PADANGPARIAMAN, SUMBAR — Tiga pejabat di lingkungan Pengadilan Negeri (PN) Padang Pariaman, Sumatera Barat (Sumbar) dijatuhi sanksi disiplin berat oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sanksi tersebut diduga berkaitan dengan dugaan pelanggaran serius dalam proses pembayaran ganti rugi konsinyasi lahan proyek jalan tol Padang–Pekanbaru.
Dalam surat resmi yang diterbitkan oleh Badan Pengawasan (Bawas) Mahkamah Agung (MA) RI tertanggal 29 Juli 2025, Ketua PN Padang Pariaman berinisial DK, SH, MH dijatuhi sanksi penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama satu tahun. Ia dinyatakan melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana tertuang dalam keputusan bersama MA dan Komisi Yudisial RI.
Selain DK, dua pejabat lainnya turut dijatuhi sanksi. Panitera PN Padang Pariaman berinisial H, SH mendapat hukuman penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama dua belas bulan karena melanggar ketentuan dalam Keputusan MA Nomor 12/KMA/SK/VII/2013 dan Peraturan Pemerintah tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Adapun Juru Sita berinisial S, SH dikenakan sanksi penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama satu tahun, ditambah pemotongan tunjangan kinerja hingga 90 persen per bulan selama masa hukuman.
Sumber terpercaya di Padang mengungkapkan bahwa hasil pemeriksaan telah melalui disposisi Ketua MA RI pada 11 Juli 2025 dan Ketua Kamar Pengawasan MA pada 14 Juli 2025. Ketiganya juga telah mendapat tindak lanjut dari Plt Kepala Badan Pengawasan MA kepada Dirjen Badan Peradilan Umum pada 22 Juli 2025 melalui surat-surat resmi bernomor 3040, 3041 dan 3043/BP/KP.8.2/VII/2025.
Kasus ini menyeruak setelah seorang warga Kota Padang, Asril Hasan, yang juga mantan Ketua Forum Komunikasi Dermawan Daerah (FOKUSWANDA) Sumbar dan Ketua LKAAM Kecamatan Padang Barat, menyampaikan protes keras atas dugaan penyelewengan proses pembayaran ganti rugi lahan miliknya. Ia menyebutkan bahwa tanah milik keluarganya di Kabupaten Padang Pariaman yang telah bersertifikat hak milik atas nama dirinya dan dua saudara kandungnya, telah dicairkan oleh PN Padang Pariaman ke pihak yang tidak sah.
Menurut Asril, pembayaran uang ganti rugi senilai lebih dari Rp10 miliar yang seharusnya diterima ahli waris sah justru diberikan kepada seorang pengacara hanya berdasarkan surat keterangan tanggal 9 Desember 2020 dan surat kuasa tanggal 1 Oktober 2024 yang tidak ditandatangani oleh seluruh ahli waris. Bahkan, hingga kini uang tersebut tidak pernah diserahkan kepada dirinya sebagai salah satu pemilik sah tanah tersebut.
“Saya dan saudara-saudara saya adalah pemilik sah yang tercantum dalam Sertifikat Hak Milik yang terdaftar di BPN Padang Pariaman sejak tahun 2010. Tapi uang konsinyasi itu malah diserahkan ke pengacara tanpa dasar hukum yang lengkap dan jelas,” ungkap Asril Hasan kepada awak media di Padang, Minggu (3/8/2025). Ia menambahkan bahwa surat jawaban dari PN Padang Pariaman atas keberatannya baru diterima satu bulan lebih setelah tanggal surat, tanpa penjelasan detail mengenai jumlah uang yang diserahkan.
Asril menilai tindakan para pejabat PN Padang Pariaman tidak hanya melanggar etik dan administrasi, tetapi juga mengarah pada tindak pidana. Ia mendesak Mahkamah Agung RI untuk tidak berhenti pada pemberian sanksi administratif, tetapi juga mendorong penegakan hukum yang lebih tegas terhadap para oknum yang terlibat.
“Saya berharap Mahkamah Agung tidak hanya berhenti pada penurunan pangkat dan pemotongan tunjangan, tapi juga harus membawa kasus ini ke ranah pidana. Ada indikasi kuat kolusi, korupsi, nepotisme, dan pelanggaran administrasi berat yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum,” tegasnya.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena mencerminkan carut-marutnya sistem pengawasan di lembaga peradilan, khususnya dalam proses konsinyasi proyek strategis nasional. Masyarakat kini menanti langkah tegas dari Mahkamah Agung RI untuk menjamin keadilan dan transparansi dalam setiap proses hukum yang melibatkan aparatur peradilan.
#rel/gpc/bin