Oleh: Dr. Ir. TM Zulfikar

- Pemerhati Sosial dan Lingkungan Aceh


SEJARAH Aceh kerap ditulis dengan tinta yang tebal di satu sisi, namun kabur di sisi lainnya. Dalam banyak narasi populer, Uleebalang dicap sebagai “pengkhianat” yang memihak kolonial Belanda melawan ulama dan rakyat Aceh. Namun, apakah benar sesederhana itu? Apakah sejarah boleh direduksi menjadi hitam-putih, tanpa mempertimbangkan kompleksitas sosial, politik dan adat yang mengikat masyarakat Aceh kala itu?

Mitos Pengkhianatan yang Direproduksi

Narasi “pengkhianatan” Uleebalang lahir dari pembacaan sejarah yang menekankan konflik antara ulama dan Uleebalang, khususnya pada masa revolusi sosial di Sumatra Timur dan pergolakan pasca-kemerdekaan. Namun, menyematkan label pengkhianat tanpa konteks sama saja dengan memenjarakan sejarah dalam ruang sempit propaganda.

Padahal, Uleebalang adalah institusi adat yang telah eksis jauh sebelum kolonial datang. Mereka bukan sekadar penguasa lokal, tetapi juga penjaga tatanan sosial, hukum adat, dan kedaulatan wilayah mukim. Relasi mereka dengan ulama pada masa-masa tertentu bukan semata konflik, melainkan kerap bersifat komplementer: ulama memimpin dalam hal agama, sementara Uleebalang menjaga tata kelola sosial dan keamanan rakyat.

Kolaborasi atau Survival Politik?

Benar, ada sebagian Uleebalang yang berhubungan dengan pemerintah kolonial. Namun, apakah semua bentuk hubungan itu dapat dimaknai sebagai pengkhianatan? Dalam konteks kolonialisme, strategi bertahan hidup sering kali memaksa elit lokal menempuh jalan kompromi. Bagi sebagian Uleebalang, kolaborasi bukan sekadar tunduk, tetapi cara untuk menyelamatkan rakyatnya dari kebijakan represif yang lebih keras jika mereka memilih perlawanan terbuka.

Sejarawan Anthony Reid mencatat bahwa banyak perjanjian antara Uleebalang dan Belanda tidak sepenuhnya dijalankan karena di tingkat lokal, Uleebalang tetap menjaga kepentingan mukim mereka. Fakta ini jarang disorot dalam wacana publik, karena tidak sesuai dengan narasi “hitam-putih” yang selama ini menguasai imajinasi sejarah Aceh.

Uleebalang dan Ulama: Relasi yang Berubah

Konflik antara Uleebalang dan ulama di Aceh juga tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial-ekonomi. Revolusi sosial yang meletus di beberapa daerah pasca-kemerdekaan bukan semata perang ideologi, tetapi juga perebutan ruang kuasa yang dipengaruhi perubahan tatanan kolonial. 

Ulama yang sebelumnya lebih fokus pada peran keagamaan mulai memasuki arena politik, sementara sebagian Uleebalang yang melemah akibat kebijakan kolonial kehilangan legitimasi. Persinggungan inilah yang kemudian dipolitisasi hingga melahirkan stigma “pengkhianatan.”

Mendamaikan Sejarah Aceh

Aceh butuh cara pandang baru terhadap sejarahnya sendiri. Uleebalang tidak bisa dihapus dari identitas Aceh hanya karena stigma masa lalu yang tidak sepenuhnya akurat. Mereka adalah bagian dari mozaik sejarah, sama pentingnya dengan peran ulama, pejuang rakyat, dan bangsawan lainnya.

Mendekonstruksi mitos “pengkhianatan” bukan berarti menafikan kesalahan sebagian Uleebalang, tetapi menolak generalisasi yang membutakan. Dalam konteks kini, rekonsiliasi memori sejarah justru penting agar Aceh mampu merangkai kembali jati dirinya secara utuh: sebagai bangsa yang menghormati adat, ulama, dan sejarah tanpa dikungkung narasi sepihak.

Penutup: Saatnya Menulis Ulang

Uleebalang bukan pengkhianat. Mereka adalah bagian dari perjalanan panjang Aceh yang kompleks. Kini, tugas kita adalah menulis ulang sejarah dengan jujur-bukan untuk membela siapa pun, melainkan untuk menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.

Sebab sejarah yang adil tidak menuding, ia memahami. Dan Aceh, lebih dari siapa pun, layak mendapatkan pemahaman itu. (*)






 
Top