Oleh: Ririe Aiko
ADA perbedaan yang begitu mencolok antara bagaimana pejabat di negara lain dan pejabat di negeri kita bersikap ketika menghadapi kegagalan.
Di banyak negara, kegagalan tidak ditutup-tutupi dengan alasan teknis atau pembelaan yang defensif, melainkan dijawab dengan kerendahan hati. Seorang pemimpin yang merasa tidak lagi mampu menjaga amanah publik memilih mundur sebagai bentuk tanggung jawab. Dan di sana, mundur bukanlah simbol kekalahan, melainkan keberanian untuk menjaga kehormatan.
Sementara di negeri kita, kisahnya sering berakhir dengan nada yang berbeda. Mereka yang jelas-jelas gagal masih enggan melepas jabatan. Alih-alih mundur secara sukarela, mereka justru menunggu hingga tekanan publik tak terbendung, hingga suara protes berubah menjadi gelombang besar yang menjurus pada kemarahan massal.
Fenomena terbaru yang kita saksikan, ketika sejumlah pejabat dinonaktifkan bukan karena kesadaran diri untuk mundur, melainkan karena amarah publik sudah menjurus ke arah anarkis, menjadi gambaran nyata.
Padahal, jika saja para pemimpin ini sejak awal tidak tone deaf terhadap suara rakyat—jika saja mereka mau membuka telinga, mendengarkan aspirasi, menerima kritik dengan lapang dada—mungkin emosi publik tidak akan mencapai titik didih.
Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya: kritik diabaikan, pendemo tidak didengarkan tapi malah disuruh menghadapi aparat, seolah-olah suara publik tidak lebih dari gangguan yang harus dibungkam. Alih-alih membuka ruang dialog, para pemegang kekuasaan justru menempatkan rakyatnya sebagai lawan.
Aspirasi yang mestinya dihargai dianggap ancaman, padahal ia lahir dari kekecewaan yang semakin menumpuk.
Dari jalan-jalan kota besar, kita melihat potret yang sama: rakyat berteriak, tetapi telinga pejabat tertutup rapat. Gedung DPR terbuka, tapi anggota dewan memilih WFH. Rakyat berdesakan menuntut keadilan, tetapi jawaban yang hadir hanyalah barisan aparat dengan tameng dan gas air mata.
Inilah wajah paling telanjang dari budaya bebal: menganggap jeritan rakyat sebagai kebisingan sesaat, bukan amanah yang harus segera ditanggapi.
Lihatlah Jepang, di mana tanggung jawab moral seorang pemimpin telah menjadi napas budaya yang melekat selama berabad-abad. Konsep sekinin dan meiyo menjadikan mundur sebagai pilihan alami ketika seorang pemimpin gagal.
Menteri Transportasi Jepang pada tahun 2005 misalnya, melepaskan jabatannya setelah kecelakaan kereta api menewaskan puluhan orang. Ia tidak mengemudikan kereta itu, tetapi sebagai penanggung jawab sektor transportasi, ia merasa kehormatannya menuntut ia mengakui kegagalan dengan cara mundur. Tidak ada unjuk rasa besar-besaran yang memaksanya, tidak ada kemarahan rakyat yang mendorongnya ke pintu keluar. Yang ada hanyalah kesadaran diri: tanggung jawab adalah soal moral, bukan sekadar formalitas jabatan.
Korea Selatan pun menunjukkan wajah serupa, meski dengan tekanan yang lebih modern. Tragedi kapal ferry Sewol tahun 2014 menjadi titik balik penting ketika Perdana Menteri Chung Hong-won mundur, karena dinilai gagal menangani krisis yang menelan ratusan nyawa.
Ia memahami, kata-kata tidak cukup untuk menenangkan keluarga korban. Mundur adalah bahasa empati, cara seorang pemimpin menunjukkan bahwa ia mengakui keterbatasan dan bersedia menanggung akibat dari kegagalannya.
Di belahan Eropa, mekanismenya tidak kalah tegas. Di Jerman, seorang menteri bisa kehilangan jabatan hanya karena terbukti melakukan plagiarisme dalam disertasinya, sesuatu yang mungkin dianggap sepele di negeri ini.
Di Inggris, pejabat yang tersandung skandal kebijakan atau konflik kepentingan tidak akan bertahan lama, karena opini publik, media, dan oposisi politik bekerja bersama menjaga standar akuntabilitas. Di sana, jabatan bukan benteng kekuasaan yang harus dipertahankan mati-matian, melainkan amanah yang sewaktu-waktu bisa dilepaskan demi menjaga kepercayaan masyarakat.
Lalu bagaimana dengan kita?
Di negeri ini, budaya malu kerap berubah menjadi budaya bebal. Para pejabat yang seharusnya bersikap rendah hati justru tampil dengan penuh arogansi, meminta kesempatan berkali-kali meski telah berulang kali mengecewakan rakyat.
Jika pun mundur, biasanya bukan karena kesadaran moral, melainkan karena tidak ada lagi jalan lain untuk bertahan. Mereka dipaksa mundur setelah tekanan publik mencapai puncaknya, sebagaimana yang kini sedang terjadi di Indonesia, ketika demonstrasi meluas karena rakyat jenuh terhadap kelakuan para pejabat yang makin jauh dari nurani.
Budaya pengunduran diri sejatinya adalah cermin kedewasaan bangsa dalam memandang kepemimpinan. Jepang, Korea Selatan, hingga negara-negara Eropa membuktikan bahwa mundur tidak identik dengan kekalahan, melainkan dengan integritas. (*)