Rosadi Jamani

-- Ketua Satupena Kalbar


SETIAP kali menulis soal MGB, pasti ada nyeletuk, “Coba tiru MBG nya China, itu baru benar-benar bergizi.” Penasaran, saya coba riset kecil, dan inilah hasilnya. Nikmati narasinya sambil seruput kopi sedikit gula aren, wak!

Di negeri raksasa bernama Tiongkok, makan siang bukan sekadar acara mengunyah, tapi ritual negara. Sejak 2011, mereka meluncurkan program bernama National Nutrition Improvement Program for Rural Compulsory Education Students. Namanya panjang sekali, sampai kalau dibaca sambil lapar bisa bikin kenyang duluan. Program ini menargetkan bocah-bocah SD dan SMP di pedesaan, lebih dari 30 juta anak tiap hari dijatah makan gratis. Bayangkan, wak! Ada 30 juta perut yang harus diisi, bukan sekadar dengan kata motivasi, tapi dengan nasi, sayur, dan lauk yang kadang terlihat heroik, kadang tragis.

Makanan itu, katanya, dimasak penuh perhatian. Ada dapur sekolah yang mengepul seperti dapur kerajaan, ada katering yang datang bak pasukan logistik perang. Menu resminya penuh karbohidrat, protein, vitamin, mineral, persis brosur kesehatan yang ditempel di klinik. Ada nasi putih, sayur hijau, daging entah ayam atau sapi, sup hangat yang kalau dipotret bisa bikin iri anak-anak kota. Semua serba bergizi. Semua seolah dipersiapkan untuk mencetak generasi emas.

Namun, jangan dulu percaya bahwa kisah ini tanpa noda. Tahun 2019, di provinsi Sichuan, puluhan siswa jatuh bergelimpangan ke toilet karena makan nasi basi dan lauk yang lebih cocok dijadikan kompos. Tahun 2020, di Gansu, lebih dari 100 siswa mendadak berubah jadi pelari cepat menuju kamar mandi setelah menikmati makan siang gratis yang ternyata penuh bakteri. Pada 2023, foto-foto lauk berjamur serta sayuran mekar sebelum waktunya viral di Weibo, membuat seluruh negeri terpingkal sekaligus geram. Begitu viralnya, pejabat pendidikan bisa langsung dicopot hanya gara-gara semangkuk sayur basi.

Drama makan siang ini persis epos besar, setiap sendok nasi adalah taruhan antara kesehatan dan malapetaka. Puluhan juta anak aman, tapi segelintir malang terjebak di pusaran keracunan. Di negara sebesar Tiongkok, ribuan kasus itu mungkin hanya statistik kecil. Tapi coba bayangkan suasana di sekolah, anak-anak terengah-engah, guru panik, dan ambulans datang berderu. Semua karena sepotong lauk gratis yang lupa diperiksa.

Namun, justru di situlah epiknya. Negara sebesar Tiongkok bisa memberi makan gratis ke puluhan juta bocah setiap hari. Itu bukan sekadar program, tapi operasi raksasa yang lebih kompleks dari membangun tembok besar. Saat terjadi keracunan, dunia maya bergemuruh, pejabat langsung gemetar, kontraktor katering masuk daftar hitam. Bandingkan dengan kita, wak, ribuan anak keracunan sudah geger nasional. Di sana, gegernya lebih karena reputasi, bukan sekadar jumlah korban.

Filsafat makan pun lahir. Manusia tidak hanya butuh roti, tapi roti yang tidak basi. Gratis memang terdengar manis, tapi gratis kadang harus dibayar dengan pajak, pengawasan ketat, bahkan risiko satu angkatan murid berjamaah ke rumah sakit. Jika Socrates hidup di Tiongkok, ia pasti bertanya, “Apakah makan gratis benar-benar kebajikan, ataukah sekadar ujian bagi perut manusia?” Plato akan menuliskan Republik versi kantin sekolah, dan Aristoteles mungkin sibuk mengukur kadar vitamin dalam sup murid.

Tapi bagi anak desa yang perutnya kosong, semua filsafat itu bisa dibuang ke tong sampah. Yang penting, ada nasi, ada sayur, ada lauk. Meski kadang keras, meski kadang berjamur, tetap saja lebih baik dari pulang sekolah dengan perut keroncongan. Di situlah letak komedi satirnya, negara besar bisa memberi makan gratis, tapi tetap saja tak bisa menaklukkan hukum alam yang sederhana, kalau basi, basi juga.

Kisah MBG Tiongkok ini adalah drama agung, ada heroisme, ada tragedi, ada tawa getir, ada muntah massal. Namun pada akhirnya, jutaan bocah tetap mendapat energi untuk belajar, berlari, bercita-cita. Kita yang baru tahu ini hanya bisa menghela napas sambil tertawa pahit, ternyata makan gratis bisa jadi epos yang lebih seru dari film kolosal. (*)

#camanewak





 
Top