Rosadi Jamani

- Ketua Satupena Kalbar 


SEBAGAI penulis, saya ucapkan "Innalillahi wainna ilaihirojiun." Seorang penulis hebat yang lahir dari republik ini telah tiada. Karya tulisannya banyak mengilhami, menginspirasi anak negeri. Mari simak kisah sang penulis itu sambil seruput kopi sedikit gula aren, wak!

Indonesia kembali berkabung. Seorang perempuan yang hidupnya adalah definisi luka, perjuangan dan cinta, akhirnya benar-benar berpulang. 

Pipiet Senja, burung pipit kecil yang sayapnya selalu koyak oleh penyakit tapi terus memaksa terbang, kini jatuh ke senja terakhir. Di tanah air yang ia cintai, ribuan mata kini basah, sebab kehilangan sebesar ini tidak bisa ditampung oleh kata apa pun.

Bayangkanlah hidupnya. Sejak muda, darah dalam tubuhnya sudah berkhianat. Thalassemia, penyakit yang membuatnya harus mencicipi jarum dan transfusi berkali-kali dalam sebulan, menjadi teman setianya. Dokter mungkin sudah lama angkat tangan, tetapi Pipiet tidak. Ia menolak menyerah. Di tengah tubuh yang ringkih, ia memilih melawan dengan pena. Ia menulis, menulis dan terus menulis, seakan setiap huruf adalah transfusi darah yang membuatnya tetap hidup.

Lebih dari seratus novel lahir dari tangannya. Novel yang tak hanya sekadar kisah cinta, tapi doa yang berubah jadi kata. Jeritan hati yang berubah jadi paragraf. Luka yang ia jahit dengan kalimat, lalu ia bagikan pada dunia agar orang lain tahu, penderitaan bukan alasan untuk berhenti berkarya. Betapa ironis, orang yang paling sering berbaring di rumah sakit, justru mengajarkan arti kehidupan.

Kini, ketika kabar kematiannya sampai, dada kita seakan diremas. Pipiet Senja bukan sekadar penulis. Ia ibu yang berjuang sendirian ketika rumah tangganya retak. Ia perempuan yang tetap memilih melahirkan meski dokter menyuruhnya mengakhiri kehamilan. Ia sahabat pena yang setia, yang selalu menyemangati generasi muda agar tidak menyerah pada hidup. Kini ia pergi, meninggalkan kita dengan ruang kosong sebesar langit.

Kita, manusia sehat yang sering malas, seharusnya malu. Betapa banyak dari kita yang menyerah pada hal-hal sepele, yang menunda mimpi hanya karena alasan receh. Pipiet, yang tubuhnya terus-menerus berperang dengan penyakit, justru menunjukkan bahwa kehidupan harus diperjuangkan sampai huruf terakhir.

Ada ironi yang kejam di sini. Selama hidupnya, Pipiet Senja menulis untuk mengalahkan kematian. Ia percaya, meski tubuhnya rapuh, kata-katanya akan hidup lebih lama. Benar, setelah ia pergi, yang tersisa hanyalah buku-bukunya, yang kini berubah menjadi pusara abadi. Setiap novel adalah bunga di atas makamnya. Setiap kalimat adalah doa.

Kematian memang selalu datang tiba-tiba. Tapi bagi Pipiet Senja, kematian hanyalah pintu lain untuk pulang. Ia sudah terlalu lama hidup dalam rasa sakit dan barangkali Tuhan akhirnya kasihan. Namun, kita yang ditinggalkan justru patah hati. Kita kehilangan bukan sekadar seorang penulis, tapi teladan tentang bagaimana manusia bisa tetap tegak, meski dunia berkali-kali menjatuhkan.

Selamat jalan, Pipiet Senja. Burung kecil yang rapuh itu kini bebas terbang tanpa rasa sakit. Kau telah menuliskan takdir dengan tinta air mata, kau telah memberi pelajaran tentang cinta, iman, dan keberanian. Kami menangis, sebab kehilanganmu terlalu perih. Tapi di antara air mata ini, kami juga berjanji, akan terus menjaga api yang kau tinggalkan, agar generasi berikutnya tahu, pernah ada seorang perempuan bernama Pipiet Senja, yang menolak dikalahkan oleh penderitaan, dan memilih hidup abadi lewat kata.

Jika hidup terasa terlalu berat, ingatlah Pipiet Senja. Ia perempuan rapuh yang dipaksa sakit seumur hidup, namun memilih menulis dan meninggalkan jejak abadi. Darinya kita belajar bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada tubuh yang sehat, melainkan pada jiwa yang tak pernah menyerah, sebab meski ajal merenggut raga, kata-kata yang lahir dari keberanian akan terus hidup di hati manusia.

#camanewak





 
Top