Oleh: Ombud
“Huhuhuhuhu…” Tangis itu terdengar lirih, nyaris tertelan namun memilukan. Di pojok kamar kos yang pengap, Oti duduk memeluk lutut. Rambutnya kusut, matanya sembab. Ia menangis tanpa tahu alasan pasti.
Tuti yang sedang tidur di ranjang sebelah terbangun. Dia kaget melihat sahabatnya menangis sedih seperti itu. Dengan sigap dia bangkit dan memeluk Oti sambil bertanya, “Oti… ada apa? Kok kamu nangis?”
“Aku… nggak tahu. Nggak ngerti. Tiba-tiba aja sedih banget,” sahut Oti menggelengkan kepala dengan bibir gemetar.
“Keluarin aja apa yang kamu rasakan. Kamu boleh cerita apa aja sama aku. OK?” kata Tuti sambil mengusap-usap punggung temannya.
“Makasih, Tut,” jawab Oti dengan napas berat, “Rasanya kayak… hampa tapi juga penuh. Kayak semua hal datang berbarengan; rasa takut, kegagalan, rasa bersalah, bayangan mantan… semua numpuk di kepala. Padahal tadi siang aku baik-baik aja.”
Sejenak keduanya terdiam sampai akhirnya Tuti berkata lagi, “Mungkin kamu terjebak dalam keheningan.”
“iya, betul. Di saat-saat hening dan gak bisa tidur aku sering banget merasa kayak gini.”
“Nah, itu dia. Saya punya jawaban kenapa kamu tiba-tina merasa galau tanpa juntrungan.”
“Kenapa, Tut?”
“Begini. Kita punya tubuh dan otak. Salah satu dari mereka harus aktif. Kalo dua-duanya istirahat, kita biasanya terjebak dalam keheningan. Itu yang menyebabkan kegalauan muncul.”
“Maksudnya gimana, Tut? Kok aku belum ngerti.”
Pernahkah kalian merasakan seperti yang dialami Oti? Rasa hampa tiba-tiba datang begitu saja tanpa sebab. Kalo iya, nggak usah cemas. Semua orang pasti pernah mengalaminya. Penyebabnya adalah karena kita memberi ruang kosong—baik secara fisik maupun mental. Ruang kosong itu bisa dicegah jika salah satu dari otak atau tubuh tetap bekerja
Agar lebih memudahkan pengertian, mari kita bayangkan ruang kosong itu adalah sebuah panggung. Tubuh atau otak harus selalu mengisi panggung tersebut secara bergantian. Jika tubuh dan otak kita beristirahat berbarengan, maka panggung tersebut akan kosong. Dan ini yang bikin gawat: kegalauan adalah banci tampil yang selalu ingin mendominasi.
Mengetahui ada panggung kosong, Si Galau langsung tampil mengsi panggung. Di sana dia membawa aktor-aktornya seperti Si Sedih, Si Kecewa, Si Marah dan lain-lain. Itu sebabnya manusia suka sekali mengeluh tentang nasibnya. Bahkan ada yang sampai berlomba-lomba menentukan siapa yang lebih menderita dalam hidup. Kesian ya…
Secara alami, tubuh kita perlu beraktivitas, sehingga otak punya waktu untuk mendinginkan diri. Ketika tubuh ada pergerakan misalnya berjalan, beres-beres rumah, mencuci piring atau menyetrika, maka otak bisa istirahat.
Sebaliknya, saat otak yang bekerja, misalnya berpikir, menganalisis, melukis atau menulis buku maka giliran tubuh yang beristirahat. Intinya adalah mereka bekerja bergantian sehingga panggung tidak pernah kosong.
Yang perlu diperhatikan adalah masalah akan muncul ketika keduanya berhenti melakukan aktivitas. Tubuh yang doyan tidur dan otak yang pemalas akan menciptakan ruang kosong sehingga membuat kita terjebak dalam kehampaan emosional. Inilah yang sering menimbulkan perasaan galau yang tidak bisa dijelaskan.
“Oh, baru tau.” Diam-diam Oti kagum sekali pada sahabatnya yang sangat cerdas ini.
“Jadi kegalauan datang bukan karena kita lemah, tapi karena kita lengah,” lanjut Tuti sambil melepaskan pelukannya.
“Karena kita membiarkan panggung kosong terlalu lama,” selak Oti mulai menangkap maksud sahabatnya.
“Betul! Biar panggung kamu nggak kosong, ayo kita keluar sebentar. Jalan kaki keliling komplek sekalian olahraga.”
“Wah, ide bagus. Supaya tubuh mengisi panggung, kan?” tukas Oti bersemangat.
“Betul. Tapi kalo kamu lebih suka otak yang mengisi panggung, ayo kita nulis bareng. Nulis apa aja boleh.”
“Lagi nggak mood buat nulis.”
“Jangan nunggu mood buat mulai. Kita mulai dulu, baru mood-nya nyusul.”
“Kita jogging aja, deh.” Oti memutuskan sambil tersenyum manis.
Keduanya langsung berganti pakaian olahraga dan pergi bersama ke taman rumput yang berada tidak jauh dari tempat kos-kosan itu. Dan percaya nggak? Cuma membutuhkan waktu beberapa menit, Oti sudah kembali ceria. Rasa galau langsung tersingkir dari panggung.
Dalam hidup jangan pernah menempatkan diri sebagai penonton. Kita adalah sutradara yang memegang kontrol atas hidup kita. Kita memiliki panggung besar dalam kehidupan yang penuh dengan banyak aktor—si sedih, si senang, si pemarah, si kalem, dan banyak lagi. Tapi penting dipahami bahwa kitalah yang memegang kendali. Kitalah yang menentukan siapa yang tampil di panggung, siapa yang mengisi peran, siapa yang menonjolkan diri, dan siapa yang mundur.
Tapi jangan salah paham. Otak dan tubuh tentu saja boleh istirahat bersama-sama. Bahkan harus. Tapi hanya di satu momen yang tepat yaitu saat tidur. Kenapa? Karena tidur adalah satu-satunya waktu di mana panggung benar-benar boleh gelap. Semua lampu dimatikan, semua aktor berhenti tampil, dan tirai ditutup rapat. Itu sebabnya tidur dengan lampu dimatikan sangat dianjurkan.
Tidur adalah fase di mana sang sutradara sedang mengisi ulang energi, mempersiapkan panggung untuk pertunjukan hari esok. Maka jangan gantikan waktu tidur dengan sekadar rebahan kosong atau melamun tanpa arah. Panggung yang dibiarkan kosong tanpa sengaja, justru bisa diambil alih oleh drama yang tak ingin kita tonton.
Jadi, kalau ingin hidupmu berjalan sesuai skenario terbaik, tidurlah saat malam tiba. Matikan lampu. Istirahatlah. Besok kita mulai cerita baru lagi. (*)