TAK banyak yang menyangka, di tengah gempuran informasi seputar gadget, tren viral, atau drama media sosial, muncul satu video yang menyegarkan: seorang siswi SMP berdiri percaya diri di depan miniatur rumah, mempresentasikan alat temuannya yang sederhana namun memecahkan masalah klasik di banyak rumah tangga “jemuran basah karena hujan mendadak”.
Dalam videonya yang beredar luas, Florina menunjukkan cara kerja alat ciptaannya yang bisa secara otomatis menarik jemuran ke tempat aman saat hujan turun. Praktis, pintar dan yang paling menarik: dibuat oleh anak usia remaja awal!
Florina Shareev El-Ersha, pelajar kelas 9 dari SMP Santo Yusup Bandung. Dalam proyek tugas sekolah yang kemudian viral di media sosial, Florina menciptakan sistem jemuran otomatis berbasis sensor cuaca. Begitu sensor mendeteksi tetesan hujan, jemuran secara otomatis akan ditarik ke area terlindung. Dan ketika matahari kembali bersinar, sistem akan mengembalikan jemuran ke posisi semula agar pakaian tetap bisa kering sempurna.
Sederhana? Mungkin bagi sebagian orang. Tapi dari segi ide dan penerapannya, alat ini mencerminkan tiga hal sekaligus: kepedulian terhadap masalah sehari-hari, kemampuan berpikir teknologis dan keberanian untuk mencoba.
Apa yang dilakukan Florina seolah mewakili jeritan diam banyak ibu rumah tangga dan pekerja kantoran yang pernah panik ketika tiba-tiba hujan turun dan tak sempat mengangkat jemuran. Betapa banyak pakaian yang kembali harus dicuci ulang, energi yang terbuang, bahkan biaya tambahan listrik untuk kembali menjemur dengan mesin pengering. Dan kini, solusi itu datang dari seorang siswi SMP, bukan dari perusahaan besar atau institusi riset.
Adapun, inovasi jemuran otomatis Florina dibuat berdasarkan pengamatan sederhana terhadap realita yang terjadi di lingkungan sekitar. Ia mengungkap bahwa alat ini dibuat bukan sekadar untuk proyek, tapi sebagai bentuk kepedulian terhadap efisiensi aktivitas rumah tangga. Pembuatan alat ini juga memperlihatkan pemahamannya terhadap sensor digital dan cara mengintegrasikannya ke dalam sistem mekanik rumah tangga.
Pakar pendidikan kreatif dan teknologi dari Institut Teknologi Bandung, Dr. Haryo Dwi Cahyono, mengatakan bahwa temuan seperti ini merupakan bentuk nyata dari pembelajaran kontekstual yang harusnya diperluas di sekolah-sekolah. Ketika anak diajak menyelesaikan masalah nyata yang mereka lihat sendiri, maka kreativitas mereka bisa berkembang pesat. Bukan hanya karena pintar, tapi karena mereka merasa relevan dan dibutuhkan.
Apa yang dilakukan Florina juga menunjukkan bahwa pendidikan tak harus selalu muluk. Kadang, pemecahan dari masalah kecil jauh lebih berarti. Sistem jemuran otomatis bukan hanya menyentuh sisi teknis, tapi juga memperkenalkan konsep pemrograman, elektronika dasar, sensorik, dan otomatisasi, semua itu adalah fondasi dari dunia teknologi masa depan. Dan Florina melakukannya bukan di laboratorium riset profesional, tetapi dari ruang kelas dan bimbingan sekolah menengah.
Di sisi lain, apresiasi publik yang luas terhadap inovasi ini membuktikan satu hal: masyarakat Indonesia rindu karya nyata dari generasi muda. Kita lelah dengan tren sensasi kosong. Maka ketika ada seorang siswi SMP berdiri membawakan ide yang relevan dan bisa diterapkan di kehidupan sehari-hari, pujian datang bukan hanya dari guru, tapi juga dari netizen, media, dan bahkan pelaku usaha.
Lebih jauh lagi, kisah ini menjadi tamparan halus bagi para orang tua, pendidik, dan pemangku kebijakan. Betapa besar potensi anak-anak kita jika diberi ruang dan diberi kepercayaan. Ketika sekolah tak hanya menjadi tempat menimba teori, tapi juga lahan menanamkan empati dan keberanian mencoba. Ketika anak didukung untuk berani mempresentasikan ide, betapapun sederhananya. Ketika kesalahan tak lagi dianggap memalukan, tapi bagian dari proses belajar. Maka akan tumbuh lebih banyak Florina, anak-anak yang punya rasa ingin tahu besar, tangguh di tengah tantangan zaman dan tak takut tampil dengan ide yang ia percaya.
Jika hari ini Florina bisa menghadirkan solusi dari masalah sederhana yang tak pernah kita pikirkan serius, bayangkan berapa banyak anak-anak lain di luar sana yang mungkin punya potensi serupa tapi belum diberi ruang. Maka tugas kita jelas, bukan menuntut mereka jadi juara, tapi menciptakan ekosistem yang membuat mereka merasa pantas untuk tumbuh, bereksperimen dan didengar.
Mari jangan sampai inovasi anak-anak seperti Florina hanya jadi konsumsi viral sesaat, tapi jadi pemantik perubahan jangka panjang.
---
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.