Oleh:
Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si

- Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh


KISAH mengenai “pengkhianatan” Uleebalang terhadap ulama dan rakyat Aceh merupakan salah satu babak kelam dalam sejarah Aceh, yang berpuncak pada Revolusi Sosial Aceh atau yang dikenal dengan Peristiwa Cumbok pada tahun 1945-1946. Konflik ini bukanlah peristiwa yang tiba-tiba, melainkan akumulasi dari ketegangan yang sudah berlangsung lama antara dua pilar utama kekuasaan di Aceh: kaum Uleebalang (bangsawan/raja kecil) dan kaum ulama.

Pada masa Kesultanan Aceh, Uleebalang adalah pemimpin-pemimpin daerah yang kekuasaannya diturunkan secara turun-temurun dan diakui oleh sultan. Mereka bertanggung jawab atas pemerintahan lokal, menjadi hakim, dan panglima perang di wilayahnya. Sementara itu, ulama berperan sebagai pemimpin agama dan memiliki pengaruh besar di kalangan rakyat.

Namun, kedatangan Belanda mengubah tatanan ini. Untuk memecah belah kekuatan perlawanan Aceh, Belanda menerapkan strategi adu domba atau devide et impera. Berdasarkan saran dari orientalis Belanda, Snouck Hurgronje, Belanda mendekati kaum Uleebalang.

Tidak semua Uleebalang bersikap sewenang-wenang dan berpihak kepada Belanda. Sejarah mencatat adanya perpecahan di kalangan Uleebalang, di mana sebagian kecil memilih untuk mendukung perjuangan kemerdekaan dan bekerjasama dengan ulama dan rakyat.

Di masa awal kemerdekaan, terutama menjelang Peristiwa Cumbok, kubu Uleebalang tidak sepenuhnya solid. Ada Uleebalang yang mendukung kemerdekaan dan Ulama, namun ada juga yang tetap menolak proklamasi Indonesia dan merindukan kembalinya Belanda.

Salah satu tokoh Uleebalang yang menonjol sebagai pendukung kemerdekaan adalah Teuku Nyak Arif. Meskipun berasal dari kaum bangsawan dan sempat menjabat sebagai Residen Aceh pertama di bawah pemerintahan Republik Indonesia, ia dikenal sebagai tokoh yang berani menentang Belanda dan Jepang.

Ia bahkan memimpin gerakan bawah tanah melawan Belanda sejak tahun 1932 dan menolak tunduk pada kolonial.

Beberapa Uleebalang juga terbukti mendukung perjuangan melawan Belanda. Contohnya adalah Uleebalang yang mendukung perlawanan Cut Nyak Dhien.

Meskipun ada Uleebalang yang pro-kemerdekaan, Revolusi Sosial di Aceh menimbulkan gejolak yang sangat besar.

Sentimen anti-Uleebalang yang kuat di kalangan rakyat dan PUSA membuat banyak Uleebalang dicurigai, bahkan yang mendukung perjuangan kemerdekaan. Teuku Nyak Arif sendiri, meskipun pro-Republik Indonesia, akhirnya ditangkap dan meninggal dalam pengasingan di Takengon karena dianggap masih mewakili kekuasaan feodal yang ingin dilucuti oleh gerakan revolusioner.

Tidak semua Uleebalang berkhianat dan beberapa justru mendukung PUSA dan memerangi Belanda adalah benar. Namun, kompleksitas sejarah dan sentimen yang sudah telanjur berkembang membuat kaum Uleebalang secara keseluruhan tetap menjadi sasaran Revolusi Sosial di Aceh.

Belanda memperkuat posisi Uleebalang dengan memberi mereka kekuasaan yang lebih besar dan status sebagai “raja-raja kecil” di wilayahnya (zelfbestuurder). Banyak Uleebalang yang menandatangani perjanjian dengan Belanda, yang dikenal sebagai Korte Verklaring (Perjanjian Pendek). Perjanjian ini secara efektif menjadikan Uleebalang sebagai sekutu Belanda dan musuh bagi mereka yang melawan Belanda.

Dengan dukungan Belanda, beberapa Uleebalang menjadi sewenang-wenang. Mereka cenderung mengeksploitasi rakyat dan mengumpulkan pajak (wasee) untuk kepentingan pribadi, yang menimbulkan kebencian mendalam dari masyarakat. Kondisi ini membuat rakyat semakin tertindas.

Berdasarkan sumber-sumber sejarah, perebutan senjata Jepang oleh Uleebalang, khususnya di Pidie, menjadi salah satu pemicu utama pecahnya Perang Cumbok. Peristiwa ini menunjukkan adanya ketegangan dan persaingan kekuasaan yang sangat sengit antara kaum Uleebalang dan kaum ulama/laskar rakyat pada masa transisi setelah proklamasi kemerdekaan.

Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, terjadi kekosongan kekuasaan (vacuum of power) di seluruh Indonesia, termasuk di Aceh. Senjata-senjata yang ditinggalkan oleh tentara Jepang menjadi rebutan bagi berbagai pihak.

Di Aceh, ada dua kubu utama yang bersaing untuk menguasai senjata tersebut:

Kaum Ulama dan Laskar Rakyat (PUSA): 

Mereka ingin menguasai senjata Jepang untuk memperkuat Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan mempersenjatai para pejuang kemerdekaan. 

Mereka memandang senjata itu sebagai modal penting untuk mempertahankan kemerdekaan dari kemungkinan kembalinya Belanda.

Kaum Uleebalang (terutama yang dipimpin oleh Teuku Daud Cumbok): 

Mereka juga ingin menguasai senjata untuk membentuk kekuatan bersenjata sendiri. Namun, motivasi mereka dicurigai oleh kaum ulama dan rakyat. Sebagian besar Uleebalang ini tidak percaya pada Republik Indonesia dan cenderung ingin mempertahankan status quo atau bahkan bersekutu kembali dengan Belanda (NICA) yang menjanjikan mereka kekuasaan feodal seperti di masa kolonial.

Di Pidie, konflik ini mencapai puncaknya. Tokoh sentral di pihak Uleebalang adalah Teuku Muhammad Daud Cumbok, seorang Uleebalang dari Mukim Cumbok yang juga pernah menjabat sebagai Gunco Lamlo (pemimpin distrik) pada masa pendudukan Jepang. Di wilayah kekuasaannya, Lamlo, terdapat gudang senjata Jepang (yasin soko) dan penjara peninggalan Belanda yang menjadi aset strategis.

Pada awal Desember 1945, Teuku Daud Cumbok memimpin pasukannya untuk menguasai gudang senjata Jepang di Sigli. Mereka berencana mendahului TKR dan laskar rakyat yang juga memiliki rencana serupa. Tindakan ini memicu ketegangan dan bentrokan bersenjata. 2 Desember 1945: Pasukan Uleebalang yang dipimpin Daud Cumbok mengepung Kota Sigli dengan tujuan melucuti senjata Jepang.

4 Desember 1945: Bentrokan bersenjata antara pasukan Uleebalang dan laskar rakyat/TKR pecah. Suasana di Sigli mencekam. Komandan TKR dari Banda Aceh, Syamaun Gaharu, tiba untuk meredakan ketegangan, tetapi pertempuran sudah tidak terhindarkan.

Ketegangan ini adalah cikal bakal dari Perang Cumbok. Uleebalang kemudian membentuk laskar baru yang terstruktur bernama Barisan Penjaga Keamanan (BPK) sebagai tandingan dari laskar rakyat yang setia pada Republik.

Selain di Pidie, perebutan senjata Jepang juga terjadi di berbagai daerah lain di Aceh. Secara umum, pola yang terjadi mirip. Laskar rakyat dan TKR berupaya melucuti dan menguasai senjata Jepang untuk tujuan kemerdekaan.

Beberapa Uleebalang yang pro-Republik juga ikut serta, seperti yang dilakukan oleh Teuku Nyak Arif di Banda Aceh. Teuku Nyak Arif, yang saat itu menjabat sebagai Residen Aceh, memimpin usaha diplomasi dan juga tekanan kepada Jepang agar menyerahkan kekuasaan dan persenjataan kepada pihak Indonesia, bukan kepada Sekutu.

Namun, di banyak tempat, kaum Uleebalang feodal berupaya untuk menguasai senjata demi kepentingan pribadi atau kelompok mereka, yang kemudian menjadi alasan kuat bagi pecahnya Revolusi Sosial.

Singkatnya, perebutan senjata Jepang di Aceh bukan sekadar tindakan militer, melainkan sebuah pertarungan politik dan ideologi antara dua kubu yang berbeda: Uleebalang yang ingin mempertahankan sistem feodal yang didukung kolonial, dan kaum ulama/rakyat yang ingin mendirikan negara Republik Indonesia yang merdeka.

Di Pidie, tindakan Uleebalang pimpinan Teuku Daud Cumbok untuk merebut senjata Jepang menjadi titik nyala yang memicu konflik besar yang menumbangkan kekuasaan feodal di Aceh.

Revolusi Sosial dan Peristiwa Cumbok

Pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia, ketegangan antara Uleebalang dan ulama mencapai puncaknya. Kaum ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) menyambut proklamasi kemerdekaan dengan antusias. Mereka mendukung penuh Republik Indonesia.

Sebaliknya, sebagian Uleebalang ragu-ragu dan bahkan ada yang menolak kemerdekaan. Mereka cenderung ingin mempertahankan status quo atau bahkan bersekutu kembali dengan Belanda, yang membuat PUSA menaruh curiga. Sebagian Uleebalang bahkan membentuk “Panitia Penyambutan” untuk menyambut kembalinya Belanda ke Aceh.

Kondisi ini memicu pecahnya Revolusi Sosial Aceh atau Perang Cumbok yang berpusat di Kabupaten Pidie pada akhir tahun 1945 hingga awal 1946. Konflik bersenjata antara laskar rakyat (PUSA) dan pasukan Uleebalang tidak terhindarkan. Pertempuran ini menewaskan banyak korban dari kedua belah pihak.

Dampak dan Akhir Kekuasaan Uleebalang

Revolusi sosial ini berujung pada kemenangan kaum ulama dan laskar rakyat. Kekuasaan Uleebalang di banyak wilayah Aceh runtuh dan lembaga keuleebalangan dihapuskan. Para pemimpin Uleebalang yang dianggap pengkhianat ditangkap dan beberapa dieksekusi, seperti Teuku Daud Cumbok yang menjadi simbol perlawanan Uleebalang.

Peristiwa ini secara drastis mengubah struktur sosial dan politik di Aceh. Kekuasaan politik sepenuhnya beralih ke tangan ulama yang kemudian memegang kendali revolusi kemerdekaan di Aceh, dipimpin oleh tokoh seperti Teungku Muhammad Daud Beureueh.

Meskipun peristiwa Cumbok sering disebut sebagai “perang Aceh bunuh Aceh,” konflik ini pada dasarnya adalah perlawanan rakyat terhadap sistem feodal yang didukung oleh kolonialisme Belanda. Peristiwa ini menjadi salah satu penentu jalan sejarah Aceh selanjutnya dan memperkuat posisi ulama sebagai pemimpin utama masyarakat Aceh.***

Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si adalah seorang akademisi dan peneliti yang memiliki keahlian di bidang antropologi, dengan fokus utama pada antropologi politik dan agama. Beliau saat ini aktif sebagai dosen di Universitas Malikussaleh, yang berlokasi di Lhokseumawe, Aceh.

Selain mengajar, Dr. Al Chaidar juga aktif melakukan penelitian dan seringkali diundang sebagai narasumber atau pengamat untuk berbagai isu sosial, politik, dan keagamaan, terutama yang berkaitan dengan konteks Aceh dan Indonesia secara luas. Kontribusinya dalam pengembangan ilmu antropologi dan pemahaman isu-isu kontemporer di Indonesia sangat signifikan melalui karya-karya ilmiah dan keterlibatannya dalam diskusi publik.



 
Top