Catatan Satire; Rizal Pandiya

- Sekretaris Satupena Lampung


SAYA hampir keselek gorengan pas dengar kabar beberapa anggota DPR dari Nasdem dan PAN dikenai sanksi nonaktif. Kaget setengah nggak percaya. Masak iya sih?

Kemarahan rakyat yang sudah sebegitu rupa hingga mengorbankan beberapa nyawa, Gedung DPRD di beberapa daerah dibakar, rumah anggota dewan yang dirusak lalu isinya dijarah, fasilitas umum pun ikut dibakar. Lalu untuk meredam kemarahan rakyat itu, ketua partai hanya menonaktifkan beberapa anggota dewan.

Tapi rakyat yang dengar kabar ini sudah keburu tepuk tangan, terharu, bahkan ada yang sampai nyicil doa syukuran. “Alhamdulillah, akhirnya anggota dewan yang songong itu dipecat!” begitu kira-kira jeritan hati mereka, sambil menyeka air mata.

Saya kira bakal ada drama serius, ternyata hanya seperti gladiresik yang berakhir antiklimaks dengan ending yang nyaris membuat rakyat tertipu. Tau nggak sih, kalau istilah nonaktif itu nggak ada di Undang-undang MD3? Diksi nonaktif di DPR itu ibarat diet sambil makan nasi Padang gulai tunjang, niatnya bagus, tapi malah nambah kolesterol.

Hukuman atau Cuti Bersama?

Ketua PAN Zulhas dan Ketua NasDem Surya Paloh dengan bangga laporan ke presiden bahwa kadernya dinonaktifkan. Tapi di atas kertas, di meja negara, di kitab Undang-undang MD3, status mereka tetap anggota DPR. Alih-alih kena hukuman, mereka malah tambah asik makan gaji buta, karena hak, gaji, fasilitas, semua masih nempel. Bedanya, mungkin di daftar absensi mereka ditandai lingkaran atau cap stempel “lagi dalam pembinaan”.

Saya jadi curiga, jangan-jangan nonaktif ini cuma istilah lain biar nggak terlalu jahat ke kuping rakyat. Kan nggak enak kalau bahasanya begini, “Kami tidak bisa memberi sanksi lain, jadi ya udah biarin aja mereka tetap digaji.” Lalu muncullah diksi sakti: nonaktif. Terdengarnya tegas dan terkesan ada aspek jera, padahal cuma semacam “cuti bersama sambil istirahat pakai kaos oblong doang!”

Kalau ingin konsisten, ketua partai seharusnya memberi sanksi lain, misalnya nonaktif dari mengoleksi mobil mewah, atau nonaktif dari kebiasaan fleksing. Atau kalau mau keras dikit cabut kartu anggotanya, minimal kerasalah bedanya.

Sanksi Pelipur Lara

Supaya keliatan seperti orang pinter, saya buka Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 jo. UU Nomor 13 Tahun 2019. Nah, di Pasal 239 itu jelas, yang ada cuma PAW (Pergantian Antar Waktu). Kalau anggota DPR salah langkah, mekanismenya adalah: partai mengusulkan ke pimpinan DPR lalu diteruskan ke presiden dan dilanjutkan menandatangani Keppres, dan bye-bye kursi empuk.

Jadi, sebelum dikeluarkan Keppres, status mereka ya… masih anggota DPR sahih, lengkap dengan fasilitas mobil dinas, uang aspirasi, sampai kupon sarapan. Jadi kalau rakyat sudah senang duluan dengan kata “nonaktif”, mohon maaf, itu cuma efek placebo politik. Ibarat minum jamu gendong yang nggak nyembuhin apa-apa, tapi bikin sugesti kalau penyakitnya bakal hilang.

Drama Sesaat dengan Rating Tinggi

Sesuai dengan profesi awal mereka, kasus ini makin mirip sinetron. Aktornya ada Eko Patrio, Uya Kuya, Nafa Urbach, dan pengusaha Ahmad Sahroni. Skenarionya ditulis oleh ketua partai masing-masing, disiarkan lewat jumpa pers, lalu rakyat jadi penonton setia di pos ronda, di café-café, dan di ruang keluarga.

Sanksi nonaktif ini mirip promo iklan, “Jangan lewatkan! Episode terbaru Nonaktif di Senayan, dibintangi selebriti papan atas, tayang terbatas untuk meredam amarah publik selama satu minggu. Setelah itu? Ya balik lagi dong, ke kursi empuknya!”

Menurut para pakar, lebih terhormat kalau mereka mengundurkan diri. Setuju banget. Tapi masalahnya, itu sama saja dengan kehilangan gaji bulanan, tunjangan, fasilitas, kunker ke luar negeri. Mana ada orang waras yang mau resign dari “kantor impian” kayak gitu? Soalnya belum pulang modal!

Jadi wajar saja kalau mereka lebih baik “dinonaktifkan” asal tetap menerima gaji ketimbang mundur. Itu bukan soal etika tapi soal itung-itungan sederhana. Pokoknya, lebih baik pura-pura salah tapi tetap digaji, daripada benar-benar mundur lalu jadi pengangguran.

Kalau memang ingin menjaga marwah DPR, ketua partai seharusnya jangan membuat istilah sok tegas tapi zonk. “Nonaktif” itu ambigu, mendua, taksa, samar, mak jelas! Mirip status tetangga sebelah yang nyinyir liat orang beli kulkas empat pintu. Mending bilang jujur aja, “Kami kasih sanksi tegas, kader tetap digaji tapi jangan banyak gaya dulu.”

Atau begini, “Untuk sementara, mereka diminta tidak selfie di ruang sidang.” Bisa juga dengan kata-kata seperti ini, “Mereka kami hukum dengan larangan update Instagram story dari mobil dinas.” Itu lebih jujur. Setidaknya rakyat bisa tertawa ngakak dan cepet sadar kalau partai cuma main drama.

Kalau dipikir-pikir, sebenarnya rakyat kita juga sudah lebih dulu dinonaktifkan. Nonaktif dari rasa keadilan, nonaktif dari menikmati pajak yang dibayarkan, nonaktif dari harga BBM yang murah. Bedanya, rakyat nggak dapat gaji, malah ditagih bayar pajak sampai 1000 persen.

Jadi kalau ada anggota DPR kena sanksi “nonaktif”, mari kita balas dengan status rakyat juga, “Nonaktif bayar pajak. Nonaktif ikut pemilu kalau cuma jadi tontonan.” Baru adil kan? (*)




 
Top