Oleh: Ririe Aiko


BELAKANGAN, publik dibuat terperangah—atau mungkin terpingkal—oleh pernyataan seorang pejabat bahwa mereka yang bergaji Rp15 juta itu lebih sehat dan lebih pintar. Sebuah klaim yang, kalau tidak sedang menulis opini, mungkin layak diajukan sebagai sinopsis serial komedi situasi.

Mari kita telaah perlahan. Lebih sehat? Tentu saja. Dengan gaji Rp15 juta, siapa yang tak bisa rutin jalan pagi di kawasan elite sambil menyeruput cold-pressed juice seharga nasi padang lima porsi. Siapa yang tak bisa memilih makanan organik, memanggil psikolog via aplikasi, atau bahkan healing ke Bali ketika stres melanda? Bandingkan dengan mereka yang harus memilih: beli sayur atau bayar cicilan? Jalan kaki bukan untuk olahraga, tapi karena tak sanggup naik ojek. Konseling? Mereka yang punya gaji dibawah rata-rata bahkan tak punya waktu untuk stress atau bersedih karena terbiasa menelan derita.

Tapi mari kita telisik bagian yang lebih filosofis dari pernyataan itu: lebih pintar. Ini menarik. Apakah yang dimaksud adalah bahwa kecerdasan seseorang diukur dari slip gajinya? Kalau begitu, mohon maaf untuk para guru, dosen, peneliti, pustakawan, tenaga kesehatan daerah, dan berbagai profesi mulia lainnya yang tak mencapai angka sakral 15 juta. Mungkin mereka cerdas, tapi ya… belum pintar. Mungkin karena mereka memilih membaca buku, bukan laporan keuangan perusahaan atau tender proyek?

Pernyataan ini seperti menampar diam-diam, lalu berkata, “Maaf, saya hanya jujur.” Seolah-olah orang-orang yang digaji di bawah Rp15 juta itu memilih hidup di dalam sistem yang menghargai jasa mereka lebih murah dari biaya sewa billboard promosi calon pejabat. Padahal realitanya, mereka tidak bodoh, hanya tersandera sistem. Mereka tidak miskin karena malas, tapi karena sistem ini memaksa mereka berdamai dengan kenyataan bahwa kecerdasan mereka tidak cukup komersil untuk dihargai lebih mahal.

Ironisnya, yang membuat sistem itu… ya, para pejabat juga. Bahkan lebih ironis lagi, kita sudah sering dengar cerita: gaji pejabat besar, tunjangan tak berseri, fasilitas mengalir deras—eh, masih juga bisa tersandung kasus korupsi. Jadi, apakah lebih pintar itu artinya lebih lihai menyembunyikan rekening gendut? Lebih sehat karena jarang cemas walau sudah merugikan negara?

Ini bukan soal iri. Ini soal empati. Karena logika “yang bergaji tinggi pasti lebih pintar dan sehat” itu menegasikan perjuangan ribuan rakyat yang bekerja jujur, membaca buku di sela dua pekerjaan, dan mengajar anak bangsa dengan semangat meski gajinya tak cukup untuk kredit motor.

Mungkin saatnya kita ganti parameter: pintar itu bukan karena gaji besar, tapi karena tahu bagaimana berbicara tanpa melukai. Dan sehat itu bukan sekadar tubuh kuat, tapi juga hati yang tak gampang merasa paling benar karena dompetnya lebih tebal. (*)





Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama
 
Top