Rosadi Jamani
- Ketua Satupena Kalbar
KADANG saya berpikir, ini orang bergelar profesor, tapi jejak digitalnya nihil. Publik mencoba mencari pemikiran, opini, gagasan cemerlang, tapi yang ditemukan hanya nama tertera di papan fakultas. Lalu terbongkarlah rahasia besar, profesor abal-abal, gelar megah tapi dibangun di atas pondasi rapuh bernama jurnal predator.
Puncaknya meledak ketika skandal 17 guru besar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) dicabut gelarnya, sebuah tontonan akademik yang lebih absurd dari sinetron azab.
Kronologinya pun tak kalah dramatis. Pada 27 Maret 2025, Direktorat Pendidikan Tinggi mengeluarkan rekomendasi pencabutan. Lalu 10 Juli 2025, Menteri Pendidikan Tinggi Brian Yuliarto meneken SK sakti yang menghapus gelar mereka. SK itu baru mampir ke meja Rektor ULM, Prof Ahmad Alim Bachri, pada 19 Agustus 2025. Seperti plot drama murahan, kabar ini bocor ke publik 27 September 2025 lewat Radar Banjarmasin dan Kalsel Daily. Publik pun heboh, mahasiswa melongo, dosen pura-pura tidak kenal.
Daftar nama yang dipermalukan pun panjang, lengkap dengan jabatan mentereng. Dari dekan aktif ada Sunarno Basuki (FKIP), Kissinger (Kehutanan), dan Ahmad Yunani (FEB). Dari dosen lain ada Achmad Syamsu Hidayat (Perikanan), Arnida, Dewi Anggraini, Darmiyati, Rabiatul Adawiah, Herry Porda Nugroho Putranto, Amka (semua FKIP), Juhriyansyah Dalle dan Abdul Ghofur (Teknik), Laila Refiana dan Syaiful Hifni (FEB), Huldani dan Harapan Parlindungan (Kedokteran), serta Hairudinor (FISIP). Total 17 orang sekaligus, belum ditambah gelombang sebelumnya sehingga jumlah guru besar yang kehilangan mahkota mencapai 28 orang.
Bagaimana modus operandi mereka? Sederhana tapi licik. Pertama, publikasi kilat tanpa review, kirim artikel ke jurnal predator, bayar mahal, dan dalam hitungan hari karya sudah tayang. Kedua, memanfaatkan nama jurnal mirip jurnal bereputasi, lengkap dengan klaim indeksasi palsu “terdaftar di Scopus” padahal entah Scopus versi mana. Ketiga, isi artikel asal jadi, topik tidak nyambung dengan keahlian, kalimat amburadul, lebih mirip catatan harian mahasiswa baru dari riset ilmiah. Semua dilakukan demi satu hal, angka kredit untuk meraih gelar profesor.
Yang membuat lebih menyedihkan, dana yang digunakan tak jarang berasal dari institusi. Artinya, uang rakyat ikut dibakar untuk membeli tiket VIP menuju singgasana akademik palsu. Sebuah ironi, dosen menguliahi mahasiswa tentang integritas, sementara dirinya menulis bab baru dalam kitab manipulasi. Bahkan beberapa jurnal predator mencantumkan nama akademisi internasional di dewan editorial tanpa izin, supaya terlihat bergengsi. Profesor kita pun tak peduli, yang penting terlihat keren.
Pemeriksaan pun digelar di Gedung LLDIKTI XI Banjarmasin pada 21–24 Juli 2025. Enam belas guru besar dipanggil, bukan untuk klarifikasi ala basa-basi, tapi sidang sanksi serius. ULM mencoba menyelamatkan muka, mengatakan baru satu orang yang menerima SK resmi, yaitu Juhriyansyah Dalle. Namun publik sudah membaca namanya di media, dan publik tak bisa diajak pura-pura. Klarifikasi itu terdengar seperti orang ketahuan mencuri ayam tapi tetap bersumpah, “Belum resmi, baru isu kandang.”
Kasus ini jadi sorotan nasional bukan karena jumlah kecil, tapi karena skalanya masif, 17 sekaligus, melibatkan tiga dekan aktif. Universitas lain memang pernah mengalami kasus serupa, misalnya Universitas Malahayati dengan dr. Taruna Ikrar yang gelarnya dicabut pada 30 Agustus 2023 lewat SK No. 48674/M/07/2023. Bedanya, kasus itu lebih administratif, bukan manipulasi berjamaah. Bahkan di IAIN Madura, pengukuhan dua profesor baru 29 Juli 2024 sempat “terganggu” karena publik ramai membicarakan pencabutan 11 gelar profesor dari PTN lain akibat artikel mereka terbit di jurnal internasional yang discontinued alias sudah tidak diakui.
Implikasinya jelas. Publik muak, mahasiswa putus asa, orang tua kecewa. Gelar profesor yang mestinya jadi mercusuar intelektual berubah jadi neon reklame murahan di jalan protokol. Perguruan tinggi yang seharusnya jadi menara gading malah berubah jadi menara tusuk sate, penuh lubang dan kecurangan. Jika ini dibiarkan, jangan kaget suatu hari nanti lahir profesor yang menulis artikel “Teori Relativitas Warung Kopi” di jurnal predator, lalu dengan bangga menyebut diri filsuf kampus. Saat itu tiba, kampus bukan lagi rumah ilmu, melainkan pasar malam penuh tipu daya, dan publik hanya bisa menahan mual sambil menertawakan kebodohan berjubah toga.
Tiba-tiba teringat dosen pembimbing saya, Prof Dr Syarif Ibrahim Alqadrie. Pemikiran beliau dituangkannya dalam bentuk artikel yang banyak diterbitkan media. Pemikirannya brilian dan sangat idealis. Ungkapan beliau yang selalu saya ingat, "Mana pemikiranmu? Yang ada hanya kutipan di sana-sini." Dari situlah saya menulis opini, termasuk yang kalian baca ini. Thanks prof.
#camanewak