JAKARTA -- Bareskrim Polri mengerahkan tim asistensi terkait kasus dugaan pemerkosaan oleh seorang ayah terhadap 3 anak kandungnya sendiri di Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Lutim, Sulsel). 

Kepala Divisi (Kadiv) Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengungkapkan, tim asistensi itu untuk melakukan pendampingan terhadap Polres Lutim dan Polda Sulsel  terkait dengan proses hukum kasus tersebut. 

"Hari ini tim asistensi Wasidik Bareskrim yang dipimpin seorang Kombes dan tim berangkat ke Polda Sulsel," kata Argo kepada awak media di Jakarta, Sabtu (9/10/2021).

Menurut Argo, tim asistensi Bareskrim Polri tersebut bakal bekerja secara profesional. Bahkan, ditegaskan Argo, apabila nantinya ditemukan bukti baru, maka polisi bakal kembali membuka perkara tersebut.

Diketahui, Polres Lutim dan Polda Sulsel menghentikan proses penyelidikan kasus itu. Pasalnya, aparat tidak menemukan barang bukti (BB)  yang kuat terkait dengan perkara tersebut. 

"Kalau ada bukti baru bisa dibuka kembali," ujar mantan Kabid Humas Polda Metro Jaya tersebut.

Argo sebelumnya memastikan bahwa penanganan proses hukum mulai dari penerimaan laporan, penyelidikan, hingga penghentian kasus dugaan pemerkosaan di Lutim, Sulsel, sudah berjalan sesuai prosedur yang berlaku. 

Dalam hal ini pihak kepolisian sudah melakukan tindaklanjut dari adanya laporan terkait hal itu ke Polres Lutim pada tanggal 9 Oktober 2019.

Setelah menerima laporan itu, polisi mengantar ketiga anak untuk dilakukan pemeriksaan atau Visum Et Repertum bersama dengan ibunya serta petugas P2TP2A Kabupaten Lutim. 

Tak Ada Tanda-tanda Trauma

"Hasil pemeriksaan atau visum dengan hasil ketiga anak tersebut tidak ada kelainan dan tidak tampak adanya tanda-tanda kekerasan," ucap Argo.

Sementara itu, dari laporan hasil asessmen P2TP2A Kabupaten Lutim bahwa tidak ada tanda-tanda trauma pada ketiga anak tersebut terhadap ayahnya. 

"Karena setelah sang ayah datang di kantor P2TP2A ketiga anak tersebut menghampiri dan duduk di pangkuan ayah mereka," ujar Argo.

Selain itu, dalam hasil pemeriksaan Psikologi Puspaga P2TP2A Lutim, ketiga anak tersebut dalam melakukan interaksi dengan lingkungan luar cukup baik dan normal. Serta hubungan dengan orang tua cukup perhatian dan harmonis, dalam pemahaman keagamaan sangat baik termasuk untuk fisik dan mental dalam keadaan sehat.

Argo mengungkapkan, hasil visum di RS Bhayangkara Polda Sulsel tidak ditemukan kelainan terhadap anak perempuan tersebut. Sementara, anak laki-lakinya tidak ada temuan atau kelainan juga.

Setelah melakukan rangkaian prosedur hukum, Polres Lutim pun pada 5 Desember 2019 melakukan gelar perkara. Adapun kesimpulannya adalah menghentikan penyelidikan perkara tersebut. 

"Tidak ditemukan bukti yang cukup adanya tindak pidana sebagaimana yang dilaporkan," ucap Argo.

Sementara, Polda Sulsel pada tanggal 6 Oktober 2020 juga telah melakukan gelar perkara khusus dengan kesimpulan menghentikan proses penyelidikannya.

Sebelumnya, dilansir bbcnewsindonesia, linimasa platform media sosial Twitter di Indonesia sempat riuh dengan tagar #PercumaLaporPolisi menyusul kasus dugaan perkosaan tiga anak oleh ayah kandungnya sendiri di Lutim, Sulsel, pelaku menyita perhatian publik.

Kasus dugaan perkosaan anak itu sempat dilaporkan ke kepolisian Lutim pada 2019 lalu namun perkaranya ditutup sebab dianggap "tidak cukup bukti".

Pada Jumat (8/10/2021) Polri kembali menegaskan bahwa penanganan kasus itu mulai dari penerimaan laporan, penyelidikan, hingga penghentian kasus dugaan pemerkosaan sudah sesuai dengan prosedur, setelah sebelumnya sempat mengatakan kasus ini bisa dibuka kembali jika "ada bukti-bukti baru".

Kasus perkosaan anak di Lutim hanyalah salah satu dari kejahatan seksual di rumah yang dilaporkan, sementara ada banyak kasus pelecehan seksual yang tidak terdokumentasikan.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebut "alasan kurang bukti" menjadi sebab banyak kasus kekerasan seksual - apalagi kasus inses - tidak berlanjut di jalur hukum.

"Ini memang menjadi permasalahan dalam kasus-kasus kekerasan seksual, ketika korban harus membuktikan bahwa ia diperkosa, disetubuhi, atau dipaksa, sementara hal itu tidak cukup mudah untuk didapat," ujar Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, Jumat (8/10/2021).

Selain itu, lanjutnya, "perspektif aparat penegak hukum yang belum memiliki perspektif korban dan perspektif anak ataupun perempuan", membuat "penanganan korban kerap kali disamakan".

Itu tercermin dari pengungkapan identitas korban oleh kepolisian Lutim ketika merespons pemberitaan soal kasus itu.

Padahal, menurut Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, memberikan identitas anak atau korban itu tidak diperbolehkan.

Beberapa jam setelah kasus perkosaan anak itu diberitakan oleh portal Project Multatuli, situs portal itu diretas dan hasil reportasenya dicap sebagai "hoaks", sesuatu yang dikecam oleh Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI).

Mengapa korban gamang melapor?

Masih dilansir bbcnewsindonesia, pelaku hingga Jumat (08/09) sore, tagar #PercumaLaporPolisi telah dicuit lebih dari 32.000 kali di Twitter Indonesia, dengan sebagian besar isi cuitan memuat kecaman dan kritik akan penanganan kepolisian terhadap kasus tersebut.

Sejumlah warganet membagikan pengalaman pelecehan yang ia alami, namun ketika melapor ke polisi, sang petugas menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar.

"Waktu jalan kaki di sekitar Pandanaran, Semarang, ada bapak-bapak yang nunjukin kemaluannya pas aku lewat. Nggak jauh ada pos polisi, akhirnya aku lapor sama mereka. Responsnya, 'nggak papa mbak, sudah biasa itu', komentar salah satu warganet".

Sementara yang lain mengutarakan ketidakberpihakan kepolisian terhadap korban kekerasan seksual membuat para korban enggan melaporkan kasus yang mereka alami ke pihak berwenang.


Seorang warganet membagikan pengalaman pelecehan yang ia alami, namun ketika melapor ke polisi, sang petugas menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar.

Seperti yang diutarakan Anindya Restiviani, direktur program Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta yang kerap mendampingi korban kekerasan seksual dalam akun Twitter miliknya:

"Pengalaman dampingi korban berkali-kali, isilop (polisi) cari data terduga pelaku aja nyuruh korban, kalo nggak nemu nyalahin korban terus kasusnya di SP3," tutur perempuan yang akrab disapa Vivi tersebut".

Ia kemudian mengungkap hasil survey terbaru tentang kekerasan berbasis gender selama pandemi Covid-19 yang dilakukan oleh Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta, di mana dari hampir 400 responden yang terlibat dalam survei itu, hanya 7% yang melapor ke polisi dan hanya satu orang yang berhasil di-BAP.

Survei itu mengungkap bahwa pelaporan kasus kekerasan berbasis gender kepada kepolisian rendah dan semakin sulit selama pandemi.

Salah satu dari mereka yang melakukan pelaporan, hanya satu orang responden yang menyatakan melakukan visum.

Responden ini menyatakan visum yang dilakukan tidak dipungut biaya, namun ia menghadapi kendala di mana "tenaga kesehatan menyalahkan dia atas apa yang terjadi saat visum".

Adapun, merujuk survei yang dilakukan oleh survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dilakukan pada 31 Juli hingga 2 Agustus 2021, terungkap bahwa kepolisian Indonesia dianggap sebagai lembaga penegak hukum yang memiliki tingkat kepercayaan paling rendah di mata publik.

Survei SMRC menunjukkan kepercayaan publik terhadap Polri hanya 58%. Angka tersebut lebih kecil ketimbang lembaga-lembaga lain yang turut disurvei.

Sementara mereka yang mengaku tidak percaya dengan institusi kepolisan sebesar 38%. Angka ini juga paling tinggi dibanding institusi lain yang disurvei.

'Penyangkalan' dan 'rape culture'

Masih dilansir bbcnewsindonesia, dalam kasus perkosaan anak di Lutim, anak-anak yang diduga menjadi korban kekerasan seksual dimintai keterangan oleh kepolisian tanpa didampingi.

Sementara, dalam Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Anak dan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, anak-anak yang berhadapan dengan hukum harus didampingi oleh orang tua, pekerja seksual atau psikolog.

Menurut Siti Aminah Tardi dari Komnas Perempuan, itu "memperlihatkan kapasitas aparat penegak hukum" dalam hal menangani kasus-kasus kekerasan seksual "belum sepenuhnya merata".

Ia pun menyesalkan "penyangkalan" terhadap kasus ini dengan adanya serangan siber terhadap pemberitaan dugaan perkosaan anak oleh ayah kandungnya.

"Termasuk pengungkapan identitas ibu dan korban, karena sebetulnya itu tidak diperbolehkah untuk mengungkapkan identitas dari korban.

"Ini sebetulnya menunjukkan budaya rape culture itu masih dominan di kita," ungkap Siti Aminah.

Istilah "rape culture" merujuk pada budaya yang menjadikan perkosaan dan juga kekerasan seksual sebagai sesuatu yang normal, wajar terjadi dan ditoleransi di media atau masyarakat.

Di tengah sorotan ini, Polri memastikan bahwa penanganan hukum kasus dugaan pemerkosaan itu mulai dari penerimaan laporan, penyelidikan, hingga penerbitan surat penghentian penyidikan (SP3) sudah dilakukan sesuai dengan prosedur.

Dalam pemaparan kronologi penanganan kasus tersebut, Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono menjelaskan salah satu alasan mengapa kepolisian menerbitkan SP3.

"Hasil pemeriksaan atau visum dengan hasil ketiga anak tersebut tidak ada kelainan dan tidak tampak adanya tanda-tanda kekerasan," kata Argo di Jakarta, Jumat (8/10/2021).

Laporan kepolisian itu bertolak belakang dengan laporan Komnas Perempuan yang menyebutkan terjadi kerusakan pada organ vital anak-anak.

Sehari sebelum keterangan Argo Yuwono, Karo Penmas Divisi Humas Polri Rusdi Hartono mengatakan penyidik sudah pernah melakukan penyelidikan hingga dilakukan gelar perkara yang menyimpulkan bahwa "tidak cukup bukti yang terkait dengan tindak pidana pencabulan".

Oleh sebab itu, kepolisian menerbitkan surat penghentian penyidikan (SP3) kasus yang dilaporkan ke Polres Lutim pada 2019 silam itu.

Akan tetapi ia menambahkan, kasus itu bisa dibuka kembali jika ada bukti-bukti baru.

"Itu bukan berarti semua sudah final. Apabila dalam proses berjalannya ditemukan bukti-bukti baru, maka tidak menutup kemungkinan penyidikan akan dibuka kembali," ujarnya kepada awak media, Kamis (7/10/2021).

#DivhumasPolri/bbcnewsindonesia






 
Top