SELAMA bertahun-tahun penduduk Minangkabau mempercayai bahwa asal usul nama daerahnya berasal dari satu peristiwa mengadu kerbau besar dengan kerbau kecil antara tentara kerajaan Majapahit dengan rakyat Minangkabau.
Ditambah lagi dengan adanya beberapa nama kampung di area pertarungun adu kerbau itu dengan nama Jangat, Sempurut dan lain-lain yang dipercayai adalah bekas pelarian kerbau besar itu dalam menemui ajalnya.
Tetapi dalam penafsiran kata "MINANG" saja sudah terdapat beberapa pertikaian pendapat. Kalau kata minang itu berasal dari MENANG-KERBAU yaitu kerbau yang menang dalam pertandingan adu kerbau itu maka tak mungkin kemudian namanya menjadi minang melainkan seharusnya MANANG. Sebab kata menang yaitu kata-kata dengan vokal "e" kalau di bahasa Minangkan akan menjadi Manang, Semang menjadi Samang, Pedang menjadi Padang, Tenang menjadi Tanang dan lain-lainnya.
Jadi menang harusnya menjadi manang. Bila merujuk hukum etimologi ini, nama Minangkabau mestinya MANANGKABAU, bukan Minangkabau. Akan tetapi namanya justru menjadi Minangkabau.
Lalu para ahli mencari dalih atau alasan lain. Kata minang itu menurut keterangan mereka ialah minang yang artinya sejenis besi runcing, kata setengahnya timah yang diikatkan di moncong anak kerbau yang sedang erat menyusu lalu saat berhadapan dengan lawannya. Kerbau bocah ini menyundak-nyundak di bawah perut kerbau besar itu sehingga terburailah perut kerbau besar kena tusukan minang atau "basi runciang" itu, Lalu, bernamalah daerah itu dengan Minangkabau.
Namun, Buya Hamka membantah tafsiran ini. Menurut keterangan Hamka, minang itu asalnya dari "Mainang Kabau" yang artinya menggembala kerbau.
Jadi pada zaman itu orang Minang gemar menggembala atau "mainang kabau" sehingga daerahnya dinamakan "Mainangkabau" yang lambat laun berubah menjadi Minangkabau.
Menurut tafsiran Kron seorang ahli sejarah Belanda, pengaduan kerbau itu bukanlah satu situasi yang menentukan sehingga penduduk daerah itu akhirnya menamakan daerahnya dengan hasil dari pertandingan tersebut.
Laga kerbau itu hanyalah satu acara dalam pesta raya yang diadakan antara tentara Majapahit dengan Minangkabau dalam suasana persahabatan dan misi diplomasi untuk mempererat hubungan silaturrahim antara tentara yang datang dari Jawa yang gunanya untuk mampersatukan tenaga dan bertekad bulat untuk menentang musuh yang datang dari luar. Dalam hal ini ialah pasukan-pasukan dari Cina yang sudah mengamuk pada zaman pemerintahan Raja Kartanegara.
Hubungan ini juga dipererat dan ditandai dengan pemberian hadiah arca Amoghapaca ke Melayu. Ihwal pemberian hadiah ini disebutkan dalam prasasti Padang Roco 1286 dan dikatakan hadiah ini sangat menggembirakan rakyat tanah Melayu. Namun orang belum menyebut-nyebut nama daerah Minangkabau pada masa itu padahal yang dimaksud dengan Melayu itu ialah kerajaan Minangkabau yang berdiri sepanjang hiliran sungai Batang Hari.
Barulah Prapanca menulis dalam bukunya yang terkenal Negarakertagama nama yang sudah menjurus kepada etimologi nama Minangkabau yaitu "Manangkabwa". Kemungkinan besar nama ini sudah ada sebelum tahun 1365 pada saat Negarakertagama ditulis oleh Prapanca.
Lantas apakah pertandingan adu kerbau itu memang sangat menentukan dalam ekspansi Majapahit ataukah hanya sekadar beriang-riang dalam satu acara perhelatan?
Difikir secara mendalam, apakah sebuah nama daerah yang waktu itu terkenal, kaya dan diperintah oleh negarawan-negarawan besar akan dengan gampang saja mengambil nama yang berasal dari pertandingan kerbau?
Hal itu sulit diterima oléh pikiran kritis angkatan sekarang ini. Malahan ada yang mengatakan jika memang ada acara adu kerbau itu maka nama daerah ini pada masa itu sudah bernama Minangkabau juga adanya. Jadi pendapat sudah silang siur dan tak dapat diambil satu kesimpulan yang mana benar asal usul nama Minangkabau secara hukum etimologi.
Kemudian muncullah nama-nama yang dibahas berdasarkan geografi dan asal usul daerah yang bernama Minangkabau itu.
Menurut Prof. Purbaçaraka nama Minangkabau itu berasal dari "Minanga Tamwan". Tamwan itu sama artinya dengan dua buah sungai kembar yaitu yang dimaksud olehnya ialah sungai Kampar Kanan dan sungai Kampar Kiri sebab kedua sungai itu sama besarnya. Tetapi jika memang itu yang dimaksud Purbacaraka maka tentunya letak Minangkabau jauh di hilir sungai Kampar yaitu dekat Pelalawan (Memang dahulu di daerah ini ada sebuah kerajaan yaitu dekat Kuntu tetapi ini bukannya kerajaan Minangkabau, Minangkabau lebih jauh lagi ke hulunya).
Lalu, kalau Minanga Tamwan ini adalah pertemuan batang Mahat dengan sungai Kampar Kanan maka dapat juga diterima akal sebab tak berapa jauh sebelah pertemuan kedua sungai ini terletak bekas kerajaan Muara Takus yang sekarang masih didapati bekas-bekasnya yaitu berupa stupa dan batu bersurat.
Menurut kepercayaan penduduk di sekitar Muara Takus, sekali setahun segala gajah-gajah dalam hutan sekitar Muara Takus datang berkumpul ke bekas candi itu dan mengitari candi dalam satu upacara tradisionil. Bukantah, pemimpin gajah- gajah itu berasal atau keturunan dari gajah yang dahulu pernah melakukan upacara tradisionil pada zamannya karajaan itu berdiri dan masih ingat atau masih tetap mematuhi acara-acara yang dilakukan pada zaman kerajaan itu.
Namun letak bekas kerajaan Muara Takus itu belum juga menjamah tempat kedudukan pusat kerajaan Minangkabau di Pagar Ruyung walaupun pada zaman itu ada terjadi hubungan diplomasi antara kedua kerajaan tersebut.
Perubahan etimologi kata "Minanga tamwan" atau "Minanga kamwan" inilah yang lama kelamaan berubah menjadi Minangkabau, walau dalam situasi daerah agak sukar bagi kita menerimanya.
Tetapi kalau kedua sungai kembar yang dimaksudkan itu batang Kuantan, dengan anaknya batang Sinamar bisa juga diterima akal sebab melalui sungai-sungai inilah nenek moyang bangsa Minangkabau datang dan terus memudiki sungai itu sampai ke Lagundi nan Baselo parkampungan tertua di Minangkabau yaitu Periangan Padangpanjang.
Van der Thuk seorang ahli bahasa Belanda merangkan bahwa asal kata Minangkabau ialah "Pinang Khabu" yang artinya "TANAH ASAL".
Seandainya para ahli sejarah ingin memastikan dan mengambil kesimpulan mana yang mungkin benar atau dapat diterima dari sekian banyak pendapat itu tentang nama Minangkabau pastilah akan menelan waktu yang cukup lama dan pembahasan yang panjang sehingga penduduk Minangkabau tidak lagi mempercayai bahwa nama daerahnya berasal dari adu kerbau atau memang berasal dari adu kerbau itu dengan penetapan tentang perubahan etimologie kata-katanya.
Bagi penduduk Minangkabau sebenarnya bukan soal, malahan kalau mereka dikatakan jika sudah pergi merantau yang dibawanya hanya "Kerbau" saja dan "Menang"nya tinggal di kampung mereka hanya akan menyambut dengan adem-adem saja alias masa bodoh namun dari segi sejarah hal ini amat penting.
Bila kita tinjau dari halaman sejarah, asal kata yang diungkapkan oleh Prof. Purbacaraka itu, beliau mendasarkan pendapatnya dari sebuah prasasti di Kedukan Bukit Palembang yang bertahun Saka 605 dan berbahasa Melayu Kuno.
Untuk jelasnya bunyi prasasti Kedukan Bukit itu setelah diterjemahkan:
Selamat tahun Saka telah berjalan 605 tanggal 11. Separo terang bulan Maikaca yang dipertuan Hyang naik di perahu mengambil perjalanan suci. Pada tanggal 7 paro terang bulan Jyastha Yang Dipertuan berangkat dari Minanga Tamwan membawa bala tentara dua puluh ribu dengan peti dua ratus berjalan diperahu dengan jalan darat seribu tiga ratus sepuluh dua banyaknya. Datang dimata yap bersukacita pada tanggal 5 bulan.... dengan mudah dan senang membuat kota Sriwijaya yang disebabkan memang perjalanan suci menyebabkan kemakmuran....
Dalam tafsiran prasasti ini diterangkan bahwa seorang raja besar berangkat dengan berpuluh ribu tentaranya dari Minanga Tamwan setengahnya naik perahu sebagiannya berjalan kaki. Teranglah bahwa angkatan besar ini datang dari daerah Minangkabau dan singgah di Yap yang maksudnya kira-kira Jambi sekarang dan Minanga Tamwan ini letaknya di Muara Takus yaitu markas besar agama Budha Mahayana.
Sementara, kata "mudita" itu dapat diartikan mudik maka angkatan besar itu sudah memudiki sungai Musi dan membuat negeri di Palembang yang dinamakan pada masa itu dengan Srivijaya. Tetapi siapakah nama raja yang membuat long march sejauh dan sehebat itu? Tidak ada dijelaskan dalam prasasti di Kedukan Bukit itu. Tetapi jelas ia raja dari Minangkabau sebab ia bergelar Datuk.
Sesuatu yang dapat kita terima dari prasasti ini ialah nama sungai Kampar yang mulanya dinamakan kamwar atau kambar sebab kedua sungai itu sama besar seakan-akan kembar sehingga bernama yang satu Kembar yang lama kelamaan berubah menjadi sungai Kampar.
Dalam Hikayat Raja-raja Pasai ada juga ditemui tentang mengadu kerbau itu yang kemungkinan pula penulisnya sudah menjual kembali omongan yang diterimanya dari rakyat Minangkabau dengan menunjukkan bukti-bukti nama-nama tempat seperti Sempurut, Sijangat, Padang Sibusuk yaitu tempat mati dan tergoleknya kerbau besar dari Jawa itu. Tetapi bahwa kemungkinan adu kerbau itu memang ada dalam beberapa versinya.
Yang dinamakan daerah Minangkabau itu terdapat juga beberapa pendapat yang berbeda. Tetapi ini tak usah diherankan sebab dalam pepatah Minang sendiri ada dikatakan "Sekali air gedang sekali tepian beralih, sekali gadang berganti sekali perintah bertukar".
Mungkin raja yang menggantikan raja yang terdahulu lebih aktif dan berusaha meluaskan wilayah kekuasaannya dengan berbagai macam cara.
Menurut kata setengah buku Tambo Adat Minangkabau, daerah Minangkabau itu batas-batasnya ialah sampai ke Sikilang Air bangis, sampai ke Taratak Air Hitam, sampai ke Sipisau Pisau Hanyut, Durian Ditakuk Raja, sampai ke Gunung Patah Sembilan, sampai ke laut nan sedidih. Dalam setengah tambo sampai keriak nan berdebur yang dimaksud ialah daerah Bandar X (sampai perbatasan Kerinci ). Lalu, dimana pusatnya ? Sampai muara Takung Mudik, Alahan Panjang, seedaran gunung Merapi, selingkung gunung Singgalang, seedaran gunung Pasaman sampai ke Sikilang Air Bangis.
Kalau dibawa kepada topografi sekarang ialah daerah yang masa belanda dikatakan Keresidenan Sumatera Barat dan penduduknya terbagi dua yakni Minangkabau Asli (Minangkabau Praper) atau dikatakan juga dalam satu istilah Padang Darek. Daerah-daerah yang ada disekitarnya disebutkan sebagai daerah rantau.
Menurut tambo ada 9 daerah rantau:
1. Kuantan Inderagiri,
2. Siak Sri Inderapura,
3. Rao Mandahiling,
4. Natal Air Bangis
5. Tiku, Pariaman,
6. Ranah Sungai Pagu (Muara Labuh),
7. Padang Pesisir Barat,
3. Tapan, Inderapura dan
9. Jambi Sembilan Lurah.
Yang dimaksud dengan daerah rantau bukanlah daerah yang ditaklukkan oleh kerajaan Minangkabau melainkan daerah-daerah yang lama kelamaan dikuasai dan didiami oleh suku-suku Minang yang datang dari Kelarasan yang tiga.
Jadi sebenarnya penduduk daerah rantau itu ialah penduduk Minangkabau juga dengan tetap memegang adat istiadatnya hanya dalam prosedurnya sudah berubah sedikit-sedikit disebabkan iklim, suasana, masyarakat dan pengaruh-pengaruh yang datang.
source:
- Digitized from the original text from A Damhoeri's collections
- Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society
- Hamburg University, dejava history 1512 -Duarte Barbosa