Oleh ReO Fiksiwan
“Kapitalisme dianggap ‘semu’ karena campur tangan pemerintah yang mendominasi lapisan atas perekonomian. Kondisi ini melahirkan pemburu rente di kalangan birokrat pemerintah yang menghambat perkembangan wirausaha, terutama bagi wirausaha pribumi yang kesulitan bersaing dengan pengusaha Tiongkok yang memiliki koneksi kuat dengan pemerintah dan birokrasi.” — Kunio Yoshihara (85), Kapitalisme Semu Asia Tenggara (LP3ES, 1990).
LANGIT Senayan yang berawan pada 8 September 2025 seolah menjadi metafora yang pas untuk menandai berakhirnya satu era fiskal Indonesia.
Sri Mulyani Indrawati (63), sosok yang selama sembilan tahun menjadi bendahara negara di bawah tiga presiden—Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, dan Prabowo Subianto—resmi digantikan oleh Purbaya J Sadewa (61).
Dalam artikel reflektif Denny JA, peralihan ini digambarkan bukan sekadar pergantian jabatan, melainkan transisi dari stabilitas menuju tantangan baru yang menuntut pendekatan berbeda.
Sri Mulyani adalah teknokrat tangguh. Ia menjaga stabilitas makroekonomi saat krisis global 2008, menjadi kapten fiskal saat pandemi Covid-19, dan menekan defisit APBN pascapandemi hingga kembali di bawah 3 persen.
Ia diganjar gelar Best Minister in the World pada 2018, simbol pengakuan dunia atas integritas dan ketegasan fiskalnya. Namun, seperti yang disinggung Denny JA, setiap era memiliki jantungnya sendiri.
Ketegasan yang dulu menyelamatkan negeri kini dianggap terlalu kaku menghadapi tantangan zaman.
Stabilitas fiskal tidak lagi cukup ketika daya beli rakyat melemah dan pertumbuhan ekonomi berjalan lamban.
Di titik inilah muncul Purbaya J. Sadewa, mantan Ketua Dewan Komisioner LPS, yang kini memegang kendali fiskal nasional.
Ia bukan figur baru dalam birokrasi ekonomi, tetapi belum teruji dalam badai fiskal sebesar yang dihadapi pendahulunya.
Tantangannya bukan hanya menjaga APBN tetap optimal, tetapi juga mengembalikan kepercayaan pasar, pelaku usaha, dan rakyat yang mulai jenuh dengan jargon stabilitas tanpa kesejahteraan.
Purbaya harus menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana mengubah arah ekonomi Indonesia agar tidak sekadar bertahan, tetapi benar-benar tumbuh dan merata? Solusi tidak bisa hanya bersandar pada disiplin fiskal.
Kita perlu membaca ulang gagasan besar dari Kishore Mahbubani (77) dalam The New Asian Hemisphere: The Irresistible Shift of Global Power to the East (2008; Terjemahan 2011), yang menekankan bahwa abad ke-21 adalah milik Asia.
Negara-negara Asia telah menyerap praktik terbaik Barat—dari meritokrasi hingga rule of law—dan kini saatnya menciptakan pola baru yang lebih inklusif dan pragmatis.
Indonesia harus berani keluar dari bayang-bayang model ekonomi Barat yang tidak selalu cocok dengan struktur sosial kita.
Kita perlu membangun kemitraan baru, bukan hanya dengan investor asing, tetapi dengan rakyat sendiri sebagai subjek pembangunan.
Di sisi lain, Kunio Yoshihara (85) dalam The Rise of Ersatz Capitalism in South-East Asia (1988) mengingatkan bahwa kapitalisme yang berkembang di Asia Tenggara sering kali semu—didominasi oleh pemburu rente, birokrasi yang tidak efisien, dan ketergantungan pada koneksi politik. Indonesia tidak boleh terjebak dalam kapitalisme semu ini.
Reformasi ekonomi harus menyentuh akar: memperkuat wirausaha lokal, memperbaiki kualitas intervensi pemerintah, dan mengurangi dominasi oligarki yang menghambat inovasi.
Purbaya harus menjadi arsitek ekonomi yang tidak hanya mengatur angka, tetapi juga membongkar struktur yang membuat pertumbuhan ekonomi tidak terasa di meja makan rakyat.
Habis SMI terbitlah PJS bukan sekadar judul transisi, tetapi harapan bahwa era baru fiskal Indonesia akan lebih berani, lebih manusiawi, dan lebih relevan dengan tantangan zaman. Sri Mulyani telah menulis bab penting dalam sejarah ekonomi Indonesia.
Kini, Purbaya harus menulis bab berikutnya—dengan tinta yang tidak hanya berasal dari neraca, tetapi juga dari suara rakyat yang menuntut perubahan nyata.
Jika tidak, maka stabilitas akan menjadi mitos, dan fiskal hanya akan menjadi angka tanpa makna. (*)
*) Merespons artikel Denny JA atas Menkeu yang baru.
#coverlagu: Lagu “The Great Pretender” yang dinyanyikan oleh Freddie Mercury adalah sebuah interpretasi ulang dari lagu klasik milik The Platters yang pertama kali dirilis pada tahun 1955.
Versi Freddie Mercury dirilis pada 1987, sebagai bagian dari proyek solonya di luar Queen, dan menjadi salah satu penampilan paling emosional dalam kariernya. Lagu ini menggambarkan seseorang yang berpura-pura bahagia, menyembunyikan kesedihan dan kesepian di balik senyum dan tawa.