Rosadi Jamani
- Ketua Satupena Kalbar
LAIN Walikota Prabumulih, lain pula anggota DPRD Gorontalo. Wakil rakyat malah ngajak rakyat merampok uang negara. Udah dirampok lalu dihabiskan agar negara ini miskin. Luar biasa kelakuan wakil rakyat ini. Mari kita gilas, eh salah, kupas cerita dari negeri Serambi Madinah ini sambil seruput kopi kape tanpa gula, wak!
Di negeri yang katanya berlandaskan Pancasila tapi sering keblinger oleh drama, hadirlah satu babak opera mabuk yang bikin rakyat setengah ngakak, setengah muntah darah.
Seorang anggota DPRD Provinsi Gorontalo bernama Wahyudin Moridu, kader PDI Perjuangan, tiba-tiba viral bak bintang TikTok gara-gara mulutnya meluncurkan kalimat yang bikin filsuf politik dari Plato sampai Habermas gulung tikar. “Kita rampok saja uang negara, kita habiskan biar negara ini miskin.” Tidak pakai metafora, tidak pakai perumpamaan, lugas, jujur, telanjang, seperti obral moral di pasar malam.
Mari kita lihat profilnya dulu, biar lengkap. Wahyudin lahir di Boalemo, mewakili Dapil 6 (Kabupaten Boalemo–Pohuwato) untuk periode 2024–2029. Pendidikan? Ia menempuh jalur Paket C (setara SMA), lalu melanjutkan ke Universitas Ichsan Gorontalo dan berhasil meraih gelar sarjana.
Status kekayaan? Nah ini bagian paling absurd, minus Rp 2 juta dalam laporan LHKPN per 31 Desember 2024. Minus, omu! Punya tanah warisan sekitar Rp180 juta, kas Rp18 juta, tapi total harta jatuh ke angka minus. Wakil rakyat minus! Tak heran jika filsafat keuangan pribadinya bisa merosot ke jurang ide “merampok uang negara.” Logikanya sederhana, saldo minus butuh solusi plus, dan jalan tercepat adalah merampok APBD. Epik? Terlalu epik.
Lalu drama pun bergulir. Video dirinya direkam seorang perempuan di dalam mobil menuju Bandara Djalaluddin Tantu, lalu tersebar seperti gosip murahan.
Saat publik muak, PDIP pontang-panting. Fraksi di DPRD Gorontalo bilang, “Kami tunggu keputusan partai pusat.” Seolah-olah butuh konferensi internasional untuk memutuskan apakah “merampok negara” itu salah atau benar.
DPD PDIP Gorontalo buru-buru rapat internal. Sementara elite di Jakarta menyebut ada ancaman pemecatan. Semua berisik, tapi rakyat hanya melihat teater boneka dengan sutradara tak jelas.
Masuklah Badan Kehormatan DPRD Gorontalo, lembaga dengan nama seagung malaikat. Mereka memanggil Wahyudin, katanya sudah klarifikasi, dan yang keluar dari mulutnya lebih konyol dari plot sinetron, “Saya sedang mabuk.” Ah, alasan klasik! Wakil rakyat yang digaji miliaran per periode, yang disumpah demi rakyat, malah berdalih mabuk ketika bicara tentang merampok negara. Kalau begitu, sumpah jabatan ke depan harus direvisi, bukan “Demi Allah saya bersumpah,” tapi “Demi botol kosong, saya tidak sadar ngomong.”
Tentang sidang BK? Katanya akan diputuskan sanksi “pekan depan.” Selalu pekan depan. Republik ini memang jago menunda, bahkan urusan memutuskan sanksi pun ditarik-tarik sampai rakyat keburu lupa. Rakyat sudah muak, sudah geram, tapi politisi masih sibuk rapat, BK masih sibuk menata jadwal, dan Wahyudin sibuk mengucap maaf. Permintaan maafnya terdengar seperti lagu karaoke fals, “Saya menyesal, saya tidak sadar, saya tidak tahu direkam.” Tapi rakyat tahu, yang hancur bukan hanya reputasi, tapi juga sisa-sisa logika demokrasi.
Akhirnya, ini bukan sekadar kasus individu, tapi cermin retak dari republik absurd. Seorang wakil rakyat dengan saldo minus, gelar sarjana hasil perjuangan, istri bernama Megawati Nusi, duduk di kursi terhormat DPRD, lalu mengajarkan rakyat cara merampok negara. Partai sibuk cuci tangan, BK sibuk sidang pekan depan, dan rakyat jadi penonton setia opera mabuk ini. Muak? Tentu. Geram? Pasti. Tapi jangan khawatir, babak berikutnya pasti segera muncul, karena negeri ini tidak pernah kehabisan badut politik.
“Bang, kalau warga Buton lapor polisi karena bupati hilang, boleh jadi inspirasi. Tapi, kalau wakil rakyat dari Gorontalo ini, sepertinya tak layak dicontoh.”
“Sepakat, wak. Mestinya ngopi, ini malah mabok.” (*)
#camanewak