Edisi Maulid Nabi 1447 H


Drs. Makmur, M.Ag

- Kepala Kemenag Kota Bandar Lampung


SUATU malam yang sunyi, Nabi Muhammad saw duduk merenung penuh khusyu’. Beliau memikirkan nasib umatnya, orang-orang yang beliau cintai dan selalu beliau doakan setiap waktu. Dalam kesendirian itu, air mata beliau menetes, menandakan betapa dalam kekhawatiran dan kasih sayangnya kepada manusia. Beliau takut, takut apabila kelak di hari kiamat nanti, ada dari umatnya yang mati dalam keadaan belum bertobat, belum kembali kepada Allah SWT. Kekhawatiran itu begitu berat terasa di hati beliau. Bagaimana mungkin beliau bisa rela melihat umat yang beliau cintai itu tersesat atau celaka di akhirat?

Dalam tangis dan kegalauan itu, datanglah Malaikat Jibril AS, malaikat pembawa wahyu. Dengan penuh ketenangan ia berkata, “Wahai Nabi Allah, janganlah terlalu bersedih. Jika umatmu bertaubat dan memperbaiki diri, meski hanya dalam jangka waktu satu tahun sebelum wafat, maka Allah akan mengampuni dan menerima taubat mereka.” Namun Nabi Muhammad, dengan keprihatinan yang semakin dalam, menjawab, “Satu tahun itu terlalu lama, wahai Jibril. Umatku tidak tahu berapa lama mereka diberi kesempatan. Ada yang mati lebih cepat dari yang disangka. Aku khawatir masih banyak yang belum sempat bertobat sebelum ajal menjemput.”

Malaikat Jibril mendengarkan kesedihan itu dengan penuh perhatian, lalu berkata, “Bagaimana jika memberi kesempatan yang lebih singkat, tetapi dengan ukuran yang nyata dan lebih mudah?” Nabi Muhammad berpikir sejenak, kemudian memohon, “Wahai Jibril, sampaikanlah kabar gembira bagi umatku bahwa selama mereka masih hidup, selama nafas masih tersisa, selama hati mereka masih ingin kembali kepada Allah, maka Allah Yang Maha Pengampun akan menerima setiap taubat mereka.” Mendengar itu, Jibril tersenyum lalu berkata, “Wahai Muhammad, engkau benar. Sampaikanlah kepada umatmu bahwa Allah berfirman: Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama nyawa belum sampai di kerongkongan.” (HR. Tirmidzi, Ahmad).

Kisah ini menunjukkan betapa besar cinta Nabi kepada umatnya. Beliau tidak ingin seorang pun binasa tanpa sempat kembali kepada Allah. Bahkan kepada umat yang belum pernah beliau temui karena lahir ribuan tahun setelah beliau wafat, kasih sayang beliau tetap tercurah. Beliau pernah bersabda, “Aku rindu kepada saudara-saudaraku.” Para sahabat bertanya, “Bukankah kami ini saudaramu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Kalian adalah sahabat-sahabatku, sedangkan saudaraku adalah mereka yang beriman kepadaku padahal mereka tidak pernah melihatku.” (HR. Ahmad).

Al-Qur’an pun menegaskan betapa berat kasih sayang Rasulullah saw terhadap umatnya, sebagaimana firman Allah, “Sungguh, telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah: 128). Ayat ini menjelaskan bahwa beliau bukan hanya seorang utusan, melainkan juga seorang ayah penuh kasih bagi seluruh umatnya.

Kisah ini sekaligus menunjukkan betapa luas rahmat Allah SWT. Allah memberi kesempatan bertobat hingga detik terakhir kehidupan, selama ruh belum sampai di kerongkongan. Itu adalah tanda kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Akan tetapi, kesempatan itu bukan berarti kita boleh menunda-nunda taubat. Menunda taubat sama saja mempertaruhkan nasib akhirat, karena kematian adalah rahasia Allah. Firman-Nya, “Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34).

Ayat ini menjadi peringatan bahwa tidak seorang pun tahu kapan maut akan datang menjemput. Karena itu, kesempatan untuk bertobat harus segera dilakukan. Sebab setelah kematian, setiap manusia akan mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatannya. Allah berfirman, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia beruntung.” (QS. Ali Imran: 185).

Rasulullah saw juga menasihatkan, “Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan, yaitu kematian.” (HR. Tirmidzi). Mengingat mati adalah cara yang cerdas untuk melembutkan hati dan mengingatkan kita agar segera menyiapkan bekal akhirat. Dunia hanyalah persinggahan sementara, sedangkan kehidupan akhirat adalah tempat kembali yang sesungguhnya.

Maka, memperingati maulid Nabi sejatinya tidak hanya diisi dengan syair dan perayaan, melainkan dijadikan momentum untuk meneladani cinta beliau, mempercepat langkah menuju taubat, dan memperbanyak amal kebaikan. Firman Allah mengingatkan kita, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133).

Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala ali Sayyidina Muhammad. 

Wallahu a’lam (*)





 
Top