Eka Teresia

Penulis/ Ketua Penyala Literasi Sumbar


MULUT adalah jendela hati, dan kata-kata yang keluar darinya bisa menjadi pedang yang tajam, merobek kepercayaan dan memicu amarah. Kasus AS menjadi cermin betapa kata-kata yang terlontar tanpa kendali bisa berujung pada bencana. Ia, seorang anggota dewan terhormat yang seharusnya menjadi teladan, justru memilih untuk mengumbar kata-kata yang melukai hati rakyat.

Sebagai wakil rakyat, tugasnya adalah menyuarakan aspirasi dan memperjuangkan kesejahteraan. Namun, alih-alih merangkul, Sahroni malah menebar benci. Ia mungkin menganggap remeh kekuatan kata-kata, tidak menyadari bahwa di balik setiap perkataan yang merendahkan, ada hati yang terluka dan kemarahan yang membara.

Rakyat yang selama ini diam dan bersabar, akhirnya bungkam serentak bersama menghakimi AS. Kesabaran yang telah menumpuk sekian lama, seperti bendungan yang akhirnya jebol, meluapkan amarah yang tidak terbendung.

Pepatah lama mengatakan, “Mulutmu harimaumu,” dan AS merasakan kebenaran ungkapan itu secara pahit. Harimau yang ia pelihara, yang tak lain adalah lidahnya sendiri, akhirnya menerkam balik.

Rumahnya dibakar, isinya dijarah. Itu adalah harga yang harus dibayar atas setiap kata-kata yang ia ucapkan. Ini bukan hanya tentang kehilangan harta benda, tetapi juga kehancuran martabat dan kepercayaan yang tidak bisa kembali.

Kasus Sahroni adalah pengingat bagi kita semua, terutama bagi mereka yang memiliki kekuasaan dan pengaruh, bahwa diksi dan etika berkomunikasi sangatlah penting. Kata-kata bisa membangun atau menghancurkan. Pilihlah kata-kata yang membangun jembatan, bukan tembok.

Pilihlah kata-kata yang menenangkan, bukan memprovokasi. Karena pada akhirnya, kehormatan dan keselamatan kita tidak hanya bergantung pada tindakan, tetapi juga pada setiap kata yang kita ucapkan. (*)

Padang, 31 Agustus 2025




 
Top