Abd Rahman Hamid

-- Sejarawan UIN Raden Intan Lampung


INSIDEN 28 Agustus 2025 di Jakarta pusat yang menewaskan seorang pengemudi ojek online (Ojol), Affan Kurniawan, menjadi pemicu ledakan emosi massa di Tanah Air dalam dua hari terakhir. Insiden ini memicu tindakan anarkis terhadap berbagai fasilitas pemerintah.

Sebagai respons, muncul reaksi dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, yang menyatakan keprihatinan mendalam sekaligus mengutuk keras tindakan pelakunya.

Opini publik pun berkembang, menunut agar onkum dan institusinya bertanggung atas insiden tersebut. Hal ini kemudian berujung pada tindakan anarkis terhadap kantor-kantor kepolisian di sejumlah daerah.

Namun, perlu dicatat bahwa oknum aparat keamanan yang terlibat tidak bertindak atas nama atau inisiatif pribadi. Mereka menjalankan instruksi pimpinan dalam rangka menjaga stabilitas keamanan di tengah aksi demonstrasi massa.

Andaikan Affan Kurniawan mengetahui bahwa dirinya akan tertimpa insiden tragis saat melintas di kawasan itu, tentu ia akan menghindarinya. Begitu pula aparat keamanan, jika menyadari bahwa mobil yang dikendarainya berpotensi melindas seorang warga, tentu mereka tidak akan melaju atau akan segera berhenti untuk mencegah terjadinya insiden tersebut.

Baik Affan maupun oknum aparat keamanan pada dasarnya hanyalah korban dari situasi tidak kondusif yang melanda tanah air belakangan ini akibat serangkaian kebijakan dan kejadian yang menyayat hati rakyat.

Beberapa di antaranya adalah kenaikan pajak, kebijakan pemblokiran rekening nasabah yang tidak aktif selama tiga bulan, rencana kenaikan gaji anggota DPR, aksi joget-joget di kantor lembaga terhormat perwakilan rakyat, penggemukan kabinet, hingga pernyataan yang menyebut guru sebagai beban negara. Semua kebijakan dan tindakan tersebut terkait erat dengan sumber pendapatan negara yang diperoleh dari rakyat melalui pajak.

Namun dalam praktiknya rakyat sering diposisikan seolah-olah sebagai penerima bantuan dari negara melalui berbagai saluran yang dikelola oleh pemerintah. Cara pandang ini mengabaikan fakta bahwa negara justeru mengelola anggaran yang bersumber dari rakyat, terutama melalui pajak yang mereka bayarkan.

Pajak dan Perlawanan Rakyat

Rupanya, perhatian kita selama ini terlalu terpusat pada kondisi kekinian dan masa depan bangsa, sehingga melupakan pengalaman sejarah. Dalam sejarah Indonesia, pajak tidak hanya menjadi sumber pemasukan negara, tetapi juga menjadi saluran lahirnya penderitaan rakyat pada masa penjajahan.

Negara kolonial melakukan segala cara untuk memastikan bahwa kawula jajahan membayar pajak untuk mengisi kas keuangan negara. Proses penarikan pajak ini melibatkan pejabat Eropa dan bumiputera. Pejabat bumiputera berada di garis depan untuk menagih pajak langsung dari rakyat, sementara pejabat Eropa menampung seluruh hasil dari pemungutan pajak tersebut.

Bagaimana pun mekanisme dan pihak yang terlibat, pajak telah menjadi sumber penderitaan rakyat. Kewajiban membayar pajak di tengah kondisi ekonomi yang sangat terbatas menimbulkan keresahan sosial yang meluas di tengah masyarakat.

Kajian Mohammad Iskandar (2007) tentang “Aksi Kolektif Petani Ciomas tahun 1886 Dampak Politis bagi Pemerintah Hindia Belanda” relevan untuk diajukan di sini. Iskandar menunjukkan bahwa pajak memicu lahirnya aksi kolektif petani terhadap tuan tanah partikelir di Ciomas, J.W.E de Sturler.

Aksi kolektif petani yang berlangsung pada 19-20 Mei 1886 berakar pada praktik eksploitasi yang tidak berkeadilan. Meskipun menarikan pajak hasil bumi dan kerja rodi didasarkan pada kontrak-kontrak yang disepakati, dalam prakteknya hanya menguntungkan tuan tanah.

Tuan tanah sering menentukan pajak hasil bumi berdasarkan aturan yang samar. Misalnya, pada awal masa tanam padi, tuan tanah sepakat dengan petani bahwa pajak dibayar secara “cuke”. Namun, ketika gagal panen akibat hama atau bencana alam, ia secara sepihak mengubah ketentuan menjadi “pajeg” yakni pajak ditarik berdasarkan hasil panen sebelumnya.

Selain itu, ia juga melakukan penyitaan dan pelelangan harta milik orang-orang yang berhutang karena tidak mampu membayar pajak tanpa diawali dengan musyawarah dengan para petani.

Situasi tersebut memicu perlawanan. Tidak kurang dari 2.000 penduduk tanah partikelir Ciomas berkumpul di Pasir Gaok untuk mendukung perlawanan Mohammad Idris. Tokoh ini merasa sakit hati setelah sawah dan ladangnya disita serta dilelang oleh tuan tanah pada awal tahun 1885 akibat ketidakmampuannya membayar pajak.

Kendati demikian, tuan tanah Ciomas tidak mudah ditaklukan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Otto van Rees. Dengan kemampuannya menjalin koordinasi dan memanfaatkan koneksi dengan pejabat pemerintah, ia berhasil menutup-nutupi praktik ketidakadilan yang ia lakukan. Banyak penduduk bumiputera mengajukan pengaduan, namun hanya satu atau dua kasus saja yang sampai ke pengadilan, sedangkan selebihnya berhasil digagalkan.

Bahkan, ketika kasus ini sampai ke Parlemen dan Menteri Jajahan, simpati tidak berpihak kepada van Rees, yang bertanggungjawab terhadap pemerintahan di Hindia Belanda, melainkan lebih berpihak kepada tuan tanah dan pihak-pihak yang menjadi penyebab kesengsaraan penduduk Ciomas.

Aksi kolektif petani Ciomas memang berlangsung lebih singkat dibandingkan dengan pemberontakan petani Banten (9–30 Juli 1888). Namun, dampak politisnya terhadap pemerintahan Hindia Belanda justeru lebih besar.

Peristiwa Ciomas memecah suara pemerintah dan parlemen, sehingga menimbulkan polemik panjang sejak Agustus 1886 hingga Juni 1888, yang akhirnya berujung pada turunnya Otto van Rees dari jabatan Gubernur Jenderal. Sebaliknya, dalam kasus pemberontakan Banten, suara pemerintah dan parlemen relatif solid dan tidak terpecah (Iskandar, 2007).

Relevansi Sejarah

Kasus Ciomas menunjukkan bahwa pajak, bila dikelola secara tidak adil, dapat memicu keresahan rakyat dan menimbulkan krisis politik. Otto van Rees jatuh bukan semata karena aksi kolekif petani, melainkan karena ia tidak mampu menghadapi jaringan kekuasaan tuan tanah yang menindas rakyat, sekaligus tidak berhasil menjaga soliditas pemerintah kolonial.

Dalam konteks Indonesia sekarang, jika hasil pajak berpihak kepada elite atau kelompok tertentu yang menyedot kekayaan rakyat, sementara beban pajak semakin menyulitkan hidup rakyat, maka risiko politiknya sangat besar. Nasib Otto van Rees menjadi cermin bahwa seorang pemimpin dapat kehilangan wibawa, bahkan posisinya, jika gagal menghadapi jaringan kekuasaan yang menjadi sumber penderitaan rakyat.

Pajak bukan semata instrumen ekonomi, melainkan juga arena politik yang menentukan soliditas sebuah rezim. Apabila pengelolaannya mengabaikan prinsip keadilan sosial, pajak justru dapat berubah menjadi senjata yang meruntuhkan legitimasi kekuasaan, sebagaimana dialami Otto van Rees. Semoga nasib serupa tidak menimpa nakhoda republik ini.

Pada akhirnya, belajar sejarah bukan hanya bertujuan untuk mengetahui masa lalu, melainkan untuk memperoleh inspirasi dan pelajaran agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa kini dan masa depan. Dengan begitu, kita dapat terhindar dari bahaya amnesia sejarah bangsa. (*)






 
Top