PADANG — Di sela gerimis Kamis (18/9/2025) pagi di kantor Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat (Kejati Sumbar), pria berinisial "TA" supervisor audit Perumda Padang Sejahtera Mandiri (PSM), resmi ditahan .
TA bukanlah nama asing di tubuh PSM. Jabatan sebagai supervisor audit menempatkannya pada posisi yang seharusnya menjadi benteng terakhir dari integritas laporan keuangan perusahaan daerah tersebut.
TA lah orang yang dipercaya mengawasi aliran dana, memastikan setiap rupiah subsidi negara benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat, khususnya bagi operasional Bus Trans Padang — moda transportasi publik yang selama ini menjadi urat nadi mobilitas warga kota.
Namun, alih-alih menjaga kepercayaan itu, TA justru dituduh menjadi bagian dari lingkaran kecurangan yang merugikan negara hingga Rp3,6 miliar.
Awal Mula Penyimpangan
Semua bermula pada Maret 2021. Pemerintah menyalurkan subsidi sebesar Rp18 miliar ke Perumda PSM. Dana itu diperuntukkan bagi biaya operasional Trans Padang, mulai dari gaji sopir, perawatan armada, hingga bahan bakar.
Alih-alih mengalir mulus ke kas operasional, sebagian dana itu justru tersangkut dalam laporan keuangan yang telah “dipoles”. Penyidik menduga, TA berperan dalam penyusunan laporan palsu pada triwulan pertama dan kedua tahun anggaran 2021.
Audit internal menemukan ada jejak uang yang menguap. Dari penyimpangan itu, TA diduga menerima keuntungan pribadi sebesar Rp514,7 juta. Ironisnya, dari jumlah itu, sebagian — sekitar Rp23,5 juta — justru dialirkan kepada PI, Direktur Utama PSM kala itu, yang kini juga telah berstatus tersangka.
“Yang semestinya mengawasi, justru ikut serta mengatur skenario kebohongan. Ini pengkhianatan terhadap amanah publik,” ujar seorang penyidik yang enggan disebut namanya.
Jerat Hukum Menghimpit
Setelah melalui pemeriksaan intensif, Kejati Sumbar akhirnya menahan TA. Ia digiring ke Rutan Negara Anak Air, Padang, untuk menjalani penahanan selama 20 hari ke depan.
Pasal yang menjeratnya tidak main-main: Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No.20/2021, jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP (primair), dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU No.31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No.20/2021 jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP (subsidair). Ancaman hukumannya bisa lebih dari lima tahun penjara, disertai denda.
“Bukti permulaan sudah cukup. Penahanan ini dilakukan agar proses hukum berjalan lancar dan tidak ada hambatan dari pihak tersangka,” tegas Kasi Penkum Kejati Sumbar, Mhd. Rasyid, SH., MH.
Ironi Sebuah Kota
Kasus ini segera jadi sorotan publik. Trans Padang, yang setiap harinya membawa ribuan warga — dari pelajar, pegawai kantoran, hingga pedagang kecil — mendadak jadi simbol rapuhnya tata kelola keuangan daerah. Bus-bus biru yang melaju di jalan raya kini dipandang dengan perasaan campur aduk: rasa syukur atas keberadaannya, sekaligus getir mengetahui ada tangan-tangan nakal yang merampok di balik kemudinya.
Bagi warga kota, subsidi transportasi bukan sekadar angka. Ia adalah denyut kehidupan: akses murah menuju sekolah, rumah sakit, atau tempat kerja. Maka, ketika dana itu dirampok oleh mereka yang seharusnya menjaga, luka kepercayaan pun semakin menganga.
Kejati Sumbar menegaskan bahwa penegakan hukum akan berjalan tanpa pandang bulu. “Kami pastikan, setiap orang yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi akan diproses sesuai aturan yang berlaku,” ujar Rasyid lagi, menutup keterangannya dengan nada tegas.
Namun, di luar gedung megah kejaksaan itu, pertanyaan yang lebih besar masih bergema di benak publik: Jika seorang pengawas saja bisa berkhianat, siapa yang bisa dipercaya menjaga amanah rakyat?
#mon/ede