Oleh: Muhamad Hasan Basri, S.Ag., M.Pd
- Kasi PAPKI Kantor Kemenag Tanggamus
MAULID Nabi Muhammad SAW selalu menjadi perayaan penuh syukur. Shalawat bergema, masjid-masjid dipenuhi jamaah, dan tradisi lokal hidup kembali. Namun di tengah suasana religius itu, kita justru disuguhi pemandangan memprihatinkan: aksi demonstrasi yang berujung pada anarkisme, perusakan, bahkan penjarahan. Ironi yang menyayat, sebab Maulid sejatinya hadir untuk mengingatkan kita pada sosok agung yang diutus demi menyempurnakan akhlak mulia.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak mulia” (HR. al-Baihaqi). Hadis ini menegaskan bahwa misi kerasulan bukan sekadar ritual ibadah, melainkan membangun karakter manusia yang santun, adil, dan beradab. Maka wajar bila kita bertanya, apakah Maulid yang kita rayakan masih menumbuhkan kesadaran moral, ataukah sekadar pesta simbolik yang kehilangan ruh?
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dalam kuliah umumnya di IPB University pernah menegaskan bahwa kecerdasan intelektual saja tidak cukup. “Mahasiswa perlu mengembangkan kreativitas, mental industri, long life dan agile learner, serta yang terpenting adalah tetap menjunjung tinggi moralitas yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila” (Republika, 9 Februari 2022). Pesan ini sejalan dengan misi Maulid: meneladani Nabi tidak hanya di mimbar, tetapi dalam sikap hidup sehari-hari.
Senada dengan itu, Azyumardi Azra menulis bahwa “krisis keadaban publik masih melanda berbagai aspek kehidupan bangsa-negara, mulai dari politik, hukum, hingga ranah agama” (Republika, 10 Februari 2022). Apa yang ia sebut krisis keadaban publik itulah yang kini kita saksikan. Media sosial penuh ujaran kebencian, jalanan dipenuhi amarah, dan ruang publik kehilangan sopan santun. Jika Maulid hanya berhenti pada seremoni, ia tak akan pernah menjawab krisis keadaban ini.
Nurcholish Madjid jauh sebelumnya telah mengingatkan agar Islam hadir sebagai kekuatan moral yang mencerahkan. Dalam bukunya Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Mizan, 1992), ia menekankan bahwa Islam tidak boleh terjebak dalam ritualisme sempit, melainkan harus tampil sebagai ajaran yang inklusif, rasional, dan membangun kehidupan bersama. Peringatan Maulid, dengan demikian, mestinya kita maknai sebagai momentum menghadirkan Islam yang teduh dan membebaskan, bukan yang penuh kemarahan.
Aksi-aksi anarkis yang kerap muncul belakangan ini sesungguhnya adalah alarm bahwa bangsa ini kehilangan orientasi moral. Hukum memang bisa ditegakkan, tetapi tanpa kesadaran akhlak, kekerasan akan terus berulang. Di sinilah Maulid Nabi menjadi penting: ia harus menjadi cermin korektif yang mengingatkan kita pada akhlak Rasulullah. Nabi adalah teladan kesabaran, pengayom umat, dan penebar kasih sayang. Mengikuti beliau berarti menolak segala bentuk kebencian dan perusakan.
Bangsa kita tidak kekurangan perayaan, tetapi sangat kekurangan keteladanan. Maulid seharusnya tak berhenti pada pembacaan shalawat, melainkan menumbuhkan gerakan moral yang nyata. Jika Nabi mampu mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat beradab, maka kita pun bisa menjadikan Maulid sebagai titik balik untuk memperbaiki diri dan negeri.
Di tengah gempuran krisis akhlak publik, Maulid adalah lentera. Lentera yang menyinari jalan kita agar tidak tersesat oleh amarah dan kebencian. Lentera yang mengajarkan bahwa rahmat dan akhlak mulia lebih kuat daripada teriakan dan kekerasan.
Semoga Maulid Nabi SAW tahun ini benar-benar menjadi momentum kebangkitan akhlak bangsa. Semoga kita tak hanya fasih bershalawat, tetapi juga tulus meneladani akhlak beliau dalam keseharian. Dan semoga dari Maulid ini lahir pribadi-pribadi yang sabar, santun, dan penuh kasih sayang—sehingga Indonesia kembali menjadi rumah bersama yang damai dan beradab. (*)