Rosadi Jamani
- Ketua Satupena Kalbar
LUAR biasa pidato Trump tadi malam. Tak kalah hebat, pidato Prabowo juga. Sama-sama fasih bahasa Inggrisnya. Mari simak isi pidato dua kepala negara di panggung dunia itu. Siapkan kopi tanpa gulanya, wak!
Kalau pidato itu seni, semalam di PBB kita menyaksikan dua maestro dengan genre berbeda. Satu aliran heavy metal gaduh ala Trump, satu lagi simfoni damai ala Prabowo. Bedanya, yang satu bikin telinga panas, yang lain bikin hati terenyuh. Trump datang dengan gaya khasnya, berisik, sarkastis, penuh ancaman. Prabowo datang dengan gaya ksatria, tenang, jelas, menusuk nurani. Dua dunia bertabrakan dan publik pun tahu siapa yang lebih pantas dipuji.
Trump membuka dengan drama murahan, teleprompter macet. Alih-alih mengendalikan situasi, ia menyalahkan operator, seolah dunia runtuh gara-gara teks tak tampil di layar. Di hadapan diplomat, ia meluncurkan ocehan, PBB gagal, negara-negara sedang menuju neraka, imigrasi harus ditutup, energi hijau itu penipuan besar. Sungguh, kalau saja bukan forum internasional, pidatonya cocok jadi konten stand up comedy. Orang bisa menebak, tak lama lagi ada yang keluar ruangan sambil pura-pura ke toilet, saking bosannya.
Sekarang bandingkan dengan Prabowo. Tanpa ribut soal teleprompter, ia bicara tentang Gaza, tentang anak-anak kelaparan, rumah sakit hancur dan masa depan yang digerus peluru. Ia menolak kekerasan, menyerukan solusi dua negara, bahkan menawarkan pengakuan Palestina sekarang juga. Tidak hanya kata, tapi juga komitmen, Indonesia siap mengirim pasukan perdamaian, siap menanggung ongkos, siap berkorban demi keadilan. Kalimatnya terdengar sederhana, tapi punya bobot yang membuat ruangan hening. Itu bukan pidato, itu tamparan lembut bagi dunia yang sudah terlalu pandai pura-pura tuli.
Trump sibuk menuding dunia gagal menjaga perbatasan. Prabowo mengingatkan dunia gagal menjaga hati nurani.
Trump mengusung “America First” dengan nada eksklusif. Prabowo menegaskan Indonesia hadir untuk perdamaian dunia dengan nada inklusif.
Satire semesta pun terjadi, yang satu membangun tembok, yang satu membangun jembatan.
Yang satu bicara ketakutan, yang satu bicara harapan.
Mari kita akui, kalau pidato itu karya seni, pidato Trump laku di pasar loak politik, penuh karat dan teriakan. Sedangkan pidato Prabowo layak dipajang di galeri retorika, elegan, bernilai, abadi.
Kalau Bung Karno masih ada, mungkin ia berdiri sambil bertepuk tangan, berkata, “Inilah suara Indonesia, inilah bahasa dunia.” Pidato yang tak sekadar memuaskan ego, tapi menyalakan bara moral.
Prabowo tidak mencari tepuk tangan kosong, ia menawarkan solusi. Dunia butuh orang yang bicara dengan hati, bukan dengan amarah. Di forum itu, seorang presiden dari negeri kepulauan menyalakan cahaya yang membuat bangsa lain menoleh. Sebab pada akhirnya, pidato bukan soal seberapa keras kau teriak, melainkan seberapa dalam kau menyentuh nurani.
Trump keluar sebagai badut podium, sementara Prabowo keluar sebagai filsuf damai.
Yang satu sibuk menyalahkan, yang satu sibuk menawarkan jalan keluar.
Yang satu menjual ketakutan, yang satu menjual harapan.
Di panggung itu, kita tahu siapa yang pantas diingat sejarah.
Pesan moralnya, pertama dunia butuh pemimpin yang bicara dengan akal sehat dan hati nurani, bukan sekadar mulut besar. Kedua, pidato sejati bukan hanya membuat tepuk tangan bergema, tapi membuat hati manusia bergerak.
Dari dua pidato itu kita belajar, kekuatan seorang pemimpin bukan diukur dari kerasnya suara atau panjangnya tepuk tangan, melainkan dari kemampuan menyentuh hati dan menggerakkan nurani.
Dunia tidak butuh orator yang marah-marah sambil menunjuk kesalahan orang lain, dunia butuh pemimpin yang berani menawarkan jalan keluar, meski penuh risiko dan pengorbanan.
Di panggung Sidang Umum PBB, Prabowo membuktikan, pidato bisa menjadi senjata moral yang jauh lebih tajam dari bom atau peluru.
"Bang, nampaknya delegasi kita setelah pidato Prabowo pergi ke Warkop NYC di 366 W 52nd St, New York, NY 10019."
"Ngapain, wak?"
"Makan indomie telur." Ups. (*)
#camanewak