Rosadi Jamani

- Ketua Satupena Kalbar


DI SINILAH asyiknya di negara demokrasi. Di saat mayoritas setuju, ente boleh sendiri atau segerombolan nyatakan, tidak setuju. Boleh, dan tidak dilarang. Beda di negara Kim Jong Un yang baru saja mengeksekusi warganya ketahuan menonton atau menyebarkan film dan drama asing. 

Mari kita lindas, eh salah, kupas para penolak reformasi polisi sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Di negeri +62, ada pemandangan unik yang bikin kening berkerut sekaligus perut kram ketawa. Tanggal 15 September 2025, kemarin, ada segerombolan manusia muncul di depan Gedung DPR/MPR. Mereka menolak reformasi polisi. Iya, baca lagi pelan-pelan, biar otak bisa mencerna. Mereka menolak polisi direformasi. Lah, kayak orang rumahnya kebakaran tapi teriak, “Jangan panggil pemadam, biar api berkembang secara organik!”

Koordinator lapangan, Abjan Said, tampil penuh kharisma ala motivator MLM. Katanya ada 600 massa aksi. Tapi menurut pantauan, yang hadir cuma segelintir orang, sisanya mungkin masih antre beli cilok. Kalau logika Abjan dipakai, berarti tiga pedagang kopi keliling plus kucing oranye yang tidur di trotoar juga dihitung peserta demo. Mantap, statistik rasa halu.

Mereka bilang reformasi itu punya konotasi negatif. Jangan reformasi, tapi “restorasi.” Wah, filsafat kosmik luar biasa! Kalau gigi bolong jangan ditambal, cukup restorasi senyum. Kalau dompet hilang jangan lapor polisi, cukup restorasi isi dengan doa. Kalau ada oknum polisi nabrak rakyat pakai mobil taktis, itu bukan tragedi, itu restorasi mobilitas massa.

Padahal rakyat sudah lama menjerit. Tagar #percumalaporpolisi, #satuharisatuoknum, sampai #noviralnojustice bukan trending karena netizen gabut. Itu akumulasi rasa muak. Apalagi tragedi Affan Kurniawan yang dilindas kendaraan Brimob. Tapi masih ada sekelompok orang yang dengan gagah berani bilang, “Jangan reformasi polisi, nanti sakit.” Sakitnya reformasi mungkin kayak cabut gigi, wak. Tapi mempertahankan kebusukan itu kayak hidup dengan gigi busuk satu kota, baunya kolektif.

Lebih kocak lagi, aksi mereka cuma bertahan sejam. Sekitar pukul 15.00, orator naik mobil komando, teriak dikit soal Kapolri, lalu… bubar! Bahkan DPR belum sempat keluar jendela buat ngintip. Ini demo serius apa piknik? Kalau film, judulnya Aksi Tak Sampai Senja.

Presiden Prabowo sendiri sudah setuju bikin Tim Reformasi Kepolisian. Tokoh-tokoh bangsa mendukung. Survei bilang kepercayaan publik pada polisi ambruk. Tapi segelintir orang ini muncul kayak superhero palsu, berusaha menyelamatkan institusi dari… penyelamatan. Logika macam apa ini? Ibarat orang jatuh ke sumur, ditolong pakai tali, tapi teriak, “Jangan tarik saya, biar natural!”

Nah, filsafat polisi ala saya begini, “Kalau polisi sudah kelewat banyak kasus, bukan ditutupin parfum, tapi dicuci sampai bersih.” Percuma ganti istilah jadi “restorasi” kalau budaya masih impunitas. Itu sama aja kayak ngecat ulang tembok retak, tapi fondasi tetap miring, tinggal tunggu roboh sambil berharap tetangga yang mati duluan.

So, untuk penolak reformasi polisi, terima kasih sudah jadi badut politik. Kalian bikin publik ngakak di tengah krisis kepercayaan. Ingat, mempertahankan keburukan itu bukan perjuangan, tapi stand-up comedy tanpa tiket. Bedanya, yang jadi bahan lawakan adalah nasib bangsa.

Lalu, sejarah? Oh, sejarah selalu berpihak pada yang berani memperbaiki. Yang menolak reformasi? Ya, paling banter dikenang sebagai catatan kaki, atau meme.

Sebagai pesan, mudahan didengarlah, menolak reformasi polisi itu sama saja dengan menolak perbaikan hidup sendiri. Ya, kayak orang sakit gigi tapi marah kalau disuruh cabut, atau rumah bocor tapi ngamuk kalau disuruh betulin atap.

Reformasi itu bukan musuh, justru jalan biar polisi kembali jadi institusi yang dipercaya, bukan bahan meme harian. Kalau ada yang masih ngotot menolak, mungkin mereka lebih takut kehilangan “kenyamanan dalam kebusukan” ketimbang melihat negeri ini benar-benar aman dan adil. (*)

#camanewak




 
Top