Oleh ReO Fiksiwan
“Armada Tiongkok adalah yang paling canggih di dunia, mampu menjangkau setiap benua, dan mereka berhasil melakukannya.” — Gavin Menzies (82), 1421: The Year China Discovered the World (2002).
DALAM sejarah panjang Indonesia, relasi antara etnis Tionghoa dan kekuasaan ekonomi telah membentuk lanskap budaya yang kompleks, penuh luka, dan sekaligus penuh daya cipta.
Sejak pembantaian lebih dari 10.000 warga Cina keturunan di Batavia lewat drama sejarah karya Remy Sylado (1945-2022) berjudul 9 Oktober 1740 (2005) di bawah Gubernur Batavia (1731-1741) Adriaan Valckenier(1695-1751), jejak trauma dan dominasi ekonomi oleh kelompok Chinese Overseas (Cina Perantauan) terus menjadi narasi laten yang membayang dalam wacana kebangsaan.
Tragedi itu bukan sekadar kekerasan rasial, tetapi juga penanda awal dari ketegangan struktural antara pribumi dan pendatang yang membawa modal, jaringan dan etos dagang yang berbeda.
Mitos “Sembilan Naga” (九龍 Jiǔlóng) atau di Hongkong dikenal sebagai Kowloon (sembilan) taipan besar keturunan Tionghoa yang menguasai sektor-sektor strategis ekonomi Indonesia—bukanlah sekadar dongeng urban.
Nama-nama seperti Liem Sioe Liong, Mochtar Riady, Eka Cipta, Prayogo Pangestu, Tanoto, Tommy Winata, William Soeryadjaya, hingga Akuang, menjadi simbol dari akumulasi kapital yang melampaui batas etnis dan menjelma dalam bentuk kekuasaan ekonomi yang nyaris tak tersentuh.
Namun data resmi yang beredar, mereka antara lain: Robert Budi Hartono (85), Pemilik Djarum Group dan pemegang saham utama Bank Central Asia (BCA); Michael Bambang Hartono (86).
Saudara Robert, juga bagian dari Djarum Group dan BCA; Edwin Soeryadjaya (76), putra pendiri Astra, aktif di Saratoga Group dan sektor investasi; Dato Sri Tahir (73), Pendiri Mayapada Group, bergerak di perbankan, properti, dan media; James Riady (68), Pemilik Lippo Group, aktif di properti, pendidikan, kesehatan, dan media; Anthoni Salim (76), Pemilik Salim Group, termasuk Indofood dan Indomaret;
Tomy Winata (67), Pengusaha properti dan perbankan, dikenal lewat Artha Graha Group; Rusdi Kirana (62), Pendiri Lion Air Group, berpengaruh di sektor transportasi dan logistik; Boenjamin Setiawan (92), Pendiri Kalbe Farma, tokoh besar di industri farmasi Indonesia.
Dalam perspektif Ben Chu (47), jurnalis dan penulis asal Inggris, dikenal sebagai editor ekonomi di The Independent, dalam Chinese Whispers: Why Everything You’ve Heard About China is Wrong (2013; Terjemahan 2017), diaspora Tionghoa di Asia Tenggara bukan hanya bertahan, tetapi berkembang dengan strategi adaptasi dan penetrasi yang luar biasa, sering kali mengaburkan batas antara minoritas dan dominator.
Namun, dominasi ini tidak bisa dilepaskan dari struktur kolonial yang sejak awal menjadikan etnis Tionghoa sebagai perantara ekonomi antara penguasa Belanda dan rakyat pribumi.
Seperti ditunjukkan oleh Syed Hussein Alatas (78) dalam Mitos Pribumi Malas (The Myth of the Lazy Native, 1977; Terjemahan 1988), stereotip tentang pribumi yang tidak produktif justru dibentuk oleh sistem kolonial yang meminggirkan mereka dari akses terhadap modal dan pendidikan.
Maka, ketika kelompok Tionghoa diberi ruang dalam perdagangan dan keuangan, mereka bukan hanya mengisi kekosongan, tetapi juga membangun dinasti ekonomi yang bertahan lintas rezim.
Edward Tse(69), seorang konsultan bisnis dan penulis asal Hong Kong, dalam China’s Disruptors: How Alibaba, Xiaomi, Tencent, and Other Companies Are Changing the Rules of Business (2015; Terjemahan 2018), menunjukkan bahwa etos kewirausahaan Tionghoa bukan sekadar soal kerja keras, tetapi juga soal jaringan, fleksibilitas, dan kemampuan membaca peluang dalam sistem yang cair.
Di Indonesia, hal ini terlihat dalam cara para taipan membangun relasi dengan kekuasaan politik, baik melalui patronase maupun aliansi strategis.
Prof. Liang Liji (98), dikenal sebagai ahli Indonesia di Tiongkok dan pengajar Bahasa Indonesia di Universitas Peking, dalam Dari Upeti ke Relasi Mitra Strategis (2012), mengurai bagaimana budaya Tionghoa menggeser paradigma kekuasaan dari relasi subordinatif menjadi simbiosis mutualistik, di mana negara dan pengusaha saling menopang dalam ekosistem yang pragmatis. Namun, mitos naga juga menyimpan paradoks.
Dalam budaya Cina, naga adalah simbol kekuatan, keberuntungan dan kemakmuran. Ia bukan makhluk destruktif, melainkan entitas kosmik yang menyatukan langit dan bumi.
Dalam konteks ini, naga bukan hanya metafora kekuasaan, tetapi juga simbol fertilisasi budaya.
Dalam biografinya Eddy Lembong: Pejuang Toleransi dan Kebhinekaan (2018) ditulis Rizal J S Mallarangeng, Lembong (81), paman Thomas Lembong, sebagai pendiri PT Pharos Indonesia dan jaringan Apotek Century, serta tokoh pejuang toleransi dan pluralisme di Indonesia pasca tragedi Mei 1998 serta pemikir lintas budaya lewat gagasannya tertuang dalam Penyerbukan Silang Antarbudaya: Membangun Manusia Indonesia(2015).
Ia menyebut bahwa budaya Tionghoa di Indonesia telah mengalami proses “penyerbukan silang”—di mana nilai-nilai Konfusianisme, Taoisme, dan etos dagang Tionghoa berinteraksi dengan budaya lokal, membentuk hibriditas yang unik.
Namun fertilisasi ini tidak selalu diterima dengan tangan terbuka. Ketimpangan ekonomi, eksklusivitas sosial, dan dominasi simbolik sering kali memicu resistensi dan kecemburuan.
Merujuk When China Rules the World: The Rise of the Middle Kingdom and the End of the Western World (2009; Terjemahan 2011), Martin Jacques (80), seorang jurnalis, akademisi, dan komentator politik asal Inggris, memperingatkan bahwa kebangkitan Cina dan diaspora Tionghoa akan mengubah lanskap geopolitik dan budaya global, termasuk di negara-negara seperti Indonesia yang memiliki sejarah panjang relasi ambigu dengan etnis Tionghoa.
Meretas mitos sembilan naga bukan berarti menafikan kontribusi diaspora Tionghoa terhadap pembangunan ekonomi Indonesia. Sebaliknya, ini adalah ajakan untuk membongkar narasi tunggal tentang dominasi dan membuka ruang bagi refleksi kritis atas struktur ekonomi-politik yang memungkinkan ketimpangan itu terjadi.
Dalam semangat Lords of the Rim (1995) karya Stearling Seagrave (80) — di mana kelompok Tionghoa perantauan (Chinese Overseas) menguasai lebih dari 70% sektor perdagangan dan distribusi, meskipun mereka hanya mewakili kurang dari 10% populasi di negara-negara tersebut — kekuasaan yang tidak dikritisi akan menjadi lingkaran sihir yang menjerat semua pihak, termasuk mereka yang menggunakannya.
Namun kritik Seagrave mengatakan: „Mereka tidak memiliki kesetiaan sejati kepada pemerintah atau rakyat mana pun kecuali klan leluhur mereka dan desa ‘asal’ mereka di Tiongkok.”
Selain itu, mereka memiliki jaringan bisnis lintas negara yang kuat, berbasis pada loyalitas klan, etika kerja, dan sistem kepercayaan informal seperti guanxi (jaringan hubungan).
Seagrave menyebut bahwa para “Lords of the Rim” ini tidak memiliki loyalitas politik pada negara tempat mereka tinggal, melainkan pada desa asal dan jaringan keluarga di Tiongkok Selatan, terutama dari provinsi seperti Fujian dan Guangdong
Dengan demikian, mitos naga harus dibaca ulang bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai peluang untuk membangun relasi yang lebih adil, terbuka, dan saling menghargai.
Dalam dunia yang semakin terhubung, fertilisasi budaya bukanlah penghapusan identitas, melainkan pengayaan makna.
Dan dalam konteks Indonesia, meretas mitos sembilan naga adalah langkah awal untuk membebaskan ekonomi dari bayang-bayang etnis dan mengembalikannya pada prinsip keadilan sosial yang inklusif. (*)