Asrul Sani Abu


KECEWA itu bukan sekadar rasa. Ia adalah luka. Luka yang disimpan terlalu lama, hingga membusuk menjadi kemarahan yang menghasilkan kerusakan negeri.

Dan kemarahan rakyat selalu lahir dari janji yang tak ditepati, dari keadilan yang dikhianati.

Mari kita tarik napas sejenak….yang dalam….

Sejak kapan sih rakyat mulai kehilangan percayanya?

Barangkali sejak pemberantasan korupsi kehilangan taringnya. Sejak rakyat melihat hukum hanya berani menunduk ke atas, dan garang ke bawah.

Sejak pajak dinaikkan ugal-ugalan, tetapi tunjangan para wakil rakyat justru melonjak gila-gilaan.

Dan lebih menyakitkan lagi, ucapannya serta gayanya kerap menyinggung perasaan rakyat.

Bukankah itu ironi?

Rakyat yang lapar diminta berhemat, sementara pejabatnya berjoget ria, memamerkan pesta dan kemewahannya.

Lalu datanglah gelombang kesulitan ekonomi. Harga-harga merangkak naik, lapangan kerja menyempit, dan pengangguran tumbuh bagai jamur di musim hujan.

Di jalan-jalan, rakyat kecil berjuang subuh hingga pagi mencari sesuap nasi, sementara di gedung-gedung tinggi, segelintir orang menikmati kemewahan yang seolah tak ada habisnya.

Dan puncaknya…

Saat demo akan berakhir chaos dan kehidupan berjalan kembali seperti biasanya.

Di sebuah layar kita saksikan dengan mata sendiri.

Seorang driver ojek online meninggal dunia saat mencari nafkah. Ia tidak sedang berdemo, ia tidak sedang menuntut, ia hanya ingin membawa pulang rezeki untuk keluarganya. Tapi takdir merenggutnya di tengah jalan.

Kisah itu mengguncang. Karena rakyat tahu, itulah simbol: bahwa di balik statistik ekonomi, ada manusia yang berdarah dan berdaging, ada ayah, ada ibu, ada anak-anak yang menunggu di rumah.

Cita-cita Bangsa yang Sejati

Di titik ini kita harus bercermin.

Untuk siapa negeri ini dibangun, bila rakyatnya terus menderita?

Apa arti pembangunan, bila hanya segelintir yang di pusat yang menikmatinya?

Sejarah bangsa lain memberi pelajaran berharga.

Tiongkok pernah tenggelam dalam lumpur korupsi. Tetapi mereka berani melakukan amputasi: koruptor ditindak tanpa kompromi, hukum ditegakkan tanpa pandang bulu.

Hasilnya?

Rakyat lebih sejahtera, negara lebih kuat, martabat bangsa terangkat di mata dunia dengan sebenarnya.

Apakah kita berani menempuh jalan itu?

Solusinya, Potong Bersih Generasi yang Korup

Jalan keluar itu ada, meski pahit. Kita harus berani melakukan amputasi satu generasi pejabat yang korup. Biarlah mereka dicatat sejarah sebagai generasi yang gagal menjaga amanah.

Lalu kita bangun generasi baru anak-anak bangsa yang jujur, yang hidup sederhana, disiplin sesuai aturan yang benar-benar menjadikan rakyat sebagai panglima. Generasi yang tidak silau pada harta, tidak mabuk oleh kuasa atau jabatan.

Amputasi itu bukan sekadar mengganti wajah, tapi mengganti jiwa bukan sekedar revolusi mental namun juga jiwanya. Dari generasi yang menjual negeri, menuju generasi yang rela berkorban untuk negeri. Dari generasi yang mengkhianati rakyat, menuju generasi yang bersetia pada rakyat.

Budaya yang Harus Kita Tinggalkan

Namun mari kita jujur pada diri kita sendiri.

Masalah bangsa ini bukan hanya soal pejabat yang korup. Ada budaya buruk yang diam-diam kita pelihara: budaya melanggar aturan, budaya mencari jalan pintas, budaya kebablasan tanpa disiplin dalam budaya sehari-hari.

Budaya ini telah merasuk ke kehidupan sehari-hari dari hal kecil seperti melanggar lalu lintas, sampai hal besar seperti penyalahgunaan jabatan. Kita sering mencari celah, bukan solusi. Kita sering menoleransi kesalahan, bukan menegakkan kebenaran.

Jika budaya ini tidak kita amputasi bersama, maka siapapun pemimpinnya akan selalu terjebak dalam lingkaran yang sama.

Rakyat Hanya Ingin Keadilan

Rakyat hanya ingin satu hal: rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Keadilan yang sederhana, yang tidak harus dicari dengan biaya mahal, yang tidak hanya berpihak pada yang berkuasa.

Dan ketika hukum benar-benar ditegakkan, ketika budaya melanggar aturan kita kikis habis, ketika korupsi dimusnahkan, ketika satu generasi busuk benar-benar disingkirkan maka saat itulah rakyat akan kembali percaya.

Indonesia akan berdiri tegak.

Bukan sebagai negeri yang penuh janji palsu, tapi sebagai bangsa yang sejati: adil, makmur, dan bermartabat, berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

Dan di situlah kita, anak bangsa, benar-benar merdeka sesuai tujuan para pejuang bangsa.

Refleksi untuk Kita Semua

Namun sebelum menuding mereka yang duduk di kursi kekuasaan, mari kita juga bertanya pada diri sendiri:

Apakah kita sudah berani hidup jujur?

Apakah kita sudah berani taat aturan dalam hal-hal kecil?

Apakah kita sudah berhenti mencari jalan pintas yang justru merusak sistem yang kita kritik?

Perubahan besar tidak pernah lahir dari langit. Ia lahir dari keberanian satu per satu manusia untuk memulai dari dirinya sendiri.

Maka amputasi generasi yang korup memang harus dilakukan di atas. Tapi pembersihan budaya korup dan kebiasaan melanggar aturan harus kita mulai dari bawah dari diri kita, dari keluarga kita, dari masyarakat kita.

Karena bangsa yang kuat bukan hanya dibangun oleh pemimpin yang jujur dan adil, tapi juga oleh rakyat yang berani menjaga kejujurannya dari perilaku disiplin dan budaya hidup sesuai aturan, yang juga dilestarikan.

Apakah kita siap memulai perubahan itu dari diri sendiri? (*)

Salam




 
Top