Oleh: Nurul Jannah


“Pulang ke Kotamu….”


MALAM itu, Malioboro menjelma menjadi lorong waktu, menguak lembaran kenangan yang lama terlipat. Di bawah gemerlap lampu jalan yang temaram, aku melangkah bertiga bersama Mbak Rini dan Mbak Yani, menyusuri denyut nadi Jogja yang tak pernah benar-benar tidur.

“Pulang ke kotamu…Ada setangkup haru dalam rindu…”

Lagu KLa Project mengalun dari pengeras suara lesehan, lirih namun menghunjam dada. Lagu itu tak pernah gagal mengoyak rasa. Ia hadir seperti mantra. Dada ini meremang. Tak peduli berapa kali kita ke Jogja, rindu itu selalu menyapa.

Kami saling memandang. Tak perlu kata-kata. Karena Jogja, sejak dulu, lebih pandai berbicara lewat rasa.

“Bu… ini Jogja atau surga kecil yang Tuhan titipkan di bumi?” celetuk Mbak Rini.

Trotoar yang Berbisik Kenangan

Trotoar Malioboro malam itu penuh sesak, tapi justru memeluk semua yang hadir. Tukang lukis, angkringan, penjual gelang janur, dan gelak riuh pengunjung berkejaran di antara lautan manusia. Semua lebur dalam harmoni, dalam napas yang sama. Harmoni yang hanya Jogja yang mampu menciptakannya.

Di tengah hiruk-pikuk itu, suara pengamen tua kembali mengiris malam:

“Terhanyut aku akan nostalgi... Saat kita sering luangkan waktu…Nikmati bersama suasana Jogja…”

Seolah takdir Jogja memang ditulis untuk mereka yang merindukan pulang, meski tak pernah sepenuhnya bisa memilikinya.

Setangkup Haru di Malioboro

Di lesehan sederhana, kami duduk bersila, meneguk wedang ronde yang menghangatkan tubuh, namun tak mampu mengusir dinginnya rasa enggan berpisah.

“Bu, dua malam ini rasanya kayak mimpi”

“Besok kita pulang, tapi kenapa hati saya kayak nggak mau diajak pulang?”, gumam Mbak Yani.

Aku tersenyum, meraba perasaan yang sama.

Malam makin larut. Tapi Jogja tidak menunjukkan tanda-tanda lelah.

Lampu-lampu klasik jalanan tetap menyala, tukang becak tetap setia menunggu penumpang, dan malam itu langit Jogja seperti memeluk erat, mengunci langkah kami agar tidak segera pergi.

Dejavu di Titik Nol

Langkah kami terhenti di Titik Nol Kilometer: tempat di mana setiap perjalanan dimulai dan diakhiri. Kami berdiri diam, memandang jalanan luas yang seolah mengucap, “Sampai jumpa lagi.”

Aku menarik napas panjang, membiarkan aroma Jogja menyesap sampai ke dasar dada, mengikat rindu agar tak lekas usai.

“Kita nggak pernah benar-benar meninggalkan Jogja. Dia ikut pulang di hati, diam-diam, tanpa permisi.”

Dada ini bergetar, tepat saat suara pengamen kembali mengoyak malam: suara yang bukan hanya melodi, tapi sabetan pelan yang menghunjam di relung rindu.

“Walau kini kau telah tiada, tak kembali, Namun kotamu hadirkan senyummu abadi. Ijinkanlah aku untuk selalu pulang lagi, Bila hati mulai sepi tanpa terobati…”

Air mata nyaris tumpah. Ini bukan rindu yang ringan. Ini rindu yang sengaja disimpan, agar punya alasan untuk kembali.

Romansa yang Tak Pernah Usai

Sebelum kembali ke hotel, kami berhenti di bawah lampu jalan, membiarkan Malioboro memeluk kami, sekali lagi, tanpa banyak bicara.

Aku mendongak, menatap langit Jogja yang malam itu menggantung bulan sabit pucat; tak mewah, tapi manis, persis seperti rinduku.

“Jogja memang nggak pernah menolak siapa pun yang datang, apalagi yang membawa rindu,”

Dua malam. Hanya dua malam. Tapi Jogja mencuri seumur hidup kenangan. Ia tak menawarkan kemewahan, tapi menawarkan pulang.

Dan aku tahu, meski besok kaki ini menjejak kota lain, sepotong hati ini sengaja ditinggalkan di sudut Malioboro. Karena Jogja bukan kota yang selesai dalam sekali singgah. Jogja adalah rindu yang tak pernah tamat.

Dan di sana, di bawah langit Jogja yang diam-diam ikut mendengar, suara pengamen kembali menghantam dada: 

“Di persimpangan langkahku terhenti, Ramai kaki lima, Menjajakan sajian khas berselera…”

Aku terdiam. Membiarkan rasa yang tak terbendung: tak peduli seberapa jauh pun kaki melangkah, Jogja akan selalu menjadi rumah bagi siapa saja yang pernah menitipkan rindunya di sana. (*)


Bogor, 6 Agustus 2025 



 
Top