Rosadi Jamani

Ketua Satupena Kalbar


SETIAP saya menulis tentang aksi Forum Purnawirawan TNI, banyak netizen mengkaitkannya dengan Dewan Jenderal. Bagi anak sekarang, mungkin asing dengan istilah Dewan Jenderal itu. Sambil menikmati segelas kopi di Warkop Anugerah Bengkayang, Kalbar, mari kita dalami istilah tersebut agar tambah pengetahuan sejarahnya.

Dewan Jenderal. Bukan orkestra militer yang memainkan gamelan sambil baris-berbaris. Bukan pula boyband berseragam loreng dengan single debut berjudul “Menyusun Kudeta untukmu”. Tapi sebuah entitas, setengah nyata, setengah mitos, yang dikabarkan ingin menggulingkan Sang Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno, tepat pada Hari ABRI, 5 Oktober 1965. Sebuah tanggal yang katanya dipilih agar kudetanya terlihat patriotik dan bisa minta diskon di toko seragam.

Menurut gosip kelas kakap dari Biro Khusus PKI, yang lebih rajin memata-matai dari ibu-ibu PKK saat rapat RT, Dewan Jenderal ini sudah menyusun kabinet bayangan. Lengkap! Dari Perdana Menteri, Menteri Pertahanan, Menteri Agama, sampai Menteri yang entah kenapa harus juga merangkap sebagai Panglima. Semua serba militer. Rakyat sipil? Ke laut saja.

Namun ada satu masalah kecil, kecil sih menurut ukuran partai revolusioner, tidak ada bukti Dewan Jenderal itu benar-benar ada. Ya, betul. Tidak ada notulen rapat. Tidak ada absen kehadiran. Bahkan tidak ada kopi sachet sisa rapat konspirasi. Semua hanya berdasarkan “katanya” dan “dengar-dengar”, alias standar baku sumber sejarah Indonesia kala itu.

Lalu siapa sebenarnya Dewan Jenderal ini? Nah, menurut Letjen Ahmad Yani, salah satu tokoh utama yang keburu dibunuh sebelum sempat klarifikasi, itu hanyalah nama beken dari Wanjakti, alias Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi. Sebuah lembaga yang kerjaannya bukan bikin kudeta, tapi nyusun siapa yang naik pangkat jadi kolonel, siapa yang stuck di mayor, dan siapa yang harus menunggu sambil ngopi di kantin Kodam. Dengan kata lain, HRD-nya TNI AD. Tapi nasib HRD ini tragis, dituduh makar, lalu dibantai.

PKI yang waktu itu lagi semangat revolusioner, melihat Dewan Jenderal ini sebagai ancaman yang lebih serius dari kenaikan harga beras. Maka mereka pun bertindak. Lahirlah Gerakan 30 September, operasi penyelamatan revolusi yang gagal lebih cepat dari sinetron rating rendah. Tujuh jenderal diculik dan dibunuh. Tapi yang lebih ironis, PKI sendiri justru ikut terkubur bersama mitos yang mereka bangun.

Di tengah kekacauan itu, Bung Karno, sang wayang politik, berdiri di panggung sejarah seperti dalang bingung. Ia melihat anak ideologisnya (PKI) memakan tentara yang selama ini menjaganya. Ia menyaksikan republiknya menguap dalam api saling curiga dan darah sesama anak bangsa. Epik, bukan?

Setelah debu mereda dan Orde Baru naik ke tahta dengan semangat pembangunan dan sensor, Dewan Jenderal resmi dijadikan momok. Buku pelajaran, film propaganda, dan pelajaran PPKn pun kompak menyebutnya dalang utama. Padahal, jejak digital dan arsip kearsipan sama sekali tidak bisa menemukan lembar daftar hadir rapat Dewan Jenderal. Sejarah Indonesia seolah berkata, “Tak perlu bukti, cukup narasi yang solid dan seragam militer yang meyakinkan.”

Kini, ketika generasi rebahan membuka ulang lembar sejarah, mereka bertanya, benarkah Dewan Jenderal itu ada? Ataukah ia cuma makhluk mitologi yang diciptakan oleh ketakutan kolektif dan nafsu kuasa? Kita mungkin tak pernah tahu. Tapi satu hal jelas, di negeri ini, bahkan HRD bisa dituduh menggulingkan presiden.

Dewan Jenderal sangat terkenal di masanya. Sekarang, tidak ada lagi Dewan Dewan Jenderal, adanya Purnawirawan Jenderal. (*)


#camanewak






 
Top