Oleh Kuldip Singh


PERDANA Menteri Jepang, Shigeru Ishiba, baru saja mengumumkan pengunduran dirinya. Alasan utamanya sederhana dan jelas: kondisi ekonomi tak kunjung pulih, suara Partai Demokratik Liberal (LDP) terkoreksi turun, dan muncul desakan dari dalam partai sendiri agar ada regenerasi. Tidak ada drama, tidak ada narasi sakralitas jabatan. Yang ada hanyalah kesadaran bahwa seorang pemimpin bisa salah, bisa gagal, dan karena itu wajar bila diganti.

Fenomena ini memberi kita cermin penting. Di Jepang, jabatan publik dipandang sebagai amanah yang harus diemban selama bisa memberikan hasil bagi rakyat. Begitu performa menurun, legitimasi pun luntur. Maka, pengunduran diri bukanlah aib, melainkan bagian dari etika politik. Inilah wajah politik yang rasional: kekuasaan bukan warisan, bukan pula simbol mistis yang harus dipertahankan mati-matian.

Sebaliknya, di Indonesia, kita masih sering melihat pola sebaliknya. Jabatan dianggap sesuatu yang harus dipertahankan dengan segala cara, meski rakyat kecewa. Ada kecenderungan untuk membungkus kegagalan dengan retorika pencitraan, alih-alih jujur mengakui kelemahan. Budaya mundur karena gagal hampir tidak dikenal dalam praktik politik kita. Padahal, justru sikap berani mengundurkan diri itulah yang menunjukkan kedewasaan seorang pemimpin.

Pelajaran dari Jepang juga menunjukkan betapa sehatnya mekanisme internal partai politik. LDP tidak segan mengoreksi pemimpinnya sendiri. Ketika suara publik menurun, mereka tahu bahwa yang harus dilakukan adalah pembaruan kepemimpinan, bukan pembelaan membabi buta. Bandingkan dengan partai-partai di Indonesia yang cenderung menjadi “kendaraan pribadi” ketua umum. Hampir mustahil kita bayangkan sebuah partai besar berani meminta pemimpinnya mundur demi regenerasi.

Ada hal lain yang patut digarisbawahi: regenerasi politik di Jepang berjalan alami. Politisi muda diberi ruang untuk maju menggantikan senior yang dianggap gagal. Proses ini tidak menimbulkan krisis politik berkepanjangan. Mengapa? Karena sistemnya sudah mapan dan para aktornya paham bahwa kepentingan rakyat dan partai lebih utama daripada kursi pribadi.

Di Indonesia, regenerasi politik seringkali macet. Anak muda bisa naik hanya bila punya koneksi keluarga politik atau modal besar. Sementara itu, tokoh-tokoh lama terus bercokol, enggan memberi ruang. Maka, alih-alih ada pembaruan, kita hanya melihat wajah-wajah lama dengan pola lama, yang semakin jauh dari aspirasi rakyat.

Kesimpulannya, pengunduran diri Shigeru Ishiba memberi kita tiga pelajaran besar. Pertama, jabatan publik bukan takhta sakral, melainkan amanah yang sah dilepaskan bila gagal. Kedua, partai politik harus punya mekanisme koreksi internal yang sehat, agar tidak hanya melayani kepentingan pribadi. Ketiga, regenerasi politik adalah hal yang niscaya dan harus berjalan natural, bukan didikte oleh oligarki atau dinasti.

Kalau Jepang bisa menjadikan pengunduran diri sebagai tradisi politik sehat, kenapa Indonesia tidak? (*) 





 
Top