Oleh: Nurul Jannah


Sukaregang: Bahagia yang Menuntun Nostalgia


KABUT tipis merayap di bahu Gunung Guntur, seolah menulis puisi di udara dingin Garut. Udara pegunungan itu menembus pori-pori, membangunkan rindu yang lama tertidur.

Saat roda mobil kami menyentuh jalan Sukaregang, sinar matahari menari di kulit-kulit yang tergantung, seperti lentera kecil yang menyimpan cerita. Di sanalah aku merasa: setiap sudut Garut adalah surat cinta alam yang tak pernah usang.

Rayuan Kulit dan Cahaya Gunung

Jalan Sukaregang berkilau dalam sinar matahari yang menari di atas deretan kerajinan kulit. Aroma khas kulit yang dijemur bercampur wangi kerupuk kulit dorokdok, menebar nostalgia yang menggelitik lidah.

Aku dan Bu Lea melangkah ringan, kantong belanja masih kosong, tapi mata kami sudah penuh hasrat.

Di kejauhan, Gunung Guntur berdiri gagah, memayungi cerita-cerita yang tak lekang waktu.

“Bu Nurul, lihat dompet ini…” Bu Lea mengangkat dompet kulit hitam berukir indah.

“Sepertinya ia sedang menunggu rengkuhan tangan Ibu.”, responku cepat.

Bu Lea nampak menahan napas.

“Bu Nurul, saya berjanji tidak belanja berlebihan… tapi dompet ini… ah, Garut memang pandai merayu.”

Ceria Bu Lea menggema di antara kios-kios itu.

“Janji terkadang kalah dengan hati. Sukaregang selalu menang.”

Dan benar saja: dompet itu, sandal kulit kuning itu, dan sepatu kulit menawan itu: kini berpindah tangan. Tentu, mereka bukan belanjaan biasa, melainkan serpihan jiwa Garut yang kami bawa pulang.

Rasa Dorokdok, Rujak Asinan dan Bahagia Es Goyobod

Tak jauh dari sana, suara renyah dorokdok dan aroma kerupuk kulit menggoda perut yang mulai bernyanyi. Seorang pedagang tua menyodorkan bungkus kerupuk, matanya berkilau ramah.

“Khas Garut, khas Garut. Sekali coba, susah berhenti,” ujarnya.

Aku menggigit dorokdok, suaranya pecah di udara seperti kembang api kecil. “Ini bukan hanya kerupuk… ini nostalgia yang bisa dimakan,” bisikku.

Bu Lea menyesap es goyobod, wajahnya berbinar bahagia. “Segelas ini… seperti meneguk pelukan dingin setelah perjalanan panjang.”

Belum puas, kami berhenti di warung kecil yang menjual rujak asinan khas Garut.

Sepiring rujak warna-warni disajikan. Mangga muda, kedondong, pepaya, dan bengkuang, disajikan penuh di piring berlumur bumbu kacang pedas manis nan wangi.

Saat kunyahan pertama, lidah ini terasa berdesir. Asam mangga muda berpadu pedas manis bumbu kacang, segarnya sayur-sayuran membuatku menutup mata, menikmati harmoni rasa dan sensasi yang menggetarkan.

Bu Lea tertawa ceria, “Rujak asinan ini… rasanya seperti Garut itu sendiri; tajam, segar, dan bikin jatuh cinta.”

Kami pun menyiapkan oleh-oleh: rujak asinan siap saji, kerupuk kulit dorokdok, dan es goyobod.

“Ini nggak ada di Bogor, bu Nurul,” kata Bu Lea sambil tersenyum lebar.

Di dalam tas belanjaan, Garut seakan menitipkan sepotong bahagia yang akan kami bawa pulang.

Sambal Haji Uun, Ceria yang Menyala

Di perjalanan pulang, sebelum masuk Tol Cileunyi, kami mampir di resto Haji Uun. Tempat unik di mana pengunjung bisa meracik sambal sendiri.

Dan, yang mendapat mandat meracik sambal pedas meja makan kami sore itu adalah Ibu Anne, adik Bu Lea.

Ceria kami pecah menyaksikan betapa cekatannya tangan bu Anne meracik cabe merah, terasi, tomat dan gula merah jeruk limau digerus ritmik di atas ulekan batu.

“Anne, sambal buatanmu luar biasa nikmat. Pedasnya sampai bikin Gunung Guntur ikut batuk,” canda Bu Lea ke Bu Anne, adiknya.

Aku tergelak bahagia.

“Justru itu. Biar Garut tahu, kenangan kita tak akan mudah pudar.”

Perjalanan pulang berjalan lancar seperti doa yang dikabulkan. Jam menunjukkan pukul 10.30 malam ketika kami tiba di rumah, membawa lebih dari belanjaan semata.

Aku menoleh pada Bu Lea, mata kami masih menyimpan bias menawan Gunung Guntur.

“Selamat istirahat, Bu Lea, bu Anne, mas Rifki dan om Adul. Garut bukan hanya tentang eloknya gunung Guntur, kulit dan kerupuk. Ia tentang persahabatan yang menenun kenangan, tentang ceria yang menyalakan jiwa.”

Di bawah langit malam yang mulai mengatup, aku membuat catatan kecil: Sukaregang bukan pasar biasa. Ia adalah getaran Garut yang mengajarkan, bahwa bahagia bisa sesederhana rujak asinan pedas manis, dorokdok, sambal buatan sendiri, dompet kulit nan elok menawan buatan UMKM Garut, dan sahabat yang berjalan di sampingmu. (*)

Bogor, 19 September 2025




 
Top