Oleh ReO Fiksiwan
“Pergilah, wahai burung-burung, dan musyawarahkanlah jalan kalian. Bila kalian ingin mencapai Simurgh, kalian harus membakar diri kalian dalam api cinta.” — Fariduddin Attar (1120-1221), Musyawarah Burung (Terjemahan Pustaka Jaya, 1986)
DALAM dunia yang semakin terperosok pada profanitas —ketika negara-negara modern kehilangan denyut rohani dan hanya berdetak atas irama kekuasaan, uang, dan citra — Indonesia dan Nepal menjadi cermin retak dari kemaruk nasional yang tak terbendung.
Kerusuhan sosial, konflik antar kelompok, dan ketegangan politik yang terus membara bukanlah sekadar akibat dari kebijakan yang keliru, melainkan tanda bahwa negara telah kehilangan empatinya.
Elit politik tak lagi menjadi penjaga jiwa bangsa, melainkan pengelola ambisi pribadi yang dibungkus retorika nasionalisme.
Di tengah disrupsi sosial yang merobek tatanan hidup bersama, kita membutuhkan bukan konferensi politik, tetapi konferensi spiritual.
Al-Farabi dalam teori negara utamanya membayangkan sebuah masyarakat yang dipimpin oleh manusia sempurna, seorang filsuf-raja yang tidak hanya bijak secara intelektual, tetapi juga tercerahkan secara spiritual.
Ia menyebutnya sebagai al-Madinah al-Fadilah (Terjemahan 2025), kota utama yang dibangun atas dasar kebajikan, bukan kekuasaan.
Namun, Indonesia dan Nepal hari ini lebih menyerupai al-Madinah al-Jahilah — meski kerugian Indonesia paska kerusuhan belum dihitung, Nepal ditaksir total kerugian sekitar Rp 2,9 triliun (setara 25 miliar rupee Nepal) — kota bodoh(jalul) yang dipimpin oleh mereka yang tidak tahu arah, dan tidak tahu bahwa mereka tidak tahu.
Ketika negara kehilangan orientasi spiritual, hukum menjadi alat penindasan, bukan keadilan.
Demokrasi menjadi panggung sandiwara, bukan ruang partisipasi. Dan rakyat menjadi penonton yang lelah, bukan aktor yang berdaya.
Ibnu Sina dalam Kitab as-Siyasah (Terjemahan 2025) menekankan bahwa politik sejati adalah seni memelihara jiwa masyarakat.
Negara bukan sekadar mesin administrasi, tetapi wadah pembentukan akhlak.
Ketika negara gagal menjadi ruang pendidikan moral, ia berubah menjadi pasar konflik. Kita menyaksikan bagaimana elite politik di Indonesia dan Nepal saling menegasikan, bukan menyatukan.
Mereka memanipulasi luka sejarah, bukan menyembuhkannya. Mereka membangun tembok identitas, bukan jembatan kemanusiaan.
Dalam konteks ini, spiritualitas bukan pelarian, tetapi perlawanan. Ia bukan bentuk pasrah, tetapi cara untuk menuntut kembali makna hidup bersama.
Fariduddin Attar dalam Conference of the Birds (Terjemahan Kakatua, 2022) menggambarkan perjalanan burung-burung menuju Simurgh, simbol kebenaran mutlak.
Mereka harus melewati tujuh lembah: pencarian, cinta, pengetahuan, keterlepasan, kesatuan, keheranan, dan kefanaan.
Negara yang ingin selamat dari kerusuhan dan kemaruk harus melewati lembah-lembah ini.
Ia harus mencari makna, bukan hanya kemenangan. Ia harus mencintai rakyat, bukan hanya menguasai mereka.
Ia harus tahu bahwa kekuasaan tanpa kebijaksanaan adalah kehampaan. Ia harus lepas dari ego sektarian dan menuju kesatuan spiritual.
Ia harus berani heran terhadap dirinya sendiri, dan akhirnya fana dalam pelayanan terhadap yang Maha Hidup.
Khaled Abou El Fadl (62), Guru Besar Hukum Islam di UCLA School of Law, Amerika Serikat, dalam Conference of the Book: A Philosophical Dialogue(Terjemahan 2002) mengajak kita untuk membaca ulang kitab-kitab kebijaksanaan, bukan hanya konstitusi dan undang-undang.
Ia mengingatkan bahwa negara modern telah terlalu jauh dari akar spiritualnya. Ia menjadi sekuler bukan karena pencerahan, tetapi karena pelupaan.
Ia menjadi profan bukan karena rasionalitas, tetapi karena kehilangan rasa. Maka konferensi spiritual bukanlah acara, tetapi proses.
Ia adalah panggilan untuk kembali membaca jiwa bangsa — zum ewigen Frieden(2005) menurut Kant — bukan hanya data ekonomi.
Ia adalah ajakan untuk mendengar suara nurani, bukan hanya suara mayoritas. Ia adalah ruang untuk bertanya: ke mana kita menuju sebagai bangsa?
Indonesia dan Nepal, dua negara yang kaya akan tradisi spiritual, kini berdiri di tepi jurang disrupsi sosial. Namun, jurang bukan akhir. Ia bisa menjadi awal jika kita berani melompat ke dalam kedalaman makna.
Konferensi spiritual adalah lompatan itu. Ia bukan solusi teknis, tetapi penyembuhan eksistensial. Ia bukan tentang siapa yang menang, tetapi tentang bagaimana kita hidup bersama.
Dalam dunia yang kehilangan empati, spiritualitas adalah satu-satunya jalan pulang. Dan mungkin, hanya dengan jalan itu, negara bisa kembali menjadi rumah bagi jiwa-jiwa yang terluka. (*)
coverlagu: “Jiwaku Sekuntum Bunga Kemboja” adalah lagu ciptaan dan dinyanyikan oleh Panji Siswanto Sakti(49). Pertama kali dirilis pada 11 Maret 2016 di Malaysia sebagai bagian dari soundtrack sinetron Kemboja di Hati. Lagu ini kemudian dirilis ulang dalam versi akustik di Indonesia pada 30 April 2020.
Makna lagu ini bisa ditafsirkan sebagai refleksi spiritual tentang kesepian yang tak terlihat, kematian rasa, dan kerinduan eksistensial kepada Tuhan.