Oleh ReO Fiksiwan


“Mengabsolutkan kebenaran agama sendiri sama saja dengan mengambil risiko mengubah wahyu menjadi penindasan. Kita tidak bisa berbicara tentang kasih dan keselamatan sambil menutup telinga terhadap penderitaan orang lain.” — Paul F. Knitter (86), No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes Toward the World (1985).


DI TENGAH hiruk-pikuk sidang parlemen yang lebih mirip panggung standup comedy bablas angine timbang forum kebijakan, kita menyaksikan bagaimana legislator dengan wajah tersenyum dan lidah bercabang menyebut tuntutan publik sebagai keluhan remeh alias tolol sedunia.

Mereka yang digaji dari pajak rakyat, yang duduk di kursi empuk hasil suara demokrasi, kini berdiri di atas podium arogansi, memandang ke bawah seolah rakyat adalah gangguan, bukan amanah.

Kekuasaan, yang seharusnya menjadi alat pelayanan, telah berubah menjadi altar penyembahan diri, tempat di mana nurani dikorbankan demi tunjangan dan gengsi.

Paul F. Knitter, teolog Katolik dalam refleksinya tentang “Menggugat Arogansi Kekristenan” (Kanisius,2005) menyebut bahwa superioritas teologis yang menolak keberadaan jalan lain menuju Tuhan adalah bentuk penolakan terhadap dialog, terhadap kerendahan hati, terhadap kasih yang seharusnya menjadi inti iman.

Kekuasaan politik hari ini meniru arogansi itu: menafikan suara lain, menolak kritik, dan menutup telinga terhadap jeritan keadilan.

Legislator yang menari di atas penderitaan publik adalah manifestasi dari teologi kekuasaan yang telah kehilangan Tuhan, dan hanya menyisakan ego yang lapar akan pujian dan privilese dari bisikan diabolis, Mephistopeles dan Lucifer, konon penentang keras otoritas ilahi, Deus.

Mereka tidak lagi berbicara atas nama rakyat, melainkan atas nama oligarki yang menyaru dalam jas, retorika dan kemayaan materi.

Mereka tidak lagi mendengar, karena telinga mereka telah dipenuhi bisikan sponsor dan kalkulasi elektoral.

Mereka tidak lagi melihat, karena mata mereka hanya tertuju pada angka tunjangan dan peluang investasi.

Kekuasaan yang seharusnya menjadi cermin keadilan kini menjadi topeng kebusukan, dan di balik topeng itu, kita melihat wajah picik yang keji, yang tertawa saat rakyat menangis.

Materialisme vulgar telah menjadi agama baru.

Gedung parlemen bukan lagi rumah kebijakan, melainkan kuil kapital, tempat di mana nilai ditakar dengan nominal, dan martabat ditukar dengan fasilitas.

Legislator yang meremehkan tuntutan publik bukan sekadar tidak tahu diri, mereka telah kehilangan jiwa.

Mereka adalah imam-imam palsu dari liturgi kekuasaan, yang berkhotbah tentang pembangunan sambil menindas yang miskin, yang bicara tentang kemajuan sambil menutup mata terhadap ketimpangan.

Buntutnya, eksklusifisme dan superioritas spiritual menurut Knitter menjadi cermin paradoks wakil rakyat menutup telinga terhadap jeritan rakyat kecil, menolak tuntutan buruh dan ojol yang menuntut keadilan sosial.

Selain itu, aparat dan elite politik merasa lebih berhak atas ruang publik, bahkan dengan kekerasan yang akhirnya dengan angkuh rantis Brimob melindas tubuh simbolis, pengendara ojol, Affan Kurniawan (21).

Dalam terang teologi pluralisme Knitter, kita diajak untuk melihat bahwa kebenaran tidak pernah tunggal, dan kekuasaan yang benar adalah kekuasaan yang mendengar.

Fromm menyebutnya, The Art of Listening (Immoratal Publishing, 2018):

“…. mendengarkan adalah seni yang menuntut kehadiran penuh, empati, dan kesediaan untuk memahami bukan hanya kata-kata, tetapi juga makna yang tersembunyi di baliknya.”

Para pemilik kursi itu, justru telah menutup pintu dialog, dan memilih monolog arogan yang memekakkan telinga nurani hingga berbuah kemarahan publik yang menular kemana-mana.

Mereka tidak lagi bertanya apa yang benar, tapi apa yang menguntungkan. Mereka tidak lagi bertanya apa yang adil, tapi apa yang bisa dinegosiasikan.

Arogansi kekuasaan bukan sekadar kesalahan politik, ia adalah dosa spiritual. Ia adalah penolakan terhadap kemanusiaan, terhadap kasih, terhadap tanggung jawab.

Legislator yang menafikan rasa keadilan publik adalah pendosa yang menyamar sebagai pemimpin. Dan di hadapan mereka, kita tidak hanya butuh kritik, kita butuh pertobatan nasional.

Karena kekuasaan yang tidak tunduk pada keadilan adalah kekuasaan yang telah menjadi thogut—kekuatan gelap yang menentang cahaya Tuhan.

Untuk itu, biarlah tragedi ini menjadi doa. Doa baru agar mereka yang tertawa di atas penderitaan segera dibungkam oleh suara nurani mereka sendiri.

Juga, doa agar kekuasaan kembali tunduk pada pelayanan. Doa agar arogansi digantikan oleh kerendahan hati.

Dan doa agar rakyat tidak lagi menjadi korban, tapi menjadi pemilik sah dari negeri yang katanya “gemah ripa loh jinawi”, tapi terlalu sering lupa siapa yang seharusnya berdaulat.

Dalam terang teologi lainnya, teolog Hans Küng, wafat di usia 93 (6 April 2021), menawarkan jalan keluar yang tidak bersifat teknokratis, melainkan etik universal yang melampaui sekat negara, ideologi dan agama.

Dengan warisan filsafat teologinya, A Global Ethic for Global Politics and Economics (1998), Küng menolak politik yang hanya tunduk pada kalkulasi kekuasaan dan ekonomi pasar.

la menyerukan agar para pemimpin politik dan ekonomi dunia-termasuk para legislator yang kini menari di atas luka publik-ö harus tunduk pada prinsip-prinsip etik yang tidak bisa ditawar: tidak boleh ada kekerasan, tidak boleh ada penipuan, tidak boleh ada eksploitasi, dan tidak boleh ada penghinaan terhadap martabat manusia.

Akhirnya, Küng tidak menawarkan utopia, tetapi kerangka etik yang konkret, yang bisa menjadi kompas moral dalam menghadapi krisis politik yang telah kehilangan arah.

la menulis bahwa dunia atau arogansi kekuasaan tidak akan disatukan oleh teknologi tau pasar, tetapi oleh komitmen bersama terhadap nilai-nilai kemanusiaan. (*)

#coverlagu: “Surat Buat Wakil Rakyat”, Iwan Fals (64), 1987 dan ia baru saja menerima anugrah seni dan budaya dari Ahmad Bakrie Award, pekan silam via tayangan TVOne. 






 
Top