Oleh: Fransisca Tri Susanti


“Konstitusi hanya mengenal Penggantian Antar Waktu (PAW) dan Pemberhentian Tetap, Bukan Nonaktif"


SEJUMLAH anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi di “nonaktifkan” oleh partainya. Di antaranya Ahmad Sahroni, Adies Kadir, Uya Kuya, Eko Patrio, hingga Nafa Urbach. Fenomena ini segera memunculkan pertanyaan mendasar: dari mana dasar hukum kebijakan tersebut diambil? Apakah penonaktifan itu memiliki legitimasi normatif, ataukah hanya produk politik praktis yang dibungkus dengan retorika organisasi partai?

Isu ini tidak sederhana. Sebab, ia menyangkut legitimasi lembaga legislatif yang merupakan pilar demokrasi, kedudukan wakil rakyat sebagai representasi mandat konstitusional, serta konsistensi kita dalam menegakkan prinsip negara hukum (rule of law).

Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum. Konsekuensinya, kedudukan seorang anggota DPR adalah hasil mandat rakyat, bukan hadiah partai politik. Ia dilantik melalui sumpah jabatan, lalu menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran. Apakah partai atau pimpinan DPR berwenang menonaktifkan seseorang yang sudah resmi menjadi anggota DPR? Jawabannya, konstitusi tidak memberi ruang untuk itu.

Lebih jauh, Pasal 22B UUD 1945 menyebutkan bahwa anggota DPR dapat diberhentikan antarwaktu. Mekanisme ini dikenal dengan istilah penggantian antarwaktu (PAW). Namun, UUD tidak mengenal terminologi nonaktif sementara. Artinya, jika ada praktik penonaktifan, ia bukanlah produk konstitusi.

UU MD3: Norma yang Tegas

Mengutip dari pernyataan Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah (Castro) mengatakan “Istilah non-aktif tidak dikenal dalam UU MD3 maupun tata tertib yang mereka buat sendiri”. Yang ada pemberhentian dan pemberhentian sementara. Lagipula non-aktif tidak punya konsekuensi hukum apa-apa.

Dalam hal ini Castro juga menegaskan mereka tetap anggota DPR, dan tetap makan gaji. Kalau memang partai serius mengoreksi dirinya, pecat sebagai anggota partai yang otomatis akan diganti antar waktu.

Jadi itu hanya akal-akalan partai politik untuk meredam kritik publik.

Aturan yang lebih rinci terdapat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Di dalamnya, pasal-pasal tentang berhentinya anggota DPR diatur secara jelas. Misalnya, seorang anggota DPR berhenti antarwaktu apabila; meninggal dunia,mengundurkan diri; diberhentikan partai politik karena melanggar AD/ART; diberhentikan karena terbukti melakukan tindak pidana berat atau pelanggaran etika.

Selain itu, ada pemberhentian sementara apabila seorang anggota DPR ditetapkan sebagai terdakwa tindak pidana tertentu. Namun, istilah “nonaktif” dalam pengertian administratif dengan tetap mempertahankan status keanggotaan tidak ditemukan.

Dengan demikian, secara hukum positif, tidak ada dasar yang mengatur penonaktifan anggota DPR seperti yang ramai diberitakan. Jika praktik ini diteruskan, berarti ada penafsiran baru yang cenderung dipaksakan.

Politik Mengalahkan Hukum?

Sejak lama partai politik di Indonesia menempatkan kadernya di DPR sebagai “kepanjangan tangan organisasi”. Seringkali, loyalitas kepada partai lebih diutamakan ketimbang loyalitas pada rakyat yang memilih. Tidak jarang pula, perbedaan sikap anggota DPR terhadap garis partai berujung pada ancaman PAW.

Kini, istilah “nonaktif” muncul sebagai instrumen baru. Ia bisa dipahami sebagai cara partai untuk menekan kader tanpa harus langsung memproses PAW yang berbelit. Namun, implikasinya berbahaya: anggota DPR menjadi subordinat penuh dari partai, dan kedaulatannya sebagai wakil rakyat tergerus.

Jika mekanisme ini dilegalkan secara politik tanpa dasar hukum yang jelas, maka DPR hanya akan menjadi “perpanjangan tangan elit partai”. Demokrasi berubah menjadi oligarki terselubung, di mana rakyat kehilangan makna representasi sejati.

Ada tiga risiko besar yang bisa muncul bila praktik penonaktifan dibiarkan. Pertama, keruntuhan asas kepastian hukum. Negara hukum mengandaikan segala tindakan pejabat publik maupun lembaga politik memiliki dasar hukum yang jelas. Tanpa itu, semua keputusan hanya bergantung pada tafsir dan kepentingan politik sesaat.

Kedua, kerusakan institusional DPR. Jika anggota bisa dinonaktifkan semaunya, maka DPR tidak lagi independen. Fungsi pengawasan terhadap pemerintah bisa lumpuh, sebab anggota DPR akan selalu dihantui risiko pencopotan jika bersuara kritis.

Ketiga, preseden buruk bagi demokrasi. Apa yang menimpa Ahmad Sahroni, Uya Kuya, Eko Patrio, dan Nafa Urbach hari ini, bisa menimpa siapa saja besok. Demokrasi menjadi rapuh karena rakyat tidak bisa lagi berharap wakilnya bersuara tanpa tekanan.

Di sinilah pentingnya Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai benteng terakhir konstitusionalitas. Bila ada partai atau pimpinan DPR yang melakukan penonaktifan tanpa dasar hukum, seharusnya anggota yang dirugikan dapat mengajukan sengketa kewenangan lembaga negara.

MK bisa menegaskan kembali bahwa konstitusi hanya mengenal PAW dan pemberhentian tetap, bukan “nonaktif”. Dengan begitu, kepastian hukum dijaga, dan DPR tidak menjadi arena eksperimen politik yang mengorbankan asas negara hukum.

Jalan Keluar dan Demokrasi Butuh Konsistensi

Ada dua jalan yang bisa ditempuh. Pertama, jika negara ingin mengenal mekanisme nonaktif sementara, maka harus ada revisi UU MD3. Revisi itu harus memuat batasan yang jelas: kapan seorang anggota bisa dinonaktifkan, berapa lama, dan bagaimana mekanisme pengembaliannya. Tanpa itu, istilah nonaktif hanya akan jadi alat politik.

Kedua, jika tidak ada dasar hukum yang memadai, maka praktik ini harus dihentikan. DPR dan partai politik tidak boleh melanggar aturan main yang sudah ditetapkan. Mandat rakyat tidak bisa diputus dengan alasan disiplin organisasi semata.

Penonaktifan anggota DPR tanpa dasar hukum bukan hanya masalah administratif. Ia menyangkut legitimasi demokrasi kita. Jika rakyat memilih wakilnya melalui pemilu, maka hanya mekanisme hukum yang sah yang bisa mengakhiri masa jabatan wakil itu.

Demokrasi bukan sekadar angka kursi, tetapi penghormatan pada aturan yang disepakati. Bila hukum bisa ditafsirkan seenaknya demi kepentingan politik, maka apa yang runtuh bukan hanya DPR, melainkan juga kepercayaan rakyat kepada negara.

Kasus ini harus menjadi pengingat, jangan biarkan politik menginjak hukum. Karena ketika hukum tidak lagi dihormati, demokrasi hanya tinggal nama, dan negara hukum berubah menjadi negara kekuasaan. Kami tidak tolol dan tidak buta hukum! (*)

Jakarta, 1 September 2025 






 
Top