Oleh: Yoss Prabu
SEJARAH Indonesia, kalau diibaratkan pacar lama, adalah sosok yang katanya manis tapi begitu kita buka-buka lagi chat-nya, kok banyak yang janggal. Kenapa dulu dia bilang “aku cuma temenan kok sama Belanda,” tapi kenyataannya mereka pacaran 350 tahun? Itu pun tanpa ngasih status. Kalau bukan sejarah, pasti udah viral di TikTok dengan hastag #GhostingKolonial.
Lalu, datanglah gerakan penulisan ulang sejarah, katanya demi meluruskan yang bengkok. Tapi bukankah sejarah itu seperti mantan, kita bisa ubah cerita tentangnya, tapi rasa sakitnya tetap nyata? Bahkan dalam bentuk kurikulum nasional.
Bayangkan, suatu hari nanti anak-anak sekolah akan membaca bahwa VOC bukanlah perusahaan dagang, tapi startup logistik pertama di Asia Tenggara. Mereka akan mempelajari bahwa Diponegoro sebenarnya adalah influencer spiritual dengan jutaan pengikut sebelum Instagram ada. Dan penjajahan? Ah, itu hanya collaboration gone wrong.
Namun siapa kita, manusia biasa dengan utang cicilan dan saldo e-wallet yang labil, untuk menolak sejarah yang ditulis ulang? Kita pun ikut saja, seperti ikut webinar tanpa paham isinya. Tapi hati kita, oh hati kita, masih menolak logika baru yang mencoba menjelaskan bahwa 1965 hanyalah tahun yang “kurang asyik untuk dibahas di buku pelajaran.”
Di tengah pusaran itu, saya jatuh cinta.
Ya, cinta datang tak kenal waktu. Ia muncul saat saya sedang membaca ulang naskah sejarah alternatif versi milenial. “Kerajaan Majapahit sebagai Pioneer Negara Agritech Berbasis Blockchain”. Di perpustakaan kampus, di bawah cahaya lampu redup dan tumpukan tesis-tesis gagal, dia duduk. Namanya Lestari. Seperti nama-nama desa yang kerap dijadikan lokasi pembantaian fiktif demi menambah dramatisasi sejarah versi sinetron.
Dia tersenyum dan berkata, “Kamu tahu, sejarah itu ditulis oleh mereka yang menang. Tapi cinta? Ditulis oleh mereka yang patah.”
Saya langsung ingin melamarnya, atau setidaknya mengajaknya minum es cendol, di tepi jurang. Tapi kita tahu, hidup tidak semudah skrip FTV. Maka kami hanya duduk berdiskusi. Dari Gadjah Mada sampai Gandrung Banyuwangi. Dari Kartini sampai K-pop.
Ia mengutip Pramoedya, saya membalas dengan kutipan dari lirik Peterpan. Kami saling membalas, seperti catatan kaki yang terlalu panjang tapi tak bisa dihapus.
Kami sepakat satu hal, sejarah Indonesia terlalu sayang untuk dibiarkan begitu saja. Ia perlu disentuh, dicumbu, diraba-raba ulang, seperti puisi yang ingin dipentaskan ulang oleh aktor yang gagal audisi.
Tapi juga, jangan terlalu sering direvisi, nanti bingung mana yang nyata, mana yang headcanon.
Ada yang ingin menulis ulang sejarah agar lebih patriotik, tapi apa bedanya dengan mengedit foto agar terlihat lebih tirus? Nyatanya tetap sama, manipulasi. Yang satu demi bangsa, yang satu demi engagement.
Namun di balik semua sarkasme dan satire ini, saya percaya mungkin memang sejarah perlu ditulis ulang. Bukan karena kita benci masa lalu, tapi karena kita sedang belajar berdamai. Mungkin ini seperti kita akhirnya bisa bilang ke mantan, “Terima kasih sudah menyakiti, karena tanpamu aku takkan jadi sehebat ini. Walau masih trauma lihat yang mirip kamu.”
Ia pergi malam itu, meninggalkan saya dengan dua ciuman di pipi dan satu salinan manuskrip, “Nusantara, Antara Mitologi dan Monopoli.” Saya tidak menangis. Hanya termenung, seperti patung Arjuna Wiwaha, menunggu dicatat ulang.
Sejak saat itu saya tahu, menulis ulang sejarah Indonesia adalah pekerjaan yang berat, melankolis, filosofis, romantis, dan ya, terkadang konyol. Tapi bukankah hidup juga begitu? Campur aduk antara kebenaran, kebohongan, dan es cendol yang tumpah di meja warung.
Dan siapa tahu, suatu hari nanti, sejarah akan mencatat kita juga, bukan sebagai pahlawan, bukan sebagai penjahat, tapi sebagai dua orang yang percaya bahwa menulis ulang itu bukan soal menghapus luka, tapi memberi makna baru pada bekasnya. (*)
Jakarta, 04 Juni 2025
Diolah dari berbagai sumber:
https://www.tempo.co/politik/kontroversi-penulisan-ulang-sejarah-indonesia-1563498
https://www.google.com/amp/s/www.detik.com/edu/edutainment/d-7905955/menbud-targetkan-penulisan-ulang-sejarah-indonesia-rampung-pada-17-agustus-2025/ampe
https://www.goodnewsfromindonesia.id/short/pemerintah-akan-revisi-catatan-sejarah-indonesia