Drs. Makmur, M.Ag

- Kepala Kantor Kemenag Kota Bandar Lampung


SUATU sore yang tenang, anak Umar bin Khattab pulang ke rumah dengan mata sembab dan wajah murung. Air matanya masih mengalir, suaranya terisak di sela-sela napas yang berat. Bukan keceriaan permainan yang ia bawa, melainkan luka hati karena bully dan ejekan teman-temannya.

Baju lusuh yang melekat di tubuhnya, penuh tambalan di sana-sini, menjadi bahan olok-olok. Dengan polos dan suara lirih ia berkata, “Wahai Ayah, belikan aku baju baru yang bagus, agar teman-teman tidak lagi mengejekku.”

Umar terdiam. Hatinya seakan teriris. Ia adalah Amirul Mukminin, pemimpin seluruh kaum Muslimin, orang yang disegani hingga ke pelosok negeri. Namun betapa berat rasanya saat itu, sekadar membelikan baju baru untuk putranya. Dalam hati ia bergumam, “Apakah aku tidak mampu membahagiakan anakku dengan sesuatu yang sederhana seperti baju?”

Setelah merenung panjang, Umar menulis sepucuk surat kepada bendahara negara. Dalam surat itu ia meminta pinjaman empat dirham, dengan janji akan dipotong dari gajinya bulan depan. Surat itu dikirim dengan penuh harap, agar anaknya bisa tersenyum kembali.

Tak lama, datanglah balasan dari bendahara. Dengan penuh hormat ia menulis, “Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau yakin umurmu akan sampai bulan depan untuk melunasi utang itu? Apakah engkau benar-benar pasti masih hidup untuk membayarnya?”

Membaca balasan itu, Umar tidak tersinggung. Sebaliknya, air matanya jatuh deras. Ia disadarkan pada kebenaran yang sangat dalam: hidup ini fana, dan tidak ada seorang pun yang bisa menjamin esok hari. Umar menangis bukan karena tak bisa memenuhi keinginan anaknya, tetapi karena ia diingatkan bahwa dunia hanyalah sementara, sedangkan yang kekal adalah amal dan keikhlasan.

Dengan suara lembut penuh kasih, Umar menatap anaknya seraya berkata: “Wahai anakku, pakailah bajumu itu dengan penuh rasa syukur. Jangan biarkan ejekan orang lain merendahkan harga dirimu. Sesungguhnya yang membuatmu berharga bukanlah pakaian indah, melainkan akhlak dan hati yang mulia.”

Anak itu pun terdiam, lalu mengangguk. Dari ayahnya, ia belajar bahwa kebahagiaan tidak ditentukan oleh penampilan luar, melainkan oleh kekuatan hati dalam menerima takdir dengan sabar.

Kisah Umar bin Khattab bersama anaknya ini memberi pelajaran berharga yang tetap relevan hingga sekarang. Ya Pelajaran tentang gaya hidup yang sederhana. Di tengah dunia yang semakin menilai manusia dari penampilan luar, Umar mengingatkan bahwa harga diri sejati tidak pernah ditentukan oleh baju baru atau harta melimpah, melainkan oleh hati dan akhlak.

Bukankah hari ini kita sering menjumpai anak-anak atau bahkan orang dewasa yang minder hanya karena tidak memakai baju bermerek, tidak memiliki ponsel terbaru, atau tidak mampu mengikuti tren gaya hidup? 

Berapa banyak remaja yang merasa rendah diri karena tidak punya sepatu keluaran terbaru, lalu menjadi bahan ejekan teman-temannya? 

Bahkan ada orang tua yang rela berhutang hanya demi membeli barang bermerek agar anaknya tidak merasa malu di hadapan teman-temannya.

Padahal, sebagaimana diajarkan Umar, harga diri tidak diukur dari semua itu. Pakaian indah hanyalah bungkus luar. Yang membuat seseorang mulia adalah akhlaknya. Rasulullah menegaskan, “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kalian dan tidak pula harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim).

Kesederhanaan bukanlah kekurangan, tetapi kemuliaan. Justru orang yang mampu menerima dirinya apa adanya akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat dan berlapang dada. Sebaliknya, orang yang terus-menerus mengejar gengsi dan kemewahan sering kali terjebak dalam hidup yang penuh tekanan. Hidupnya habis untuk mencari pengakuan manusia, padahal pengakuan Allah jauh lebih utama.

Kita pun diingatkan, hidup ini sangat singkat dan tidak ada yang pasti. Balasan bendahara kepada Umar seakan menjadi tamparan: “Apakah engkau yakin umurmu sampai bulan depan untuk melunasi utang itu?” Pesan ini amat penting untuk kita renungkan. Jangan sampai kita sibuk mengejar sesuatu yang fana, sementara amal baik yang kekal justru terabaikan. Allah berfirman: “Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui apa yang akan diusahakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati.” (QS. Luqman: 34).

Lebih jauh, kisah ini mengajarkan pentingnya mendidik anak agar tidak silau dengan dunia. Di era media sosial, banyak anak yang tumbuh dengan rasa minder karena melihat kehidupan orang lain yang tampak lebih indah di layar ponsel. Padahal, sering kali itu hanyalah ilusi.

Inilah saatnya orang tua menanamkan nilai kesyukuran, agar anak-anak tidak mengukur kebahagiaan dari apa yang dipakai atau ditampilkan, tetapi dari ketenangan hati dan keimanan. Rasulullah mengingatkan, “Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripada kalian (dalam hal dunia), dan jangan melihat kepada yang lebih tinggi, karena hal itu lebih patut agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Muslim).

Akhirnya, Umar bin Khattab mengajarkan kepada kita bahwa kebahagiaan sejati tidak lahir dari baju baru, gawai terbaru, atau rumah megah. Kebahagiaan sejati lahir dari hati yang penuh syukur, iman yang kokoh, dan akhlak yang terjaga. Kesederhanaan adalah kemuliaan, syukur adalah kunci kebahagiaan, dan iman adalah pakaian paling indah yang bisa dikenakan seorang mukmin. (*)

Wallāhu a‘lam




Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama
 
Top