Oleh ReO Fiksiwan
“Satu-satunya kebebasan yang layak disebut kebebasan adalah kebebasan untuk mengejar kebaikan kita sendiri dengan cara kita sendiri, selama kita tidak mencoba merampas hak orang lain atau menghalangi upaya mereka untuk mendapatkannya.“ — John Stuart Mill (1806-1873), On Liberty (1859).
DI TENGAH gelombang demonstrasi yang mengguncang pagar parlemen, tiga nama legislator mencuat bukan karena gagasan, melainkan karena gestur: Sahroni, Uya, dan Eko (SUE?*)
Mereka bukan sekadar legislator, tapi juga simbol dari apa yang disebut Giorgio Agamben (83) sebagai homo sacer—manusia yang secara hukum hidup, tapi secara politik telah ditanggalkan dari martabatnya.
Mereka menari di atas penderitaan, mengolok keresahan, dan menyebut suara publik sebagai “tolol sedunia”.
Di negeri yang dibangun dari pajak rakyat, mereka menari di atas ganimah yang disamarkan sebagai tunjangan.
Ahmad Sahroni (48), sang sultan Tanjung Priok, lebih dikenal lewat kolektor jam tangan dan mobil mewah daripada legislator yang berpihak.
Ketika rumahnya digeruduk massa, bukan karena rakyat iri, tapi karena rakyat muak.
Uya Kuya (50), selebritas penghipnotis, menyebut gaji Rp3.000.000 per hari sebagai “tidak besar”, seolah rakyat yang hidup dengan Rp50.000 sehari adalah ilusi yang bisa dihapus dengan sugesti.
Eko Patrio (54), komedian layar kaca, memilih berjoget di tengah Sidang Tahunan MPR, menjadikan parlemen sebagai panggung hiburan, bukan ruang etika.
Mereka adalah manifestasi dari hamartia yang ditulis Martha Nussbaum (78) dalam Fragility of Goodness (1986)—cacat karakter yang muncul bukan dari kebodohan, tapi dari keberlimpahan.
Ketika kekayaan materi menjadi tameng dari rasa malu, maka kepekaan pun runtuh.
Etika publik ala Aristoteles, dalam Etika Nikomakea, mengatakan bahwa kebajikan (arete) bukan sekadar tindakan (praxis), tapi disposisi jiwa (hexis) yang terlatih.
Dalam On Liberty (YOI,1996), John Stuart Mill, Anggota Parlemen Inggris 1865-1868, mengungkap bahwa kebebasan individu, berbicara dan prinsip “harm“, harus diimbangi dengan tanggung jawab moral terhadap akibatnya serta dibarengi pentingnya akuntabilitas terhadap rakyat.
Tapi, trio SUE ini memilih sarkasme daripada refleksi, memilih panggung daripada pertanggungjawaban.
Foucault akan menyebut mereka sebagai agen biopolitik, di mana tubuh rakyat diatur, dikontrol, dan dijadikan objek pengawasan, sementara tubuh legislator bebas menari di ruang kekuasaan.
Gramsci pun akan menyebut mereka sebagai bagian dari hegemoni budaya, di mana dominasi tidak lagi hadir dalam bentuk represi, tapi dalam bentuk candaan yang menormalisasi ketimpangan.
Ketika joget menjadi respons atas penderitaan, maka kita sedang menyaksikan tragedi yang dikemas dalam komedi.
Trio ini bukan sekadar individu, mereka adalah cermin dari sistem yang telah kehilangan rasa.
Diacu dari The Sense of Beauty (1896), George Santayana, yang menulis bahwa keindahan sejati lahir dari kepekaan terhadap harmoni. Ia menyebut sebagai “objectified pleasure.“
Tapi harmoni tak mungkin lahir dari legislator yang menari di atas luka.
Dalam Sense and Sensibility (Akal Budi dan Kepekaan, Gramedia, 2022), Jane Austen menunjukkan bahwa nalar dan perasaan harus berjalan beriringan.
Tapi di Senayan, yang berjalan hanya nalar kalkulatif, tanpa perasaan. Apalagi, kepekaan?
Runtuhnya kepekaan, the frigile of sensibility, bukan sekadar soal moral belaka, tapi soal ontologi politik.
Ketika wakil rakyat — kata yang sudah aus dari substansinya — tak lagi merasa terwakili oleh rakyat, maka demokrasi berubah menjadi teater kekonyolan.
Dan dalam teater itu, Sahroni, Uya, dan Eko, Sang SUE, adalah aktor utama yang lupa bahwa panggung mereka dibangun dari keringat dan suara rakyat.
Mereka lupa bahwa setiap Pemilu bukan sekadar angka-angka suara yang diraih, tapi amanah yang harus ditunai.
Tapi, ketika amanah itu ditari-tarikan, maka rakyat berhak marah.
Bukan karena mereka tolol, tapi karena mereka tahu, bahwa keadilan bukan soal gaji, tapi soal rasa, kepekaan atas keadilan!
*Akronim dialih ke bahasa Jawa “sue” (suwe) seperti kalimat:
“Suwe tenan aku ngenteni kowe.”
Artinya: Lama sekali aku menunggumu. (*)
#coverlagu: Final Countdown by Europe(1986). Lagu ini mengusung tema perpisahan dan petualangan besar sebagai metafora tentang perubahan besar dalam hidup, atau bahkan tentang cinta yang penuh risiko dan ketidakpastian. ,(**)