PADANG – Puluhan pemuda mengatasnamakan Pertahanan Ideologi Sarekat Islam (Perisai) pada Senin (29/9/2025) siang menggeruduk kantor  Perusahaan Umum Daerah Air Minum (Perumda) Kota Padang di Jalan H Agus Salim Padang. Berkendaraan pick up hitam, mereka membentangkan spanduk bertuliskan kalimat-kalimat sindirin tajam. Beberapa di antaranya memegang toa, berulangkali meneriakkan kalimat-kalimat sindiran tajam.

“Air adalah hak rakyat, bukan komoditas untuk memperkaya segelintir pihak, apalagi para pejabat!”, teriak William, koordinator aksi melalui toa di genggamannya.

“Air melimpah, rakyat mandi pakai limbah. Bukannya berbenah, malah makan duit sampah!”, sambungnya. 

Perisai membawa enam tuntutan tajam. Pertama, copot Direktur Utama (Dirut) Perumda AM Kota Padang. Kedua, bersihkan oknum yang merugikan keuangan daerah. Ketiga, audit dan buka data retribusi sampah yang diserahkan ke Perumda AM Kota Padang. Keempat, batalkan SK Wali Kota Nomor 227 Tahun 2024 tentang penunjukan Perumda AM Kota Padang sebagai pemungut retribusi sampah.

Tuntutan kelima menyasar dugaan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. Yang terakhir, Perisai meminta supaya Perumda AM Kota Padang mempublikasikan secara transparan pemasukan dua tahun terakhir.

“Perjuangan ini bukan sekadar soal Perumda AM Kota Padang. Ini soal kedaulatan rakyat atas sumber daya alam," tegas Perisai yang mengklaim perjuangan mereka berbasis konstitusi: UUD 1945 Pasal 33, UU Sumber Daya Air, dan UU Pelayanan Publik. 

Karena itu, tegas Perisai, penyimpangan dalam pengelolaan Perusahaan Umum Daerah Air Minum Kota Padang adalah pengkhianatan terhadap amanat rakyat.

Perisai merangkum pengalaman sehari-hari warga Kota Padang: air PDAM yang keruh, tagihan yang membengkak, hingga retribusi sampah yang dibebankan kepada masyarakat pengguna.

Permasalahan yang diangkat Perisai ihwal Perumda AM Kota Padang  bukan barang baru. Namun, sejak Wali Kota (masih di era Wali Kota Hendri Septa-red) mengeluarkan SK Nomor 227 Tahun 2024 yang menunjuk Perusahaan Umum Daerah ini sebagai pemungut retribusi sampah, bara kekecewaan makin membesar.

“Kadang-kadang sampah rumah tangga tidak diangkut petugas. Tapi tagihan retribusinya tetap jalan, dimasukkan ke rekening Perumda AM Kota Padang,” keluh seorang ibu rumah tangga, simpatisan aksi dari Kuranji.  “Kami bayar, tapi sampah tetap berserakan," ungkapnya.

Warga lainnya, asal Nanggalo juga mengungkapkan bahwa fakta di lapangan pengelolaan sampah masih jauh dari kata tertib. Warga mengeluh pada Perumda AM Kota Padang, Perumda ini justru menyalahkan LPS. Sementara itu, uang retribusi tetap mengalir.

“Perjuangan ini bukan sekadar soal PDAM,” kata seorang aktivis Perisai. “Ini soal kedaulatan rakyat atas sumber daya alam," imbuhnya.

Perisai menyandarkan argumen pada konstitusi: Pasal 33 UUD 1945, UU Sumber Daya Air, hingga UU Pelayanan Publik. Bagi mereka, penyimpangan dalam pengelolaan PDAM adalah pengkhianatan terhadap amanat rakyat.

Perisai juga menyinggung ihwal tata kelola Perumda AM Kota Padang yang terkesan mengabaikan kearifan lokal dan prinsip tigo tungku sajarangan. Di Minangkabau, ada falsafah tigo tungku sajarangan—pemerintah, ninik mamak dan masyarakat duduk bersama mencari mufakat. Namun, soal retribusi sampah dan tata kelola Perumda AM Kota Padang, falsafah itu seperti hilang ditelan birokrasi.

“Pernahkah Pemko dan Perumda AM Kota Padang duduk bersama masyarakat untuk menentukan besaran retribusi? Atau semuanya hanya keputusan sepihak yang dipaksakan dari atas?”, tanya salah seorang demonstran. Perisai menilai, ketiadaan musyawarah inilah yang dianggap memperlebar jurang antara warga dan pemerintah. Sampah menjadi simbol, air keruh menjadi metafora.

#mat







 
Top