Oleh: Yosep Adi Prasetyo
Ketua Dewan Pers Periode 2016 - 2019

PASCA Reformasi 1998 terjadi pertumbuhan media yang mencengangkan. Bila pada jaman Orde Baru semua usaha pers harus memiliki Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan sejumlah persyaratan lain, serta pemerintah membatasi jumlah SIUPP, sejak UU No 4 Tahun 1999 tentang Pers diundangkan semua orang, setiap warganegara Indonesia, siapa saja dapat mendirikan perusahaan pers.

Jangan kaget apabila jaminan ini kemudian dimanfaatkan banyak orang untuk mendirikan perusahaan pers. 

Pertumbuhan media ini terkait dengan adanya peluang bisnis baru melalui media. Ada banyak pengusaha tergiur untuk mendirikan perusahaan pers dan merekrut wartawan-wartawan dari berbagai media untuk menjadi pemimpin redaksi di perusahaan pers baru mereka dengan gaji yang lumayan menggiurkan. 

Peluang ini juga dimanfaatkan oleh orang-orang yang tadinya adalah para ‘wartawan abal-abal’ untuk ikut mendirikan media sebagai peluang bisnis. 

Saat ini (data tahun 2018-red) di Indonesia total jumlah media diperkirakan mencapai angka 47.000 media. Di antara jumlah tersebut, 43.300 adalah media online. Sekitar 2.000-3.000 diantaranya berupa media cetak. Sisanya adalag radio dan stasiun TV yang memiliki siaran berita. Namun yang tercatat sebagai media profesional yang lolos verifikasi hingga akhir 2018 ini baru sekitar 2.400 perusahaan pers.

Posisi pers dan profesi wartawan yang strategis di mata masyarakat maupun kalangan pejabat, menjadi incaran baru untuk mendapatkan uang secara mudah. Hal inilah yang membuat ada banyak orang ingin menjadi wartawan dengan cara mudah melalui jalan pintas. 

Banyak mantan wartawan dan orang-orang yang sama sekali tak punya pengalaman di bidang jurnalistik nekad mendirikan perusahan pers dengan modal minim. 
Tanpa legalitas hukum dan juga tak memenuhi standar perusahaan pers. Hal inilah yang menyebabkan maraknya pertumbuhan media yang kemudian lebih dikenal sebagai “media abal-abal”. 

Merujuk pada ketentuan UU No. 40/1999, setiap orang yang berniat mendirikan usaha pers harus mengurus badan hukum berbentuk perseroan terbatas, koperasi, atau yayasan. Dalam UU juga dinyatakan bahwa setiap penerbitan pers harus 
mencantumkan nama penanggungjawab dan alamat yang jelas. 

Khusus untuk media cetak, media juga harus mencantumkan nama dan alamat percetakannya. 

Media-media abal-abal didirikan dengan asal-asalan dan tanpa modal yang memadai. Karena itulah pemiliknya, yang notabene adalah “wartawan abal-abal” juga mempekerjakan orang secara sembarangan untuk jadi wartawan dadakan, tanpa pernah memberikan pelatihan dan pembekalan keterampilan jurnalistik. 

Pemilik media memberikan “kartu pers” yang dibuatnya sendiri. Bahkan kerap tanpa memberi gaji dan malah mewajibkan sang “wartawan” untuk memberikan setoran bulanan kepada pemilik media.

Kelompok "abal-abal" juga mendirikan sejumlah organisasi. Kelompok ini ingin memanfaatkan kesempatan di tengah tidak pahamnya aparat pemerintah daerah maupun organisasi pemerintah daerah (OPD) akan UU Pers maupun peraturan Dewan Pers terkait wartawan maupun perusahaan pers.

Dalam menjalankan praktik “abal-abalisme“-nya, kelompok ini juga kerap mengaku ataupun merangkap sebagai aktivis LSM, bahkan kantor pengacara. Kantor LSM atau pengacara digunakan sebagai penekan, kadang-kadang sebagai narasumber sendiri dalam pemberitaan. 

Namun ketika berhadapan dengan hukum, kelompok abal-abal ini, baik “media’’ atau sang “wartawan” menggunakan alasan kemerdekaan pers dan UU No 40 Tahun 1999 sebagai tempat berlindung. 

#disarikan dari JURNAL Dewan Pers
edisi 18 | November 2018



 
Top