Oleh ReO Fiksiwan


“Berdaulat adalah dia yang memutuskan dalam keadaan luar biasa.” — Carl Schmitt (1888-1985), Political Theology: Four Chapters on the Concept of Sovereignty (Edisi Inggris, 1985).


MUNDURNYA Rahayu Saraswati Dhirakanya Djojohadikusumo (39) dari kursi DPR RI sebagai anggota DPR RI dan Wakil Ketua Komisi VII pada 10 September 2025, bukan sekadar peristiwa politik biasa.

Keputusan mundur ini ia ambil setelah potongan ucapannya dalam sebuah podcast menjadi viral dan dianggap menyinggung masyarakat, terutama terkait isu ketenagakerjaan dan peran pemerintah.

Ia menyatakan bahwa ucapannya telah menyakiti hati banyak pihak dan memilih untuk mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab moral.

Ia adalah momen reflektif yang membuka ruang bagi pembacaan ulang tentang relasi antara kekuasaan, etika dan konstruksi identitas politik di Indonesia.

Sebagai putri Hasyim Djojohadikusumo dan keponakan Presiden Prabowo Subianto, posisi Saraswati tidak hanya strategis secara struktural, tetapi juga simbolik.

Ia mewakili generasi baru dari dinasti politik yang telah lama berakar dalam lanskap kekuasaan nasional.

Namun, justru dari titik simbolik itulah ia memilih untuk mundur, dengan alasan yang tak lazim: tekanan dari netizen.

Dalam kerangka pemikiran Carl Schmitt, politik adalah soal keputusan dalam kondisi pengecualian.

Politik bukanlah arena konsensus, melainkan medan konflik yang menuntut penegasan siapa kawan dan siapa lawan.

Mundurnya Saraswati dapat dibaca sebagai bentuk pengecualian terhadap logika kekuasaan yang biasanya bertahan dan melawan. Ia tidak memilih untuk mempertahankan posisi, melainkan menarik diri dari arena, seolah menolak untuk menjadi bagian dari antagonisme yang dibentuk oleh opini publik digital.

Dalam dunia Schmittian, tindakan mundur ini bukan kelemahan, melainkan keputusan politik yang radikal: menolak untuk bermain dalam logika musuh dan kawan yang dibentuk oleh algoritma dan sentimen viral.

Namun, jika kita geser lensa ke arah Ben Anderson dan antropologi politik Indonesia, terutama dalam Language and Power: Exploring Political Culture in Indonesia (1990; Terjemahan, 2000), maka kemunduran Saraswati menjadi lebih kompleks.

Anderson menunjukkan bahwa kekuasaan di Indonesia tidak hanya dijalankan melalui institusi, tetapi juga melalui simbol, bahasa, dan narasi.

Dalam konteks ini, tekanan netizen bukan sekadar suara publik, tetapi bentuk baru dari kekuasaan simbolik yang mampu mendefinisikan legitimasi.

Saraswati, sebagai figur perempuan muda dari keluarga elite, menjadi objek narasi yang tak sepenuhnya ia kontrol.

Bahasa digital yang membentuk persepsi publik terhadapnya adalah kekuatan yang tak kasat mata, namun sangat menentukan.

Dalam dunia Andersonian, mundur bukan hanya tindakan politik, tetapi juga bentuk pengakuan atas kekuatan bahasa dan narasi yang telah membentuk ruang politik baru.

Kemunduran Saraswati juga membuka pertanyaan tentang etika politik dalam era digital.

Apakah seorang politisi harus tunduk pada tekanan opini publik, atau justru bertahan demi prinsip dan mandat konstitusional?

Di sinilah paradoks muncul: etika politik klasik menuntut keteguhan, tetapi etika politik kontemporer menuntut kepekaan terhadap suara publik yang cair dan tak terstruktur.

Saraswati memilih jalan yang tidak populer dalam logika kekuasaan, tetapi mungkin justru etis dalam logika representasi publik.

Dalam lanskap politik Indonesia yang semakin dipengaruhi oleh performativitas media sosial, tindakan mundur menjadi bentuk baru dari komunikasi politik.

Ia bukan lagi sekadar pengunduran diri administratif, tetapi pernyataan eksistensial: bahwa politik bukan hanya soal bertahan, tetapi juga soal tahu kapan harus pergi.

Saraswati telah menunjukkan bahwa dalam dunia yang makin dikendalikan oleh bahasa, citra, dan persepsi, kekuasaan tidak lagi mutlak, dan mundur bisa menjadi bentuk tertinggi dari kontrol diri dan kesadaran politik.

Di tengah arus politik yang sering kali mengabaikan refleksi, keputusan Saraswati menjadi ruang kontemplatif yang langka.

Ia mengingatkan kita bahwa politik bukan hanya soal menang dan kalah, tetapi juga soal integritas, narasi, dan keberanian untuk keluar dari panggung ketika suara yang terdengar bukan lagi milik kita.

Dalam dunia yang dibentuk oleh kekuasaan simbolik dan tekanan digital, politik mundur bukanlah akhir, melainkan awal dari cara baru memahami kekuasaan. (*)

coverlagu: Lagu “Surat Buat Wakil Rakyat” yang sering disebut sebagai “Wakil Rakyat” adalah karya legendaris Iwan Fals (64) yang dirilis pada tahun 1987.




 
Top