgIOyVtz5DUnH0PcIjsvggZi1KbNrNkcyAjc2UegKdUtESuqP8ryL6CxMQIa7LI36qbw3IFdVhIHDiMQFd8s4HDszbtz-_OxTg/s2733/Yuuk%20jadi%20biro%20perwakilan%20sumatrazone.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="1876" data-original-width="2733" height="220" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhuoT3zbjCnAmP_ue7v_oNlWWaCPNFfagipbmcVQlxsz9HzNL9WqFtSWncZVZ81qKwj7qykGaawDc0A9MiB7z-cbEs3qgIOyVtz5DUnH0PcIjsvggZi1KbNrNkcyAjc2UegKdUtESuqP8ryL6CxMQIa7LI36qbw3IFdVhIHDiMQFd8s4HDszbtz-_OxTg/s320/Yuuk%20jadi%20biro%20perwakilan%20sumatrazone.jpg" width="320" /></a></span></div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Komentar serupa juga membanjiri kolom komentar TikTok. Banyak netizen yang meminta agar massa menahan diri dan tidak melakukan tindakan anarkis yang bisa mengorbankan warga tak bersalah.</span><p></p><p><b><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Situasi Masih Mencekam</span></b></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Hingga berita ini diturunkan, massa masih bertahan di sekitar rumah Ahmad Sahroni. Suara teriakan dan kerumunan warga terus terdengar, sementara aparat kepolisian belum tampak melakukan tindakan tegas untuk membubarkan massa.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Belum ada keterangan resmi dari pihak kepolisian terkait insiden ini. Begitu pula dari Ahmad Sahroni maupun Partai NasDem, yang hingga kini belum memberikan pernyataan.</span></p><p><b><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">#bin</span></b></p><p><b><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><br /></span></b></p><p><b><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"></span></b></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><b><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsYF4GWhgJpfBi3jb7CnEYddMPZF4VuZ7xcRzcGqRIWRV7Wf_R1HPXPA8b9HpmnUmyPYWyL-lehHxC6ye74lw2g6GzHSs1y0b_J3uzEniW1gjpwe0s_IyAqd2qcqzc-TJI_CtsKj3N5SW2vPVxoyafoLHHgKmdtTSHGnCm0yKl33Ylk2V9X0rytcwwAQ/s720/ROBINSON%20KONSULTAN%20PERTANAHAN%20TERPERCAYA%20REPUBLIK%20INDONESIA.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="448" data-original-width="720" height="398" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsYF4GWhgJpfBi3jb7CnEYddMPZF4VuZ7xcRzcGqRIWRV7Wf_R1HPXPA8b9HpmnUmyPYWyL-lehHxC6ye74lw2g6GzHSs1y0b_J3uzEniW1gjpwe0s_IyAqd2qcqzc-TJI_CtsKj3N5SW2vPVxoyafoLHHgKmdtTSHGnCm0yKl33Ylk2V9X0rytcwwAQ/w640-h398/ROBINSON%20KONSULTAN%20PERTANAHAN%20TERPERCAYA%20REPUBLIK%20INDONESIA.JPG" width="640" /></a></span></b></div><b><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><span><br /></span></span></b><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6CjGJyBKK4q2u01LYRrse4wK2hOHQlWqbWyFAcDR8u7iVT6fMZx1ice8iFjRQ5pTSL1BsijJoA_arJ_Gxtk9mPtq6M4tzfcE-S4R4FamU2dyFx1E-vIVOB6n7gpqogqSFsTcAOPJHpEQcTFTXaE8-eRYMGpTlFsUmDvnku1MUfEOtALAcsy5MDKzyeQ/s2733/kampus%20vokasi%20terbaik.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><img border="0" data-original-height="2694" data-original-width="2733" height="630" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6CjGJyBKK4q2u01LYRrse4wK2hOHQlWqbWyFAcDR8u7iVT6fMZx1ice8iFjRQ5pTSL1BsijJoA_arJ_Gxtk9mPtq6M4tzfcE-S4R4FamU2dyFx1E-vIVOB6n7gpqogqSFsTcAOPJHpEQcTFTXaE8-eRYMGpTlFsUmDvnku1MUfEOtALAcsy5MDKzyeQ/w640-h630/kampus%20vokasi%20terbaik.jpg" width="640" /></span></a></div><br /><p></p>

Rumah Megah Ahmad Sahroni "Crazy Rich Priok" Dijarah Massa!

JAKARTA -- Situasi mencekam melanda kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Sabtu (30/8/2025) malam. Rumah megah milik politisi Partai NasDem,...

Baca selengkapnya »

Hilangnya Kepekaan Sosial Para Pejabat di Negeri Sandal Jepit

<p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><i></i></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><i><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEitVM12o9ZjsEunBztd4Vwqqvd42NZpt8aQRmOct5HxAYwNFbmX6lQ1SX3yTdasoihhwbWXVxejzpHmbwrtD_8jFszV8O1FHZh-G7tozj0F2-e6S1C563cZxt4UMO_lEE7g-DagpKDMdjvwTPYFldjtvm2zSjy3I85k0vBSQnDA7Abr32OoluPI_1iKVw/s720/Hilangnya%20Kepekaan%20Sosial%20Para%20Pejabat%20di%20Negeri%20S.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" data-original-height="581" data-original-width="720" height="258" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEitVM12o9ZjsEunBztd4Vwqqvd42NZpt8aQRmOct5HxAYwNFbmX6lQ1SX3yTdasoihhwbWXVxejzpHmbwrtD_8jFszV8O1FHZh-G7tozj0F2-e6S1C563cZxt4UMO_lEE7g-DagpKDMdjvwTPYFldjtvm2zSjy3I85k0vBSQnDA7Abr32OoluPI_1iKVw/s320/Hilangnya%20Kepekaan%20Sosial%20Para%20Pejabat%20di%20Negeri%20S.jpg" width="320" /></a></i></span></div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><i>Oleh:</i> <b>Wahyu Iryana *)</b></span><p></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><br /></span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">PENULIS sebagai bagian dari rakyat perlu menyampaikan kritik membangun terkait Gaji DPR 100 Juta perbulan, yang tentu tidak sesuai dengan kinerja, ini tidak pas dengan kondisi rakyat Indonesia yang masih serba kekurangan ekonomi.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Kalau Mahbub Djunaedi masih hidup, mungkin ia akan menulis: “Di negeri ini ada dua manusia: yang hidup dari keringat, dan yang hidup dari rapat.” Orang kedua itu sering datang terlambat, rapatnya lebih banyak hening daripada gagasan, namun gaji selalu tepat waktu bahkan dobel kalau “maraton” dianggap merampungkan selfie, bukan legislasi. Sementara itu, rakyat masih berjuang membayar harga pokok, menikmati subsidi seadanya, dan berharap digaji setidaknya cukup untuk sehari.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Mari kita mulai dengan angka. Gaji pokok anggota DPR RI sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000 memang hanya sekitar Rp4,2 juta per bulan kini naik 3 juta perhari. Tapi itu juga hanyalah ujung dari piramida penghasilan mereka. Tambahkan tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, tunjangan beras, tunjangan komunikasi, uang sidang, biaya perjalanan, hingga tunjangan pensiun, total pendapatan yang bisa dibawa pulang anggota DPR berkisar 100 juta per bulan.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Bahkan jika dihitung rata-rata, mereka bisa mendapat sekitar Rp3 juta per hari. Angka ini fantastis bagi banyak rakyat Indonesia yang untuk mendapatkan Rp100 ribu sehari saja harus bergelut di jalanan.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Si Budi, misalnya, seorang pengemudi ojek online di Jakarta. Dalam sehari, ia bisa mendapat Rp160 ribu, itupun belum dipotong bensin, parkir, dan servis motor. Bersihnya? Mungkin Rp80 ribu–100 ribu. Jika bulan berjalan baik, ia mengantongi Rp3–4 juta sebulan. Atau petani buruh di Indramayu misalkan yang hanya mengais upah kalau hanya ada kerjaan itupun hanya diupah 100 ribu sehari kerja empat hari kemudian nganggur lagi hari berikutnya.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Bahkan gaji ASN yang sering dikambinghitamkan masyarakat pada umumnya tidak sebesar gaji para anggota dewan terhormat yang ada di senayan, nelayan yang melaut harus membayar solar yang kadang tak berimbang dengan hasil tangkapan. Sementara anggota DPR yang duduk di kursi gedung ber-AC bisa dapat angka 3 juta dalam satu hari atau bahkan tanpa kerja jika kebetulan masa reses.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Kesenjangan ini bukan cuma soal ekonomi, tapi soal etika dan simbolisme politik. Di satu sisi, rakyat diimbau untuk hidup hemat dan “turut berjuang bersama pemerintah”, namun di sisi lain, para elit menikmati tunjangan luar negeri, fasilitas hotel bintang lima untuk reses, hingga dana representasi yang kadang tak jelas urgensinya. Ketika harga beras melambung, rakyat diminta “bersabar”. Ketika tunjangan pejabat naik, disebut sebagai “penyesuaian anggaran”.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Di sini, “fairplay” tampaknya hanya berlaku di pidato, bukan dalam praktik. Subsidi BBM dikurangi atas nama efisiensi fiskal, tetapi dana kunjungan luar negeri justru membengkak. Harga bahan pokok melonjak, tetapi tunjangan komunikasi anggota DPR mencapai lebih dari Rp15 juta. Ironi ini lebih absurd dari sinetron: satu pihak sibuk mengais receh di pasar, satu pihak sibuk mencairkan dana aspirasi yang lebih sering jadi safari politik.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Secara historis, ketimpangan elite dan rakyat bukan hal baru di negeri ini. Pada masa kolonial, golongan priyayi dan pegawai pemerintahan Hindia-Belanda menikmati gaji dan fasilitas tinggi sementara kaum bumiputra hidup miskin dan tertindas. Harapan akan tatanan baru muncul pasca kemerdekaan bahwa republik berarti kesetaraan. Namun yang terjadi? Budaya feodalisme ternyata tidak runtuh, hanya berganti seragam dan institusi.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Mari sedikit melihat refleksi historis, sidang-sidang BPUPKI dan PPKI dulu berlangsung sederhana. Para perumus konstitusi datang dengan semangat pengorbanan, bukan daftar tagihan reimbursement. Bung Karno hidup dalam kesederhanaan, dan Bung Hatta bahkan menolak tunjangan demi integritas, bahkan banyak mentrinya yang mengontrak rumah sampai akhir hayatnya. Bandingkan dengan hari ini, ketika anggota DPR bisa menerima fasilitas kredit mobil Rp70 juta per periode, apartemen mewah, hingga pensiun seumur hidup meski hanya menjabat lima tahun.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Dalam sejarah pemikiran politik Indonesia, tokoh seperti Anhar Gonggong pernah mengingatkan bahwa bangsa yang tidak belajar dari sejarah akan mengulang penderitaannya. Dan Ahmad Mansyur Suryanegara menegaskan bahwa Indonesia tidak lahir dari kenyamanan, tapi dari keikhlasan rakyat untuk berjuang, lapar, bahkan mati demi tanah air. Namun kini, demokrasi kita justru menjauh dari rakyat.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Parlemen telah menjadi semacam “monarki konstitusional”: rakyat memilih, elite menikmati. Demokrasi berubah menjadi pasar transaksional, di mana suara rakyat hanya dibutuhkan lima tahun sekali, lalu dilupakan selama sisa masa jabatan. Legislasi disusun tergesa, minim partisipasi publik, dan kadang tak berpihak pada keadilan sosial. Rapat molor, reses tidak terdokumentasi dengan baik, dan laporan kinerja sulit diakses publik.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Ini bukan lagi sekadar soal gaji besar, tapi soal struktur kekuasaan yang permisif terhadap kemewahan tanpa akuntabilitas. Ketika anggota DPR lebih sibuk membahas fasilitas ketimbang nasib petani dan buruh, maka demokrasi kita sedang mengalami krisis legitimasi. Ketika rakyat dibiarkan menonton dari pinggir lapangan yang becek, sementara wakilnya bermain di lapangan rumput Swiss, maka pertandingan ini tidak adil sejak peluit ditiup.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Jika ini pertandingan sepak bola, maka rakyat adalah tim yang diberi bola kempes, disuruh bermain tanpa sepatu, dan tidak diberi hak bicara pada wasit. Sementara anggota DPR main di lapangan hijau, dengan pelatih luar negeri, fasilitas lengkap, dan skor sudah ditentukan dari awal.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Maka wajar jika rakyat mulai sinis. Mereka bukan anti terhadap gaji besar. Mereka hanya ingin keadilan. Gaji besar boleh saja, asalkan berbanding lurus dengan kerja besar. Tapi kenyataannya, banyak anggota DPR lebih aktif di media sosial ketimbang di ruang sidang. Banyak yang lebih lihai membuat konten TikTok daripada meneliti undang-undang. Rakyat tak marah pada kemewahan, mereka marah pada ketidakadilan yang sistemik.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Apa solusinya?</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Pertama, reformasi menyeluruh sistem penggajian dan tunjangan anggota legislatif. Tunjangan harus berbasis kinerja nyata, bukan sekadar jabatan. Tidak ada rapat? Tidak ada uang sidang. Tidak hadir reses? Potong dana aspirasi.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Kedua, transparansi dan akuntabilitas anggaran legislatif harus diperkuat. Semua pengeluaran dari tiket pesawat hingga biaya hotel harus dilaporkan secara daring dan terbuka, bisa diakses rakyat secara real-time.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Ketiga, pendidikan politik massal untuk rakyat. Rakyat harus diberi akses untuk menilai rekam jejak wakilnya, memahami proses legislasi, dan punya saluran pengawasan. Demokrasi bukan hanya soal memilih, tapi soal terus mengawasi dan menagih janji.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Keempat, batasi gaya hidup elitis pejabat publik. Jika perlu, wakil rakyat wajib hidup satu minggu di kampung miskin, makan dengan upah minimum, dan merasakan antrean beras subsidi. Agar mereka kembali merasakan denyut nadi rakyat yang sesungguhnya.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Demokrasi Indonesia tidak boleh terus-menerus menjadi reality show: mahal, dramatis, penuh sorotan kamera tapi kosong makna. Demokrasi bukan tentang fasilitas mewah untuk pejabat, tapi tentang bagaimana negara hadir dalam dapur rakyat, sekolah rakyat, dan puskesmas rakyat.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi7ZP5F9CG9Mk2i1d8f9JQBOb3m2ujJHhAQnY3I3BcmzYAR2M6GxXxxr315oW5CFTRWui8oUsxROTkqfup5Kjc0RDrhUO0_8I00MpXQN0JP816RXqBzASrp58fcV4vwh7L-HjQg5H6_cFr9a7sjT9WwKeRIIIu4KHEiezSE7V-T7-p-4HaZLUzzVGL3qw/s2733/SUMATRAZONE%20CARI%20BIRO%20PERWAKILAN%20TERBAIK.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1986" data-original-width="2733" height="233" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi7ZP5F9CG9Mk2i1d8f9JQBOb3m2ujJHhAQnY3I3BcmzYAR2M6GxXxxr315oW5CFTRWui8oUsxROTkqfup5Kjc0RDrhUO0_8I00MpXQN0JP816RXqBzASrp58fcV4vwh7L-HjQg5H6_cFr9a7sjT9WwKeRIIIu4KHEiezSE7V-T7-p-4HaZLUzzVGL3qw/s320/SUMATRAZONE%20CARI%20BIRO%20PERWAKILAN%20TERBAIK.jpg" width="320" /></a></span></div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Jika wakil rakyat terus hidup dalam dunia paralel yang nyaman dan steril dari derita rakyat, maka akan tiba masa di mana suara rakyat tidak hanya disampaikan lewat pemilu, tapi lewat amarah kolektif. Dan sejarah sebagaimana diajarkan oleh Anhar Gonggong tidak pernah memberi ampun pada penguasa yang lupa daratan.</span><p></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Indonesia adalah rumah bersama, bukan ruang VIP bagi segelintir elit. Sudah saatnya kita tuntut agar demokrasi tidak hanya jadi sandiwara lima tahunan, tapi sistem yang menjamin keadilan, kesejahteraan, dan keberpihakan pada rakyat yang sesungguhnya. Wakil rakyat harus kembali menjadi pelayan rakyat bukan penikmat uang negara.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Jika tidak, maka demokrasi jet pribadi akan terus melaju, meninggalkan rakyat yang berjalan kaki dengan sandal jepit di jalan berlubang, sambil bertanya: Apakah ini republik yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata?tentu bukan! Karena memimpin adalah menderita kata Agus Salim sang Diplomat Ulung yang pernah dimiliki Bangsa Indonesia.</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;">Ingat para bapa ibu anggota DPR yang terhormat audit rakyat semesta lebih konkret daripada audit badan resmi pemerintah sekalipun. Itu di dunia, belum lagi audit keadilan di akherat kelak. (*)</span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><i>Wallahu’alam.</i></span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><b>*) Penulis adalah sejarawan yang percaya bahwa pena rakyat bisa lebih tajam daripada hasil rapat DPR </b></span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><b><br /></b></span></p><p><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQGGcDnTsOBmpe-WLF6uKEIAb7wW63AsOPvwgCBd9lf6wAituccL1GeQlH2pnmb2gKiAQOo5E7-BeH8oXg-Efx4PJdg2afTJgMMALukASi17NiDdbWBtzrZz2d7I1jR7qi_3PAsLGGWWeGqmEAAcVL_ruTe48jkBjYikZUaxJibnU43S1Tks0IX9xi0A/s720/ROBINSON%20KONSULTAN%20PERTANAHAN%20TERPERCAYA%20REPUBLIK%20INDONESIA.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="448" data-original-width="720" height="398" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQGGcDnTsOBmpe-WLF6uKEIAb7wW63AsOPvwgCBd9lf6wAituccL1GeQlH2pnmb2gKiAQOo5E7-BeH8oXg-Efx4PJdg2afTJgMMALukASi17NiDdbWBtzrZz2d7I1jR7qi_3PAsLGGWWeGqmEAAcVL_ruTe48jkBjYikZUaxJibnU43S1Tks0IX9xi0A/w640-h398/ROBINSON%20KONSULTAN%20PERTANAHAN%20TERPERCAYA%20REPUBLIK%20INDONESIA.JPG" width="640" /></a></span></div><span style="font-family: helvetica; font-size: large;"><b><br /></b></span><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiSyikyVRzJ3F3b8FjMTHHYK59ZlwX1Zq7autk9tw0fVUHXXSGxEdi_fPtx1dinKw_oKP7kkXTNxFDVVZ7iszrasxxOTY7G2WMqf2IeQhZwIJjZAx9lVIADA3mXQslAgBn8ADoluyEYcSMB8QuzUx8IhVaoPGCGtFpaI3btPFPs8q6kcs2EEBxv25IW_w/s2733/kampus%20vokasi%20terbaik.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-size: large;"><img border="0" data-original-height="2694" data-original-width="2733" height="630" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiSyikyVRzJ3F3b8FjMTHHYK59ZlwX1Zq7autk9tw0fVUHXXSGxEdi_fPtx1dinKw_oKP7kkXTNxFDVVZ7iszrasxxOTY7G2WMqf2IeQhZwIJjZAx9lVIADA3mXQslAgBn8ADoluyEYcSMB8QuzUx8IhVaoPGCGtFpaI3btPFPs8q6kcs2EEBxv25IW_w/w640-h630/kampus%20vokasi%20terbaik.jpg" width="640" /></span></a></div><br /><p></p>

Hilangnya Kepekaan Sosial Para Pejabat di Negeri Sandal Jepit

Oleh: Wahyu Iryana *) PENULIS sebagai bagian dari rakyat perlu menyampaikan kritik membangun terkait Gaji DPR 100 Juta perbulan, yang tentu...

Baca selengkapnya »