SOLOK, SUMBAR -- Sesuatu yang khas di Ranah Minang ialah bahwa setiap laki-laki yang telah dianggap dewasa, wajib memiliki "gala" (gelar-red). Ini selaras dengan pantun adat yang berbunyi "Pancaringek tumbuah di paga, diambiak urang ka ambalau. Ketek banamo gadang bagala, baetu adaik di Minangkabau". Yang artinya, pancaringek (sejenis tumbuhan-red) tumbuh di pagar, diambil orang ke ambalau (nama sebuah tempat-red). Kecil memiliki nama, jika sudah besar diberi gelar, begitu adat di Minangkabau. 

Dedek Gunawan, SH, MH, seorang advokat yang eksis di Pekanbaru Riau sekaligus "rang sumando" Minangkabau, melalui pers relisnya, Rabu (12/6/2019), mengulas bahwa di Minangkabau ada tiga jenis "gala" atau gelar yang diberikan kepada kaum laki-laki, yaitu "Sako", "Sangsako" dan "Muda". 

"Gala Sako" adalah gelar yang bersifat institusional dalam kaum, kampung, nagari dan dalam kerajaan di Minangkabau. Pemberian gelar harus sesuai dengan karakter masing masing penerimanya, serta telah melalui mufakat, seiya-sekata dulu kaum serta ninik mamak.

"Gala Sako tidak bisa diberikan kepada orang lain. Gelar ini hanya diberikan kepada orang yang bertalian darah. Harus jelas silsilah dan jelas garis keturunan atau ranji-nya. Baik dari sisi patrilinial maupun matrilinial," ulas "rang sumando" Jorong Tigo Balai, Nagari Koto Laweh Kecamatan Lembang Jaya, Kabupaten Solok tersebut. 

Kemudian, "Gala Sangsako". Ini merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada pribadi-pribadi tertentu, baik dia orang Minang maupun orang di luar Minangkabau yang telah berjasa kepada bangsa dan negara, serta berjasa pula ke masyarakat Minangkabau.

Sedangkan "Gala Muda" adalah gelar yang diberikan ketika seorang pria telah menginjak usia dewasa. Dalam adat Minangkabau, pemberian gelar ini diibarat seorang anak angsa, kecil diberi nama, besar diberi gelar. Dalam bahasa Minang disebut, "ketek banamo, gadang bagala". 

Selaku "rang sumando" Nagari Koto Laweh, Dedek beserta rombongan dari Pekanbaru berkesempatan menghadiri sekaligus menyaksikan prosesi "batagak gala" di kampung halaman istrinya, Jorong Tigo Balai Nagari Koto Laweh Kecamatan Lembang Jaya, Kabupaten Solok, Sabtu (8/6/2019).

Jauh hari sebelum pelaksanaan prosesi "batagak gala", pihak "Kaum Suku Malayu" selaku "si pangka" (tuan rumah-red) mengawali dengan "Babarito Kampuang" atau menyebarluaskan informasi ihwal rencana dan agenda "batagak gala" kepada pihak-pihak berkompeten, baik yang berada di kampung maupun di perantauan.

Paginya, sebelum "batagak gala", dilaksanakan pemotongan satu ekor sapi dan satu ekor kambing. Barulah pada malam harinya, acara puncak dilaksanakan dengan dihadiri segenap undangan yang terdiri dari niniak mamak "tigo suku" (tiga suku-red) di Nagari Laweh, yakni suku Malayu, suku Tanjuang dan suku Chaniago, para "malin", "manti", "dubalang kampuang", para penghulu dari Kerapatan Adat Nagari (KAN), para 'rang sumando, cadiak pandai, alim ulama serta masyarakat setempat. 

Kendati pada moment ibi ditutup dengan Rapat Keluarga Kaum Suku Malayu, namun gelar tetap turun dari "mamak sasuku", dalam pepatah Minangkabau disebut "PATAH TUMBUAH HILANG BAGANTI".

Adapun yang "batagak gala" pada Sabtu (8/6/2019) malam itu, urai Dedek, nama-namanya adalah sebagai berikut:

1. DR.  YUDI KRISMEN, SH, MH, bergelar RAJO PANGULU
2. ARONALDI, ST, bergelar AMPANG BASA
3. DONI ELFIANTO, SH, bergelar TAN MARAJO
4. DEDEN TRISNO, bergelar DATUAK MARAJO
5. YULIA AKMAL,S.Pd, bergelar MANGKUTO RAJO
6. RUSDI MULYADI, S.Pd, bergelar DATUAK MAHARAJO BASA
7. ZIKRA MARTEN, bergelar RAJO MALAYU  
8.ZULHAMDANI, bergelar MALIN MARAJO      9. ILHAM KHALIQ, bergelar PANDEKA RAJO    10. FERRY FADLI, ST, bergelar BAGINDO RAJO

Demikian ulas Dedek Gunawan, dari Law Firm YK & Partner yang beralamat di jalan Kartama No.74 Kelurahan Maha Ratu, Kecamatan Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru, dalam pers relisnya.

Tentang Nagari Koto Laweh, klik: https://id.wikipedia.org/wiki/Koto_Laweh,_Lembang_Jaya,_Solok

(rel/ede)
 
Top